Wabah Yustinian, oleh Qin Shuntian
Kekaisaran yang makmur sejahtera menjadi neraka dunia
ntdtv.com- Semasa Yustinianus berkuasa, yakni Kaisar Romawi Timur yang berkuasa dari tahun 527 hingga 565 Masehi, status militer Kekaisaran Romawi Timur tak tertandingi. Negeri ini berkembang pesat dan makmur. Seluruh kekaisaran dipenuhi dengan kesejahteraan dalam “Keabadian Romawi”. Kaum Romawi umumnya hidup dalam kemewahan dan menikmati kesenangan.
Ibukota kekaisaran Konstantinopel yang sebelumnya dikenal sebagai Kekaisaran Bizantium adalah kota yang dianggap sebagai surga oleh orang-orang Eropa Barat.
Konstantinopel dikelilingi oleh lingkungan air dari tiga sisi, tembok kota di daratan, barang-barang Eurasia terpusat di sini, yang menjadikannya sebagai pusat industri dan komersial paling makmur di dunia.
Keterangan foto: Benteng Konstantinopel pada periode Bizantium (domain publik)
Pada musim semi tahun 542 Masehi, sebuah wabah menyerang ibukota yang sulit ditembus dalam perang ini. Pada puncak wabah, orang-orang yang tewas lebih dari 5.000 orang setiap hari, kemudian meningkat menjadi 7.000 – 10.000 orang, dan tak disangka jumlah terbanyak mencapai hingga 16.000 orang. Ibukota kekaisaran Konstantinopel berubah menjadi neraka dunia, tetapi ini baru permulaan.
Wabah itu berhenti setelah mengamuk empat bulan di Konstantinopel. Orang-orang berpikir bahwa bencana telah berlalu. Tetapi tak disangka, wabah hanya membiarkan orang-orang yang beruntung lolos dari bencana untuk bernapas sementara.
Wabah itu seakan mengikuti rute yang ditetapkan, terus menyebar dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada tahun 558 M, wabah tiba-tiba kembali ke Konstantinopel, menyapu seluruh ibu kota untuk kedua kalinya, dan menewaskan sejumlah besar penduduk setempat.
Meskipun dibantu dengan sarana medis publik Bizantium yang mutahir juga tidak berdaya melawan wabah itu. Dokter tidak dapat memberikan pencegahan dan pengobatan yang efektif, dan para staf medis yang terinfeksi tewas secara berturut-turut.
Saking banyaknya yang tewas membuat kecepatan penguburan tidak dapat mengejar laju kecepatan kematian. Awalnya, pemerintah juga mencatat mayat-mayat yang diangkut keluar kota melalui gerbang kota. Ketika statistiknya mencapai 230.000 mayat, statistik pun tidak lagi dilanjutkan karena jumlah mayat terlalu banyak untuk dihitung sepenuhnya.
Ketika semua tempat pemakaman penuh, orang-orang terpaksa menggali lubang di mana-mana untuk mengubur mayat-mayat itu. Belakangan, mereka menggunakan cara lain dengan memanjat menara benteng di seberang sungai di bagian utara ibukota dan melemparkan mayat-mayat itu dari atap terbuka. Segenap menara pun dipenuhi dengan mayat-mayat yang bergelimpangan, dan segenap kota mulai tercium bau mayat yang menyengat ketika angin bertiup.
Kaisar Yustinianus merekrut warga sipil untuk mengangkut mayat-mayat itu dengan imbalan uang, warga sipil menggali banyak lubang besar di Teluk Galata. Konon katanya satu lubang raksasa itu dapat menampung 70.000 mayat sekaligus. Sama seperti melempar batu, setelah mayat-mayat itu dibuang ke dalam lubang besar, para pekerja di dasar lubang itu menumpuk mayat-mayat selapis demi selapis. Tidak peduli pria, wanita, anak-anak, kaya atau miskin, akhirnya dikubur bersama dalam tumpukan mayat.
Orang kaya khawatir mereka akan dilemparkan ke kuburan massal seperti orang miskin setelah meninggal nantinya, atau dibiarkan tergeletak di jalanan dan digerogoti oleh kawanan anjing liar. Oleh karena itu, ketika pergi, mereka akan menggantungkan label pada kalung dan gelang mereka untuk membuktikan identitas mereka, sebagai bukti bagi para kerabatnya untuk mengambil mayat mereka jika tewas di jalanan.
Di kota kekaisaran, hampir semua orang menutup pintu rapat-rapat. Tidak tampak orang-orang yang berlalu di jalanan. Jika ada orang yang melintas, itu pasti mengangkut orang mati.
Tak peduli keluarga kaya atau miskin, wabah akan memusnahkan segenap keluarga.
Di beberapa kota dan desa di Palestina, lebih dari setengah penduduknya mati di seluruh kota, bahkan tidak ada yang selamat di beberapa daerah.
Segenap kota menjadi lumpuh, semua aktivitas berhenti, tidak ada lagi transaksi, kerajinan tangan dan jasa layanan pun macet.
Setelah wabah, bencana selanjutnya adalah kelaparan, inflasi, dan kekurangan makanan. Ada yang orang lolos dari wabah, tetapi tidak luput dari kelaparan, hingga akhirnya mati kelaparan.
Wabah itu tidak hanya berdampak pada satu generasi, tetapi beberapa generasi. Antara tahun 541 dan 700 tahun masehi, Eropa kehilangan setengah dari populasinya. Kematian akibat epidemi itu juga tercatat di tempat-tempat lain di luar Eropa. Diperkirakan jumlah total kematian akibat wabah itu hampir 100 juta jiwa. Epidemi dinasti Justinianus dikenal sebagai “Wabah Justinian”.
Gejala wabah itu aneh, bisa memilih siapa yang menjadi korbannya
Tidak seperti penyakit lain, wabah Justinian memiliki berbagai manifestasi yang tidak terduga.
Ada yang tidak memiliki gejala apa pun, tidak demam, juga tidak ada rasa sakit. Namun, ketika sedang berbicara, tiba-tiba saja jatuh tergeletak dan tewas. Ada yang membungkuk saat mengambil uang, lalu tiba-tiba saja meninggal. Ada yang tiba-tiba menelan makanan, dan sebelum tertelan di mulut, lalu tak bernyawa.
Ada yang seperti orang gila berbicara tidak karuan, berguling-guling di lantai dan memuntahkan busa dengan mata menatap lurus. Ada yang mengalami gangguan mental, menggerogoti lengan dan memakan dagingnya sendiri, sampai mereka kelelahan dan tewas dengan tragis.
Ada yang insomnia, ada yang mengantuk. Ada yang menjerit dan berlari-larian. Ada yang haus tak tertahankan, suka meloncat ke sungai atau laut, lalu tewas.
Banyak orang membengkak di ketiak, otot perut, dan tumbuh jerawat hitam seukuran komak, sejenis kacang.
Sulit bagi dokter untuk menemukan penyebab penyakit, dan tidak bisa memprediksi apakah pasien akan tewas atau sembuh. Karena pengobatan yang sama, efeknya mungkin berlawanan. Dengan atau tanpa pengobatan, beberapa pasien tetap saja akan mati. Sebaliknya beberapa orang yang diperkirakan akan tewas justeru bertahan hidup, namun tidak diketahui sebabnya. Upaya dokter boleh dikata nyaris sia-sia.
Ada yang sembuh setelah terinfeksi tanpa pengobatan, sementara ada juga yang meninggal oleh wabah berikutnya.
Orang-orang dari segala usia dapat terinfeksi, tetapi mereka yang masih muda dan memiliki fisik atau kesehatan yang sangat baik, ada yang tewas dengan cepat dalam beberapa hari meski hanya terinfeksi ringan. Wanita hamil akan kehilangan nyawanya begitu terinfeksi.
Ini menunjukkan, apakah seseorang dapat bertahan dalam wabah bukan masalah kekebalan tubuh, juga bukan masalah pengobatan, atau masalah pencegahan dan pengendalian infeksi.
Pada saat itu, banyak orang mengatakan bahwa ketika mereka terinfeksi wabah, mereka melihat berbagai roh halus. Ada yang melihat ilusi dalam mimpi mereka, menanggung siksaan momok iblis yang berdiri di depan mereka, dan ada yang mendengar suara dari ruang dimensi lain lalu mengatakan kepadanya bahwa ia telah dimasukkan ke dalam daftar hitam kematian. Orang seperti itu benar-benar akan segera mati tak lama kemudian.
Orang-orang mau tidak mau harus percaya bahwa wabah itu datang ke dunia sesuai dengan kehendak Tuhan, dan memilih beberapa orang untuk dibawa pergi ke dunia lain.
Misteri yang tak terpecahkan — Penyebaran wabah tidak teratur
Penelitian yang ada mengasumsikan bahwa wabah Justinian mungkin wabah pes dengan infeksi dan mortalitas atau kematian tinggi. Menyebar melalui droplet atau percikan cairan tubuh dari batuk dan bersin.
Epidemi paling awal terjadi di Mesir pada tahun 541 M, dan menyebar ke seluruh kekaisaran dan di luar wilayah kekaisaran melalui rute perdagangan dan jalur ekspedisi militer. Wabah meledak di Konstantinopel pada tahun berikutnya, kemudian menyerang kota-kota seperti Verona dan Marseille.
Pada tahun 543 M, wabah pes menyerang seluruh Italia, Suriah dan tempat-tempat lain, kemudian menyebar ke Persia.
Rute penyebaran sekilas tampak seperti acak secara kebetulan, tetapi seakan memiliki pengaturan yang telah ditentukan. Wabah menyebar dalam dua arah, seakan takut ada titik atau area yang luput darinya, bahkan penduduk yang tinggal di pulau, gua dan gunung juga tak luput dari serangannya.
Setidaknya sudah lima kali wabah itu mengamuk dalam satu abad, pernah tiga kali merajalela wabah di tenggara Spanyol, Gaul dan Afrika Utara, dan dua kali meledak di Inggris barat dan wilayah pesisir timur Irlandia.
Jika wabah Justinian dijabarkan menurut penyakit menular modern, banyak dari wabah itu adalah misteri yang tidak dapat dipecahkan.
Wabah itu tidak memiliki waktu tetap untuk menyerang, dan waktu perginya juga sulit diprediksi. Wabah itu pecah di satu daerah selama awal musim dingin, dan musim semi di daerah lain, tapi ada juga beberapa daerah yang diserang wabah pada musim panas atau musim gugur.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa wabah besar itu pecah secara siklus, satu siklus dalam setiap 15 tahun, menyebar ke seluruh Eropa.
Di suatu daerah, wabah itu seakan harus merenggut dulu sejumlah kematian sebelum pergi, sehingga jumlah kematian di suatu daerah kira-kira sama dengan jumlah kematian sebelumnya di daerah yang berdekatan.
Ada kota yang nyaris dihancurkan olehnya dan tidak ada yang selamat, tetapi mengapa beberapa kota yang terkena dampak bencana kecil itu tidak mempengaruhi kelanjutan perkembangannya? Pada tahun-tahun ketika wabah menyebar ke ibu kota, mengapa semua suku nomaden Xiongnu yakni suku Tiongkok kuno semasa Dinasti Han (206 SM – 220 M) selamat dan aman-aman saja?
Terkadang di satu kota, hanya satu atau dua keluarga yang terinfeksi, sedangkan lainnya aman-aman saja.
Beberapa orang yang tidak terinfeksi berpikir bahwa mereka telah lolos dari wabah, tetapi tewas karena wabah pada tahun berikutnya. Dan yang lebih sulit untuk dijelaskan adalah, beberapa penduduk berhasil meloloskan diri dari daerah epidemi dan tiba di sebuah kota bebas epidemi. Namun ketika terjadi epidemi di kota itu, yang terinfeksi justeru mereka-mereka yang lolos dari epidemi!
Pada saat itu, orang-orang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa mengetahui akhir dari perjalanan wabah, karena semuanya dikendalikan oleh Tuhan, dan hanya Tuhan yang tahu penyebab dan arah wabah itu.
“Hukuman Tuhan”
Procopius, sejarawan Bizantium mengatakan bahwa wabah Justinian berasal dari hukuman Tuhan, dan kaum intelektual Bizantium juga mengetahuinya.
Uskup John dari Nikiu, kota kecil di tepi barat Delta, mengatakan bahwa manusia telah melanggar kehendak Tuhan, jadi Tuhan menyebarkan banyak tulah atau wabah di dunia dan pada kawanan hewan. Ini adalah hukuman keadilan Tuhan.
“Ya Tuhanku, melihat bahwa dosa-dosa umat manusia menjadi semakin parah, maka ia menghukum manusia di muka bumi, dan menghancurkan kota-kota dan tanah yang bergelimang dosa,” kata John Malalas.
Banyak orang percaya bahwa bangsa Romawi yang kaya dan unggul telah lama memanjakan diri dalam kemewahan, menikmati nafsu syahwat, tidak mematuhi firman Tuhan dan hukum di masyarakat manusia, sehingga mereka mendapatkan pembalasan yang kejam ini.
Sebenarnya, sebelum terjadi wabah besar, Roma telah berkali-kali mendapatkan peringatan awal. Pada tahun 512 M, Gunung Vesuvius meletus, diikuti dengan serangkaian gempa bumi, gempa besar lainnya kembali terjadi pada tahun 526 M, merenggut lebih dari 300.000 nyawa manusia. Sejak tahun 537 M, matahari di sepanjang pantai Mediterania selalu berkabut, orang-orang tidak bisa merasakan panasnya sinar mentari, sampai siang hari, bayangan diri masing-masing pun bahkan tidak terlihat, dan situasi ini berlangsung selama setahun.
Bencana yang kerap kali terjadi tidak juga membangkitkan instrospeksi bangsa Romawi, dan ketika diserang wabah, orang-orang baru menyadari bahwa dosa-dosa yang terhimpun telah membuat orang-orang tidak bisa meloloskan diri lagi dari bencana.
Wabah telah mengubah gaya hidup orang-orang yang terbiasa hidup nyaman, kenikmatan hidup yang berlebihan dari orang-orang kaya, pembicaraan bebas semaunya dari para intelektual dan sebagainya tiba-tiba tidak lagi berarti ketika menghadapi ketakutan akan kematian.
Orang-orang mendapati, ilmu pengetahuan, kekayaan, status dan kenikmatan hidup semuanya menjadi hampa tak berarti. Orang-orang mulai introspeksi kembali standar benar dan salah, baik dan jahat. Ada yang hidup bergelimangan harta, ada yang semakin mendekatkan diri dan semakin percaya pada Tuhan, karena telah menyadari kehidupan yang semu di dunia fana ini, dan dengan tulus mencari makna hidup yang sebenarnya.
Hancurnya mimpi kekaisaran
Kaisar Justinian, juga terkena wabah ketika orang-orang di negeri kekaisaran meninggal dalam jumlah besar karena infeksi. Konon katanya, ada penyihir yang ingin menyembuhkannya. Akan tetapi Justinianus bilang bahwa dia akan selalu percaya pada Tuhan dan menolaknya sambil mengatakan, “Pencipta surga dan bumi akan datang untuk membantu saya.”
Tak lama kemudian, Kaisar Justinian secara ajaib pun pulih. Tetapi Kekaisaran Romawi pada saat itu sedang sakit dan tidak dapat diobati lagi.
Justinianus yang ambisius telah menyatukan kembali banyak tempat ketika dia berkuasa. Wilayah kekaisarannya nyaris mencapai kemakmuran, dan kemuliaan Kekaisaran Romawi tampaknya hanya tinggal menunggu waktu, tetapi sebuah wabah membuat Justinian tidak berdaya.
Administrasi kekaisaran yang dihancurkan oleh wabah menjadi lumpuh, kota menyusut dan tatanan sosial pun menjadi kacau. Ketika Justinianus wafat pada tahun 565 M, kas negara kosong, rakyat hidup miskin, sementara pasukan Romawi berkurang tajam dari 650.000 menjadi 150.000.
Tak lama setelah kematian Justinianus, musuh-musuh yang kuat menyerbu. Akibatnya wilayah Romawi terus menyusut, dan pemerintahan terpusat yang kuat digantikan oleh perang saudara.
Setelah mengalami Wabah Athena dan Wabah Antoninus, Kekaisaran Romawi terpecah menjadi dua bagian: Timur dan Barat. Kekaisaran Romawi Barat mati dalam barbar. Sementara kelanjutan Kekaisaran Romawi Timur dihancurkan oleh Wabah Justinian hingga akhirnya musnah.
Menurut agama Kristen, penganiayaan terhadap orang-orang Kristen oleh puluhan kaisar Kekaisaran Romawi dan merosotnya moral orang-orang Romawi adalah penyebab runtuhnya kekaisaran.
Banyak orang berpikir bahwa hidup adalah membuat diri kita menikmati kehidupan yang nyaman, makmur-sejahtera, kemudian bersenang-senang, dan menikmati nafsu syahwat. Tidak peduli yang namanya moralitas dan keyakinan beragama.
Namun, legenda dan fakta sejarah yang tak terhitung banyaknya pada ribuan tahun silam menunjukkan kepada kita, bahwa tidak peduli percaya atau tidak, Tuhan itu ada.
Umat manusia yang memiliki keyakinan beragama, menghormati dan memuliakan Tuhan, moralitas mencapai norma yang ditentukan Tuhan, baru akan mendapatkan perlindungan dari-Nya. Hanya dengan begitu Tuhan baru akan memberikan kesehatan, kekayaan, dan kemuliaan bagi manusia.
Namun sebaliknya, begitu umat manusia menyimpang dari jalan dan menjauh dari Tuhan, maka Tuhan akan menarik kembali segala sesuatu yang telah diberikan oleh-Nya, termasuk kemuliaan kekaisaran, dan berkah serta kesehatan dan kesejahteraan umat manusia melalui wabah yang takkan mampu dikendalikan oleh umat manusia.
Keterangan foto: Benteng Konstantinopel semasa Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium (internet)
Johny /rp
Video Rekomendasi