ntdtv.com
Menurut laporan Radio Free Asia, 7 April 2020, “Supermarket Jinbo” di kabupaten Zhengzhou, Provinsi Henan, Tiongkok mengumumkan jatuh pailit pada 1 April 2020. Pemasok barang meminta pembayaran tunggakan dan bertengkar dengan manajemen mall. Runtuhnya perusahaan yang berbasis di daratan Tiongkok ini hanyalah sebuah contoh dari kebangkrutan berturut-turut sejumlah perusahaan Tiongkok di bawah dampak wabah virus komunis Tiongkok.
Menurut “South China Morning Post” Hong Kong, sebanyak 460.000 perusahaan di Tiongkok gulung tikar pada kuartal pertama 2020, termasuk perusahaan yang izin usahanya dibatalkan dan operasinya dihentikan sendiri, sekitar 26.000 adalah perusahaan perdagangan asing.
Sejak Februari 2020, fenomena perusahaan yang jatuh pailit telah menunjukkan tren yang terus meningkat. Menurut data dari “Wu Xiaobo Channel-A Financial Talk Show”, platform media sosial yang berfokus pada analisis keuangan Tiongkok, ada 247.000 perusahaan telah ditutup dari Januari hingga Februari 2020.
Seorang pemilik usaha kecil Tiongkok yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan kepada Radio Free Asia tentang kondisi perusahaan di Shenzhen, “Pertama, karena perang dagang Tiongkok dengan Amerika Serikat, sehingga tidak pernah bisa mendapatkan pesanan. Kedua, meski pun tetap bertahan sekarang, namun karena situasi epidemi dalam dua bulan terakhir ini, tidak ada pesanan dari Amerika Serikat dan Eropa. Sekarang Anda bisa melihat sendiri perusahaan di Shenzhen. Pada dasarnya, hanya ada beberapa yang tersisa di zona industri itu.”
Dipengaruhi oleh krisis ekonomi, banyak perusahaan keuangan juga jatuh ke ambang kebangkrutan. Seorang eksekutif perusahaan dana ekuitas swasta di Shenzhen, yang menolak disebutkan namanya, mengatakan kepada Radio Free Asia, bahwa dampak epidemi itu memang sangat besar, tetapi perusahaan-perusahaan ini sudah jatuh dalam kesulitan sejak tahun lalu.
“Tentu saja, ini ada hubungannya dengan kebijakan De-leveraging sejak tahun lalu. Karena deleveraging, bank menarik pinjaman sebelum batas waktu yang ditentukan, imbasnya banyak perusahaan yang terhenti operasionalnya. Ditambah dengan adanya gelembung tertentu dalam ekonomi riil. Selain itu juga dipengaruhi perang dagang Tiongkokdengan Amerika Serikat, sehingga bisnis perusahaan juga terkena imbasnya,” tambah pengusaha kecil itu.
Di antara data yang berbeda, daerah yang paling terdampak adalah sebagian besar wilayah pesisir, termasuk Guangdong, Shandong, dan Jiangsu. Penyebaran virus komunis Tiongkok di Eropa dan Amerika Serikat telah menyebabkan pengurangan pesanan dari negara-negara tersebut, dan menyebabkan bencana bagi banyak perusahaan perdagangan asing di wilayah pesisir Tiongkok.
Banyak perusahaan telah gulung tikar selama lebih dari 2 bulan. Pemilik usaha kecil lain yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan kepada Radio Free Asia, bahwa ia telah berhenti beroperasi sejak Tahun Baru 2020 lalu.
“Situasi aktualnya seperti ini, ia pribadi mengalami hal yang relatif sulit secara ekonomi, karena tidak memiliki sumber dana lainnya ; sementara pembayaran atas barang-barang dari tahun sebelumnya mandek, pelanggan belum bisa membayar hingga saat ini. Mungkin akan lebih baik bulan depan,” kata pengusaha kecil itu.
Gelombang kebangkrutan juga menyebar ke berbagai industri. Institusi pendidikan dan pelatihan yang telah berkembang selama lebih dari satu dekade juga terperosok dalam kesulitan. Meskipun banyak lembaga pendidikan dan pelatihan telah berubah menjadi kursus daring atau berupaya memangkas atau menghilangkan uang sewa, namun telah berdampak pada operasionalnya.
Kelompok utama Usaha Kecil dan Menengah – UKM juga relatif pesimistis. Seorang pemilik UKM yang mengoperasikan toko kebutuhan pokok sehari-hari di Harbin, Heilongjiang, mengatakan kepada Radio Free Asia, bahwa tokonya berada di pusat perbelanjaan besar di pusat kota telah kembali beroperasi, dengan omset setara dengan 70% sebelum pecahnya wabah. Tapi dia tidak terlalu optimis dengan kondisi jangka panjang.
“Konsekuensi dari situasi epidemi pada kondisi ekonomi domestik belum sepenuhnya terasa. Namun yang jelas, daya beli masyarakat telah menurun dan pasar menyusut. Hanya ada sedikit ruang untuk perkembangan di masa depan,” katanya.
Menurut laporan VOA pada 6 April 2020, China air cargo Co., Ltd yang berbasis di Guangzhou, Tiongkok belum membayar gaji karyawan selama hampir dua bulan. Seorang staf personalia mengatakan bahwa karyawan yang kembali bekerja menghadapi risiko terinfeksi dan tidak dibayar. Jika tidak bekerja juga tidak ada peluang mencari pekerjaan lain, karena industri logistik penerbangan secara keseluruhan dalam kondisi krisis.
Staf itu mengatakan, “Karyawan perusahaan sangat cemas. Beberapa karyawan memiliki pinjaman angsuran keluarga. Selain itu juga memiliki orang tua yang perlu dirawat, dan rekan kerja lain yang jatuh sakit terbaring di tempat tidur. Tekanan ekonomi jelas memperburuk kondisi yang sedang dihadapi.
Menurut laporan Radio Free Asia, tidak seperti kebijakan stimulus ekonomi Tiongkok, pemerintah Barat terus-menerus menerapkan kebijakan untuk membantu usaha kecil dan menengah dan komunitas yang lemah secara ekonomi. Pemerintah Inggris bahkan menggantikan usaha kecil membayar gaji karyawan, sehingga pekerja tidak akan menghadapi risiko diberhentikan dan perusahaan juga tidak akan bangkrut.
KETERANGAN FOTO: Supermarket Jinbo di kabupaten Zhengzhou, Provinsi Henan, mengumumkan jatuh pailit pada 1 April 2020. (Public Domain)
Johny / RP
Video Rekomendasi