Forum Dengar Pendapat Menunjukkan Rakyat Tiongkok Ingin Beijing Bertanggung Jawab atas Pandemi

Limin Zhou

Seorang analis Tiongkok yang berbasis di California mengatakan, Rakyat Tiongkok sejak awal dapat melihat adanya kerahasiaan seputar wabah virus di Wuhan. Rakyat juga ingin rezim Beijing bertanggung jawab atas virus yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.

“Pertanggungjawaban — suara itu pertama kali terdengar jelas dari rakyat Tiongkok sendiri. Rakyat Tiongkok jelas tahu pada waktu itu bahwa [kerahasiaan] adalah faktor mendasar yang menyebabkan pandemi menjadi begitu besar,” kata Xiao Qiang, seorang ilmuwan peneliti di Fakultas Informasi di Universitas California, Berkeley.

Xiao Qiang, juga adalah pendiri China Digital Times, sebuah situs web yang memantau kendali internet Tiongkok. Ia mengatakan dirinya dan stafnya mulai mengikuti media sosial Tiongkok secara ketat pada awal bulan Januari, setelah muncul berita wabah virus. Ia menemukan bahwa banyak orang mengekspresikan kecemasan dan memohon bantuan. Akan tetapi ada kekurangan informasi dari Beijing.

“Meskipun ada bukti awal penularan dari manusia ke manusia saat medis pekerja menjadi terinfeksi, informasi ini tidak sampai ke masyarakat selama berminggu-minggu,” kata Xiao Qiang.

Xiao Qiang berkomentar selama diskusi panel online yang diadakan pada tanggal 9 Juni 2020 berjudul “China at a Crossroads: Standing Up for Human Rights During the Pandemic” atau “Tiongkok di Persimpangan: Menghadapi Hak Asasi Manusia Selama Pandemi.” Hadir dengan pembicara dari Kanada, Amerika Serikat, Australia, dan Hong Kong.

Xiao Qiang menguraikan keterlibatan Partai Komunis Tiongkok dalam penyebaran virus dengan menutupi informasi mengenai virus. Itu setelah virus muncul di Wuhan, termasuk penindasan informasi dan penangkapan dan penghilangan dokter, wartawan, dan pembangkang yang berusaha melaporkan pelanggaran.

Xiao Qiang mendaftar nama-nama beberapa petugas medis dan lainnya yang berusaha memberitakan wabah virus tetapi dibungkam oleh rezim Tiongkok.

Ia mengatakan, Pemerintah Tiongkok menyensor informasi masyarakat secara online. Bahkan menyensor informasi kesehatan masyarakat secara online. Sehingga pemerintah setempat menunda dan menyembunyikan informasi dari masyarakat. 

Xiao Qiang mengatakan pada cuitannya tanggal 14 Januari 2020 oleh Organisasi Kesehatan Dunia, investigasi awal yang dilakukan oleh pihak berwenang Tiongkok tidak menemukan bukti yang jelas adanya penularan virus dari manusia ke manusia. Hal demikian “secara sederhana memperparah narasi resmi dan informasi yang salah yang diberikan oleh pemerintah Tiongkok. Sehingga memungkinkan wabah mematikan ini menyapu seluruh dunia.

“Organisasi Kesehatan Dunia gagal bertanggung jawab untuk memeriksa informasi dari pihak berwenang Tiongkok,” kata Xiao Qiang. Ia menambahkan informasi yang terkait dengan wabah terus ditindas di dalam negeri Tiongkok selama waktu itu.

“Setiap informasi mengenai kredibilitas pemerintah, angka-angka palsu, angka kematian yang sebenarnya di Wuhan, asal usul virus, dan apa pun yang berbeda dari narasi pemerintah terus-menerus ditindas. Orang yang menyerukan hal tersebut ditangkap atau dibungkam.”

Keterangan gambar : Xiao Qiang, seorang ilmuwan penelitian di Fakultas Informasi di Universitas California, Berkeley dan pemimpin redaksi China Digital Times berbicara di forum “Tiongkok di Persimpangan: Menghadapi Hak Asasi Manusia Selama Pandemi” pada tanggal 9 Juni. (Screenshot / The Epoch Times)

‘Kebudayaan Korupsi dan Kriminalitas’

Mantan Menteri Kehakiman Kanada dan Jaksa Agung, Irwin Cotler mengatakan, penangkapan whistleblower di Beijing dan kerahasiaan Beijing serta informasi yang salah seputar pandemi, yang mana diberikan oleh Beijing adalah contoh dari “serangan lain terhadap permintaan internasional berdasarkan-aturan” mirip dengan infiltrasi Beijing di Hong Kong.

Irwin Cotler menjelaskan bahwa Proposal Beijing untuk memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong, setelah penangkapan 15 aktivis pro-demokrasi dan [seorang legislator saat ini dan sembilan mantan legislator] merupakan serangan frontal lainnya terhadap supremasi hukum. Tak hanya itu, tindakan itu juga politisasi kebebasan mendasar yang dilindungi hukum dasar Hong Kong, dan penuntutan yang dipolitisasi di bawah kerahasiaan pandemi”.  

Irwin Cotler, saat ini adalah Ketua Pusat Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg, yang mengorganisir forum bekerja sama dengan para mitranya. Ia mengatakan media Hong Kong yang dikelola pemerintah, memiliki risiko penganiayaan dan penuntutan berdasarkan undang-undang keamanan nasional yang kontroversial.  UU itu merupakan pelanggaran terhadap

Deklarasi Tiongkok-Inggris, sebuah perjanjian internasional.

Irwin Cotler menunjuk ke “kebudayaan korupsi dan kriminalitas” rezim Beijing dan bagaimana penanganan pandemi oleh rezim Beijing belum menerima “pemberitahuan atau kemarahan” dari komunitas internasional.

Terkait serangan Partai Komunis Tiongkok terhadap demokrasi di Hong Kong, Irwin Cotler mencatat penahanan Muslim Uighur dalam  kamp konsentrasi, ​​penindasan aktivis demokrasi di Tiongkok, ancaman rezim Tiongkok terhadap Taiwan, penindasan dan pemindahan warga Tibet, serta kampanye penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong, saat ini sudah berlangsung selama dua dekade.

Keterangan gambar : (Searah jarum jam dari atas) Mantan anggota Dewan Legislatif Hong Kong Emily Lau; Presiden Endowment Nasional untuk Demokrasi yang berbasis di Amerika Serikat Carl Gershman; penulis dan wartawan Kanada Terry Glavin, moderator forum; Senator Australia, Kimberley Kitching; dan mantan Menteri Kehakiman Kanada Irwin Cotler selama forum online pada tanggal 9 Juni. (Screenshot / The Epoch Times)

‘Aktivitas Internasional yang Agresif’

Carl Gershman, Presiden Endowment Nasional untuk Demokrasi di Washington, D.C., menggambarkan pandemi sebagai “bencana yang melanda dunia” yang dapat jauh lebih baik jika tidak dirahasiakan, mengutip sebuah penelitian oleh Universitas Southampton.

Dirilis pada tanggal 11 Maret, penelitian tersebut menemukan bahwa jika “intervensi non-farmasi — seperti deteksi dini dapat mengurangi kasus hingga 66 persen, isolasi kasus dapat mengurangi kasus hingga 86 persen, pembatasan perjalanan dan cordon sanitaire atau membatasi keluar masuk orang di suatu wilayah, dengan pengecualian orang yang melakukan tugas penting, dapat mengurangi kasus hingga 95 persen. Hal demikiam jika dilakukan satu minggu, dua minggu, atau tiga minggu sebelumnya — secara bermakna membatasi penyebaran geografis penyakit.”

“Seandainya [Beijing] bertindak hanya tiga minggu lebih cepat, jumlah kasus COVID mungkin berkurang sebesar 95 persen yang akan mencegah terjadinya pandemi,” kata Carl Gershman.

Carl Gershman juga mencatat kurangnya penyesalan Beijing atas pandemi dan konsekuensi akibat pandemi. Bahkan, Carl Gershman mengatakan, Beijing “merahasiakan  pandemi untuk terlibat dalam kegiatan internasional yang lebih agresif,” seperti ikut campur urusan internal Hong Kong.

“Beijing melakukan kegiatan internasional yang lebih agresif karena Beijing pikir Amerika Serikat dan negara lainnya sedang begitu asyik dengan virus ini yang memberi kebebasan bagi Beijing untuk berperilaku secara agresif,” kata Carl Gershman. Dan, tentu saja Beijijng juga melakukan tekanan, di mana diplomat prajurit serigala yang agresif mengancam akan memboikot daging sapi dan anggur Australia. Itu setelah Australia menyerukan penyelidikan internasional independen mengenai asal-usul virus tersebut.

“Jadi, bukannya menunjukkan penyesalan dan bekerja sama, Beijing berperilaku jauh, jauh lebih melecehkan dan agresif daripada sebelumnya, karena Beijing berpikir bahwa dunia tidak mampu menanggapi Beijing karena sibuk mengendalikan virus,” ujarnya. 

Carl Gershman menggambarkan Partai Komunis Tiongkok sebagai “sangat tidak aman.”

“Tiongkok, dalam pandangan saya — dan saya berbicara mengenai rezim Tiongkok, bukan negara Tiongkok, bukan rakyat Tiongkok, saya berbicara mengenai Partai Komunis Tiongkok, rezim di Beijing — Partai Komunis Tiongkok adalah sangat tidak aman, karena Partai Komunis Tiongkok menderita apa yang disebut oleh sarjana Universitas Columbia, Andy Nathan sebagai cacat lahir yang tidak dapat disembuhkan, yaitu sistem diktator Partai Komunis Tiongkok yang tidak memiliki legitimasi,” kata Carl Gershman. 

Bangkit Menghadapi Rezim Komunis Tiongkok

Irwin Cotler mengatakan pemerintah negara-negara demokrasi Barat “terlalu berlebihan dalam memanjakan, menyetujui, menutup mata” terhadap rezim Tiongkok dalam mengabaikan hak asasi manusia dan supremasi hukum. Kini waktunya telah tiba itu mengakhiri hal itu.

“Terus terang, rezim Tiongkok tidak hanya mampu melanjutkan penindasannya, tetapi juga menindas dengan kebal hukum. Waktunya telah tiba untuk keadilan dan bertanggung jawab,” kata Irwin Cotler.

Irwin Cotler mencatat pembentukan aliansi antar-parlemen baru-baru ini di Tiongkok — anggota parlemen dari sembilan parlemen global yang hadir bersama-sama untuk “memobilisasi konstituensi hati nurani” untuk perlindungan tatanan internasional berbasis peraturan — tetapi mengatakan lebih banyak lagi yang dibutuhkan.

 Irwin Cotler berkata : “Memahami bahwa apa yang kita hadapi di sini adalah rezim pemangsa yang terlibat dalam penindasan masif warganegaranya sendiri dan mengekspor agresi di luar negeri. Dan itulah mengapa kita membutuhkan koalisi pemerintah yang hadir bersama — tidak hanya aliansi anggota parlemen, tetapi aliansi pemerintah yang diwakili anggota parlemen — sehingga pada titik ini, kita dapat memiliki sebuah aliansi komunitas demokrasi di tingkat pemerintah, bergabung dengan anggota parlemen dan masyarakat sipil, untuk menghukum rezim Beijing.” 

Inisiatif dan tindakan lain yang diusulkan Irwin Cotler mencakup:

• Utusan Khusus Amerika Serikat untuk melindungi hak dan kebebasan rakyat Hong Kong.

• Kebutuhan untuk meminta pertanggungjawaban Partai Komunis Tiongkok atas penahanan lebih dari satu juta warga Uighur.

• Mengakhiri penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong dan “kriminalisasi yang berkelanjutan terhadap sistem kepercayaan praktisi Falun Gong, yaitu Sejati, Baik, dan Sabar. Praktisi Falun Gong adalah korban utama panen organ secara ilegal,” kata Irwin Cotler, di mana Pengadilan Tribunal Tiongkok yang diketuai oleh Sir Geoffrey Nice “merujuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap Falun Gong dan lainnya yang menjadi target, dan juga mencakup warga  Uighur.”

• Akhiri pemindahan dan penindasan warga Tibet dan ancaman terhadap Taiwan.

• Meminta Beijing bertanggung jawab atas pembatasan kebebasan media.

• Melindungi integritas lembaga-lembaga internasional yang mengalami peningkatan pengaruh Beijing, baik itu Organisasi Kesehatan Dunia, Bank Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia, Dewan Hak Asasi Manusia, dan lain-lain.

• Memberi sanksi Magnitsky yang ditargetkan pada pelanggar hak asasi manusia untuk melindungi rakyat Hong Kong dan lainnya yang diserang.

• Membentuk investigasi yang tidak memihak, komprehensif mengenai tanggung jawab Partai Komunis Tiongkok terhadap penyebaran pandemi.

(Vv)

FOTO : Petugas polisi berjaga-jaga di luar Stasiun Kereta Api Hankou menjelang dimulainya kembali layanan kereta api di Wuhan pada 8 April 2020. Memegang Beijing untuk memperhitungkan penutupan wabah virus adalah salah satu topik untuk diskusi di forum online baru-baru ini yang berjudul “China at a Crossroads: Standing Up for Human Rights During the Pandemic.” (Foto AP / Ng Han Guan)

https://www.youtube.com/watch?v=-Fl0BDozR6U

FOKUS DUNIA

NEWS