ETIndonesia- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai praktik buruk proses legislasi UU Cipta Kerja tidak berhenti pada saat persetujuan RUU Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna DPR bulan lalu. Pada Senin, 2 November 2020 tengah malam, salinan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memuat 1.187 halaman resmi diunggah oleh pemerintah dalam laman setneg.go.id. Sayangnya, walaupun sudah diundangkan, UU Cipta Kerja masih mengandung kesalahan perumusan yang berdampak pada substansi pasal.
Menurut catatan PSHK, pada halaman 6 misalnya, rumusan Pasal 6 UU Cipta Kerja mencantumkan rujukan Pasal 5 ayat (1) huruf a, padahal Pasal 5 UU Cipta Kerja tidak memiliki ayat. Selain itu, Pasal 175 ayat (5) tertulis merujuk pada ayat (3), padahal seharusnya merujuk pada ayat (4).
“Kesalahan perumusan tersebut bukan sekadar kesalahan ketik, tetapi perlu dimaknai sebagai buah dari proses pembentukan regulasi yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas,” ujar PSHK dalam siaran persnya.
Apabila dilihat lebih dalam, kesalahan perumusan itu merupakan bentuk pelanggaran atas asas kejelasan rumusan yang diatur dalam Pasal 5 huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal itu semakin menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja mengandung cacat formil, dan harus dipertimbangkan serius oleh Mahkamah Konstitusi dalam menindaklanjuti permohonan uji formil nantinya.
Permasalahan dalam perumusan undang-undang berupa salah merujuk pasal pernah terjadi sebelumnya, yaitu ketika pemerintah mengakui ada kesalahan redaksional dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Ketentuan pidana dalam Pasal 116 ayat (4) seharusnya merujuk pada Pasal 80, tetapi rujukan yang tertulis adalah Pasal 83.
Akibatnya, ketentuan pidana itu tidak bisa dilaksanakan, dan pasal itu dimohonkan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Dalam kaitannya dengan UU Cipta Kerja, temuan kesalahan penulisan di bagian awal tidak menjamin bahwa hanya itu permasalahan redaksional yang ada dalam UU Cipta Kerja.
Temuan tersebut menunjukkan proses legislasi yang tidak transparan, tidak partisipatif, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pembentuk undang-undang, dalam hal ini Presiden dan DPR harus bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi dalam proses legislasi, tidak hanya dari segi teknis penulisan, tetapi juga dari substansi yang masih bermasalah.
Secara konstitusional, Presiden sebetulnya dapat membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk memperbaiki kesalahan redaksional dalam UU Cipta Kerja. Namun, langkah itu tetap tidak memberikan jalan keluar atas kerusakan yang telah terjadi akibat proses legislasi yang buruk dalam setiap tahap pembentukan UU Cipta Kerja.
Kesalahan-kesalahan redaksional serta praktik buruk dalam proses pembentukannya merupakan bukti yang terang benderang bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil sehingga harus dinyatakan tidak mengikat secara hukum untuk seluruhnya.
Bedasarkan hal-hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak agar:
- Pemerintah tidak melanjutkan proses pembentukan peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja dan fokus terlebih dahulu untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, agar praktik bermasalah UU Cipta Kerja tidak kembali terulang;
- Pemerintah dan DPR melakukan evaluasi terhadap proses legislasi secara menyeluruh, agar kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam pembentukan UU Cipta Kerja tidak terulang kembali; dan
- Mahkamah Konstitusi melakukan koreksi total atas kesalahan prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dengan menyatakan Undang-Undang itu tidak mengikat secara hukum, dalam hal terdapat permohonan uji formil.
(asr)