oleh CHEN WEIYU
Pada 1958, Partai Komunis Tiongkok (PKT) menggerakkan program Lompatan Jauh Ke Depan (Great Leap Forward, red.). Menurut buku baru terbitan Culture & Art Publishing (Hong Kong) berjudul “Zhou Enlai di Balik Topengnya” bahwa selama periode yang disebut “tiga tahun bencana alam (1959 – 1961)”, Zhou Enlai yang merangkap sebagai menteri luar negeri, sedikit pun tidak peduli akan kenyataan matinya lebih dari 40 juta petani Tiongkok akibat kelaparan, dan dia terus mengekspor beras murah ke Uni Soviet dan negara satelit Eropa Timur sebanyak 4,74 juta ton, menyumbangkan barang senilai 30 juta rubel dan uang tunai sebesar 3,5 juta poundsterling kepada Hungaria. Membantu Guinea sebanyak 10.000 ton beras, serta membantu Kongo sebanyak 5.000 – 10.000 ton gandum dan beras.
Pada akhir 1961, Menteri Pangan Chen Guo- dong, Menteri Statistik Jia Qiyun, Kepala Kantor Urusan Pangan Zhou Boping pernah melakukan investigasi terhadap jumlah korban yang tewas akibat wabah kelaparan yang melanda selama tiga tahun. Kemudian pada era 1980-an abad ke-20, Zhou Boping membuat laporan di Institute of Population Research pada Chinese Academy of Social Science, mengatakan pada waktu itu mereka bertiga meminta setiap provinsi mengisi formulir, berapa banyak orang yang mati kelaparan, hasil statistik itu menyebutkan kelaparan menewaskan puluhan juta orang.
Seusai Zhou Enlai membaca laporan itu, lantas memerintahkan mereka agar segera dimusnahkan. Seminggu kemudian, Zhou Enlai masih belum yakin, lalu bertanya lagi pada mereka apakah sudah dimusnahkan seluruhnya. Mereka menjawab, semuanya sudah dimusnahkan, bahkan ingatan di otak pun sudah dilenyapkan.
Hingga kini, di dalam arsip PKT tidak ada angka statistik yang secara tepat menyebutkan jumlah korban tewas akibat kelaparan selama tiga tahun antara 1959 hingga 1961 itu, generasi berikutnya tidak mengetahui fakta kebenaran, dan tidak ada orang yang dituntut pertanggung-jawabannya…
Untuk menyebarkan paham komunis, Zhou Enlai tidak hanya tidak peduli akan nyawa rakyat, juga mengekspor revolusi hingga ke luar negeri, membuat etnis Tionghoa di luar negeri ikut terkena imbasnya. Pada awal 1960-an abad lalu meletus peristiwa kerusuhan anti-Tionghoa di Indonesia, juga pembantaian Khmer Merah, itu semua tidak terlepas dari keterkaitan Zhou Enlai.
Waktu itu Zhou Enlai menepuk dada mengucap janji kepada Uni Soviet dan berbagai perwakilan negara komunis lainnya, “Begitu banyak etnis Tionghoa di Asia Tenggara, pemerintah RRT mampu menyebarkan paham komunis melalui para etnis Tionghoa ini, dan membuat seluruh Asia Tenggara berubah menjadi merah hanya dalam satu malam saja.”
Pernyataan Zhou Enlai ini membuat negara-negara di Dunia III mengajukan protes keras. Dan akibatnya, meletuslah tragedi kerusuhan anti-Tionghoa di Asia Tenggara seperti di Malaysia dan Thailand, khususnya dalam kerusuhan anti-Tionghoa di Indonesia pada 1965, yang berkaitan langsung dengan upaya kudeta PKI yang dikomandoi oleh Zhou Enlai.
Pada 1945, Indonesia merdeka, kemudian terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat, dan Soekarno menjadi presiden yang pertama.
Pada akhir 1950-an hingga awal 1960- an, PKT telah memasok banyak perlengkapan militer dan bantuan ekonomi bagi Indonesia, di saat bersamaan juga mengekspor “revolusi”, dengan mendukung Partai Komunis Indonesia.
PKI pun menjadi organisasi komunis ketiga terbesar di seluruh dunia, yang jumlah anggotanya mencapai lebih dari 2 juta orang, membengkaknya kekuatan itu telah menimbulkan dampak yang teramat besar bagi masyarakat tradisional Indonesia.
Pada 30 September 1965, meletuslah “Gerakan 30 September” di Indonesia. Letkol Untung Syamsuri selaku Komandan Batalyon 3 Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa yang juga orang kepercayaan Soekarno sekaligus anggota PKI, dengan maksud menguasai kekuatan militer, melakukan kudeta dengan menculik dan membunuh enam orang pemimpin militer sayap kanan termasuk Komandan Angkatan Darat Ahmad Yani.
Mayjend Soeharto pada waktu itu menentang dan menuding PKI telah membunuh lawan politik dengan maksud merebut kekuasaan, ia pun mengumpulkan perwira sayap kanan, dan melakuan pembersihan besar-besaran terhadap orang-orang komunis secara nasional.
Pada tahun yang sama meletuslah peristiwa anti-Tionghoa di Indonesia. Akibat PKT memperluas revolusi merah hingga ke luar negeri, campur tangan urusan dalam negeri negara lain, mengakibatkan banyak etnis Tionghoa yang dieksekusi mati karena dianggap sebagai anggota komunis, banyak di antara mereka adalah orang yang tak bersalah.
Selain itu, Zhou Enlai juga menyebarkan revolusi ke Hong Kong. 2017 adalah peringatan 50 tahun peristiwa kerusuhan berdarah 1967 di Hong Kong, pelaku media senior Hong Kong yakni Connie Lo Yan-Wai memeriksa kembali arsip pemerintah yang morat marit terkait kerusuhan 1967, mewawancarai orang yang terlibat dan pelaku berusia muda, lalu membuat film dokumenter berjudul Vanished Archives, yang merekam keterlibatan petinggi PKT dalam kerusuhan di Hong Kong. Untuk mendukung kerusuhan tersebut, Zhou Enlai memberi wewenang mengirimkan 8.400 bilah golok penebas tebu ke Hong Kong, untuk melakukan kerusuhan, namun pada akhirnya tidak terlaksana.
Kerusuhan berlangsung sejak Mei 1967 hingga Desember 1967, menyebabkan 2.000 orang digugat, lebih dari 800 orang cedera, 50 orang lainnya tewas, termasuk dua orang anak kecil yang tewas akibat bom yang dikemas seperti kado. Data sejarah menunjukkan, kerusuhan 1967 dilatarbelakangi revolusi di Tiongkok, yang dikendalikan dan dikomandoi oleh PKT di baliknya, juga merupakan kesempatan bagi PKT untuk berlatih metode provokasi massa bertarung dengan massa di Hong Kong.
Ada orang yang pernah menyamakan Zhou Enlai dengan Lavrentiy Pavlovich Beria. Beria adalah sang algojo andalan Stalin dalam melakukan pembersihan besar-besaran. Akan tetapi jumlah orang yang diperintahkan bunuh oleh Zhou Enlai jauh lebih banyak daripada Beria, kekejaman dan kelicikannya sulit ditandingi oleh Beria.
Surat kabar Renmin Bao pernah memuat artikel yang ditulis oleh Chen Jing berjudul “Hantu Gentayangan Zhou Enlai”, ada lagi artikel de-ngan nama samaran Beihai Qingnian berjudul “Iblis Pembunuh: Beria dari Tiongkok – Zhou Enlai”, juga beredar luas di internet. Kedua artikel ini mengungkap kekejaman Zhou Enlai kontennya sangat brutal dan menakutkan, jauh melampaui kemampuan menerima secara psikologis bagi manusia normal.
Banyak orang tidak mengerti, mengapa Zhou Enlai begitu kejam? Prinsipnya sangat sederhana namun sangat sulit dipercaya, karena bagi orang yang berhati baik, tidak akan bisa memahami motivasi partai komunis dalam membunuh.
Dan, bagi Zhou Enlai yang menjalankan misi rahasia bagi Komunis Internasional, justru luar biasa berpengalaman dalam hal esensi membunuh dan dampaknya.
Secara teori, sejak partai komunis itu lahir, telah mewarisi ciri khas iblis yang haus darah, segala teori “kediktatoran proletariat” dan “revolusi” yang menganut Marxisme itu juga meru- pakan teori pembunuhan.
Jadi, baik itu sebelum ataupun sesudah mendirikan pemerintahan, PKT telah mengobarkan ajang pembersihan politik, mulai dari “liang ribuan orang” sampai “insiden liga AB” (Anti-Bolshevik, di tahun 1930- an, red.), kampanye tiga-anti, lima-anti, dan gerakan menekan kontra-revolusioner (1950-an), sampai Revolusi Kebudayaan (1966 – 1976), telah membunuh rakyat tak terhingga jumlahnya.
Dari fakta ini perlu diperhatikan, partai komunis tumbuh besar dengan membunuh orang sebagai cara yang diandalankan, dan karena sudah mulai membunuh, maka tidak bisa berhenti di tengah jalan, serta harus terus menciptakan teror, agar warga menerima kenyataan di tengah teror. Jadi membunuh orang pun menjadi salah satu cara wajib bagi PKT untuk memper- tahankan kekuasaannya. Bagi para petinggi PKT, semakin banyak hutang darah maka jika golok penjagal itu diletakkan, sama saja artinya menyerahkan diri dieksekusi oleh warga.
Menurut statistik di kalangan sipil, sejak masa damai 1949 hingga kini, PKT telah menewaskan sedikitnya 60 juta hingga 80 juta rakyatnya sendiri. Ada yang melimpahkan kejahatan pembunuhan pada Mao Zedong. Memang, Mao Zedong adalah orang yang mengobarkan gerakan ini, sementara Zhou Enlai-lah pelaksananya. Zhou Enlai yang merupakan seorang mata-mata, merekayasa fakta, memanipulasi bukti, adalah keahliannya.
Bisa dikatakan, tanpa dukungan jaringan mata-mata Zhou Enlai yang sangat besar ini, Mao Zedong akan sangat sulit mengobarkan satu demi satu gerakan tersebut.
Setelah Marx berubah menjadi iblis, dan mulai mengutuk Tuhan, lalu menyatakan akan memusnahkan seluruh umat manusia, Marx dengan sendirinya tahu dirinya akan masuk neraka.
Sementara Zhou Enlai pun tahu akan tempatnya yang layak untuk dirinya, tidak hanya tiga kali membongkar makam leluhurnya, juga meminta agar jasad dirinya dibakar setelah meninggal dan abunya dilarung, pasti karena takut generasi berikutnya akan membuat perhitungan dengannya, ia pernah mengatakan, “Jika saya tidak masuk Neraka, siapa yang akan masuk Neraka?” Bagi seorang algojo yang membunuh dengan keji, masuk ke Neraka adalah takdir yang pasti telah menimpanya. (sud)
Keterangan : Gambar tersebut menunjukkan foto arsip Zhou Enlai pada 24 Agustus 1973. (AFP / Getty Images)
Bersambung