Nicole Hao
Di Tengah gencarnya perlombaan Komunis Tiongkok untuk mengembangkan vaksin virus Komunis Tiongkok atau coronavirus, spesialis dari Shanghai baru-baru ini membeberkan kepada media yang dikelola pemerintahan Komunis Tiongkok tentang risiko reaksi merugikan yang dikenal sebagai Antibody-Dependent Enhancement (ADE). Akan tetapi beberapa jam kemudian, laporan itu dihapus dari internet
Tubuh manusia menghasilkan antibodi setelah tertular virus. Kemudian para ilmuwan telah menemukan bahwa beberapa virus dapat memanifestasikan ADE. Ini berarti, antibodi yang dipicu oleh infeksi pertama dapat menghubungkan jenis virus kedua ke reseptor pada sel imun — sehingga memungkinkan virus memasuki sel imun.
Atas dasar itu, berpotensi memicu pasien yang terinfeksi oleh satu jenis virus, menderita kekambuhan penyakit yang lebih serius jika mereka terinfeksi oleh jenis kedua di kemudian hari. Dikarenakan vaksin bekerja dengan mengandung toksin atau protein permukaan dari suatu bakteri atau virus, yang merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali patogen sebagai ancaman dan menghasilkan antibodi untuk menghancurkannya, maka potensi ADE sering dipertimbangkan saat merancang vaksin.
Laporan Media Tiongkok
Pada laporan 30 Agustus 2020, kantor berita Yicai mewawancarai empat spesialis Tiongkok tentang risiko ADE dari virus Komunis Tiongkok, yang umumnya dikenal sebagai novel coronavirus.
Seorang spesialis yang tidak disebutkan namanya dari Pusat Klinik Kesehatan Masyarakat Shanghai berkata, “Penelitian terbaru kami menemukan bahwa virus corona baru memiliki fenomena ADE, dan persentasenya tidak kecil.”
Ahli virologi dan profesor di Universitas Hong Kong, Jin Dong-yan juga menyampaikan kepada Yicai bahwa virus Komunis Tiongkok mungkin memiliki ADE. Dia mengutip kasus pasien yang baru-baru ini sembuh, kemudian dinyatakan kembali positif COVID-19. Hal demikian sebagai bukti atas fenomena tersebut. Dia mengutip satu kasus tertentu di Amerika Serikat.
Menurut Nevada Independent, seorang warga Nevada berusia 25 tahun dinyatakan kembali terkonfirmasi positif COVID-19 pada 6 Juni 2020, 48 hari setelah tes positif pertamanya. Kedua sampel virus dari pasien pada bulan April dan Juni berbeda. Sedangkan pasien mengalami gejala yang parah setelah infeksi kedua.
“Pasien memiliki antibodi ketika dia dalam kondisi parah [selama infeksi kedua], artinya gejalanya mungkin disebabkan oleh sistem kekebalannya. Ada kemungkinan ADE,” kata Jin.
Pada 31 Agustus 2020, Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Tiongkok, Gao Fu menanggapi laporan Yicai dan mengatakan, masih belum jelas apakah virus Komunis Tiongkok memanifestasikan ADE.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah Nature pada 5 Juni 2020, menyimpulkan bahwa “apakah SARS-CoV-2 dapat menyebabkan efek ADE, tetap merupakan pertanyaan terbuka,” akan tetapi “mengingat bahwa ADE telah diamati dengan SARS-CoV yang terkait erat,” perlu studi lebih lanjut yang akan dilakukan pada efek ADE. SARS-CoV-2 adalah nama ilmiah lengkap untuk virus penyebab COVID-19, sedangkan SARS-CoV adalah sebutan untuk virus penyebab SARS.
Studi tersebut juga memperingatkan bahwa karena “rancangan vaksin tertentu lebih mungkin untuk memicu respon kekebalan ADE daripada yang lain,” para peneliti harus “melanjutkan dengan hati-hati” dalam mengembangkan vaksin untuk COVID-19.
Vaksin Tiongkok
Meskipun kurangnya penelitian secara konkret, rezim Komunis Tiongkok terus maju dengan uji coba vaksin COVID-19.
Media milik pemerintahan Komunis Tiongkok, Xinhua melaporkan pada 28 Agustus 2020, bahwa tiga perusahaan Tiongkok sedang melakukan uji klinis fase 3, dengan satu pengujian pabrik pada lebih dari 30.000 orang di negara-negara di Timur Tengah, Amerika Selatan dan Asia Tenggara.
Perusahaan BUMN Komunis Tiongkok dan tentara, juga mengamanatkan sejumlah karyawan dan tentara untuk mengambil bagian dalam uji coba vaksin.
Komentator Tiongkok yang berbasis di AS dan mantan dokter medis, Tang Jingyuan mengatakan bahwa dorongan rezim Komunis Tiongkok tidak bertanggung jawab dan serupa dengan memperlakukan warga Tiongkok “sebagai tikus laboratorium”.
Tang berkata : “Rejim Tiongkok sangat ingin menjadi yang pertama memiliki vaksin yang disetujui. Vaksin perlu digunakan sebagai alat politik untuk mendapatkan dukungan dari negara berkembang, sekaligus bersaing dengan negara maju”.
Laporan Yicai memicu memanasnya diskusi online di daratan Tiongkok, sebelum laporan itu dihapus.
Tang mengatakan : “Rezim Komunis Tiongkok tidak ingin opini publik merusak rencananya. Ini mungkin alasan mengapa pihak berwenang segera menghapus artikel tersebut.” (asr)
Keterangan Foto : Seorang perawat menunjukkan vaksin COVID-19 yang diproduksi oleh perusahaan Sinovac Biotech di Rumah Sakit Sao Lucas di Porto Alegre, Brasil selatan pada 08 Agustus 2020. (SILVIO AVILA / AFP via Getty Images)