2. Globalisasi Ekonomi
Globalisasi ekonomi mengacu pada integrasi rantai modal global, produksi, dan perdagangan yang dimulai pada tahun 1940-an hingga 1950-an, jatuh tempo pada tahun 1970-an hingga 1980-an, dan didirikan sebagai norma global pada tahun 1990-an. Kekuatan pendorong di belakangnya adalah agen dan perusahaan internasional, yang menuntut pelonggaran peraturan dan kendali untuk memungkinkan aliran modal yang bebas. Di permukaan, globalisasi ekonomi dipromosikan oleh negara-negara Barat untuk menyebarkan kapitalisme di seluruh dunia.
Sayangnya, globalisasi telah menjadi wahana penyebaran komunisme. Secara khusus, globalisasi telah mengakibatkan negara-negara Barat memberikan dukungan keuangan bagi rezim Tiongkok, yang mengakibatkan saling ketergantungan antara ekonomi pasar kapitalis dengan ekonomi totaliter sosialis Partai Komunis Tiongkok. Sebagai imbalan atas keuntungan ekonomi, Barat mengorbankan hati nurani dan nilai-nilai universal, sementara rezim komunis memperluas kendalinya dengan cara paksaan ekonomi, seolah-olah komunisme ditetapkan untuk mendapatkan dominasi global.
a. Globalisasi Memunculkan Ekonomi Gaya Komunis
Globalisasi telah mengubah ekonomi dunia menjadi satu entitas ekonomi tunggal, dan selama proses ini, berbagai organisasi internasional, perjanjian, dan peraturan telah dibuat. Di permukaan, hal ini tampaknya mengenai ekspansi kapitalisme dan pasar bebas. Tetapi, pada kenyataannya, globalisasi adalah pembentukan sistem kendali ekonomi terpadu, yang dapat mengeluarkan perintah untuk menentukan nasib perusahaan di banyak negara. Hal ini sama dengan membentuk sistem ekonomi totaliter terpusat, sejalan dengan tujuan Josef Stalin menyatukan semua negara untuk membentuk satu sistem ekonomi. Setelah tatanan keuangan internasional ini terbentuk, fenomena bantuan ekonomi jangka panjang dari negara maju ke negara berkembang juga terbentuk. Ini adalah tujuan ketiga Josef Stalin.
Dalam hal bantuan keuangan, organisasi keuangan internasional biasanya menerapkan intervensi makro di negara-negara penerima. Metode yang digunakan adalah diktator. Tidak hanya kuat, tetapi juga mengabaikan kondisi sosial, kebudayaan, dan sejarah negara penerima. Hasilnya adalah kebebasan yang lebih sedikit dan kendali yang lebih terpusat. Ahli analisa kebijakan Amerika Serikat James Bovard menulis bahwa Bank Dunia “telah sangat mempromosikan nasionalisasi ekonomi Dunia Ketiga dan telah meningkatkan kendali politik dan birokrasi atas kehidupan rakyat termiskin dari rakyat miskin.” [6]
Selain itu, globalisasi ekonomi telah menyebabkan homogenitas global, dengan kesamaan yang lebih besar dalam tren konsumen dan mekanisme produksi serta konsumsi yang disatukan di seluruh dunia. Perusahaan kecil, terutama yang memproduksi seni dan kerajinan tradisional, memiliki ruang lebih sedikit untuk bertahan hidup. Banyak perusahaan kecil dan mereka yang terkait dengan kelompok etnis lokal telah dihancurkan oleh gelombang globalisasi. Semakin banyak orang telah kehilangan lingkungan hidup dan kelayakan untuk secara bebas terlibat dalam perdagangan di dalam perbatasannya sendiri.
Negara-negara berkembang menjadi bagian rantai produksi global, melemahkan kedaulatan ekonomi masing-masing negara dan, dalam beberapa kasus, mengarah pada kegagalan negara. Beberapa negara menjadi terbebani utang dan kebutuhan untuk memenuhi pembayaran utang tersebut, yang menghancurkan fondasi ekonomi kapitalis bebas untuk negara-negara tersebut.
b. Globalisasi Memupuk Komunisme di Negara Berkembang
Pada awal tahun 2000-an, Jamaika membuka pasarnya dan mulai mengimpor susu sapi murah dalam jumlah besar. Hal ini membuat susu lebih terjangkau bagi lebih banyak orang, tetapi juga membuat para peternak sapi perah lokal, yang tidak dapat bertahan hidup di tengah banjir impor murah, bangkrut. Meksiko dulu memiliki banyak pabrik manufaktur industri ringan, tetapi setelah Tiongkok diterima di WTO, sebagian besar pekerjaan itu meninggalkan Meksiko dan pergi ke Tiongkok. Meksiko menderita karena tidak memiliki kemampuan manufaktur kelas atas. Negara-negara Afrika kaya akan mineral, tetapi sejak investasi asing mengalir, mineral-mineral itu telah ditambang untuk diekspor ke luar negeri, dengan sedikit sekali keuntungan ekonomi yang dihasilkan untuk penduduk lokal.
Investasi asing juga merusak pejabat pemerintah. Globalisasi mengklaim membawa demokrasi ke negara-negara itu, tetapi dalam kenyataannya globalisasi telah memberdayakan kediktatoran korup. Di banyak tempat, kemiskinan telah memburuk. Menurut statistik tahun 2015 dari Bank Dunia, “Lebih dari setengah dari orang yang sangat miskin tinggal di Afrika Sub-Sahara. Faktanya, jumlah orang miskin di wilayah ini meningkat sebesar 9 juta, di mana 413 juta orang hidup dengan pendapatan kurang dari USD 1,90 per hari di tahun 2015.”[7]
Selama krisis keuangan Asia, Thailand membuka sistem keuangannya yang lemah untuk investasi internasional, yang membawa kemakmuran sementara. Tetapi ketika investasi asing pergi, ekonomi Thailand terhenti dan secara negatif mempengaruhi negara-negara tetangganya.
Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi, dunia telah menjadi desa. Tampaknya globalisasi akan memberikan kemakmuran keuangan dan nilai-nilai demokrasi ke seluruh desa global. Namun, seperti yang dikatakan oleh Profesor Dani Rodrik dari Sekolah Pemerintahan John F. Kennedy di Harvard, ada “trilemma” globalisasi: “Kita tidak dapat secara serentak mengejar demokrasi, tekad nasional, dan globalisasi ekonomi.” [8] Ini adalah kelemahan tersembunyi dari globalisasi dan sesuatu yang telah dieksploitasi oleh komunisme.
Jelas, manfaat dan peluang yang ditimbulkan oleh globalisasi terbatas pada sejumlah kecil orang. Di tempat lain, globalisasi secara artifisial memperburuk ketidaksetaraan, dan globalisasi tidak dapat menyelesaikan masalah kemiskinan jangka panjang. Globalisasi telah mengikis kedaulatan nasional, memperburuk kekacauan regional, dan menimbulkan konflik antara “penindas” dengan “yang tertindas.”
Gagasan mengenai penindasan, eksploitasi, ketidaksetaraan, dan kemiskinan adalah senjata yang digunakan kaum Kiri untuk melawan kapitalisme, sebagai perlawanan dari yang tertindas terhadap penindas adalah model khas untuk komunisme. Ideologi komunal mengenai egalitarianisme dan etos perjuangan telah menyebar ke seluruh dunia bersamaan dengan globalisasi.