Frank Fang
Sekelompok bipartisan anggota parlemen AS memperkenalkan rancangan undang-undang di kedua kamar Kongres untuk menghentikan praktik pengambilan organ tubuh dari tahanan hati nurnai yang melanggar hukum negara. “Ada bukti yang berkembang Partai Komunis Tiongkok telah dan terus mengambil organ dari tahanan dan anggota kelompok agama di Tiongkok,” kata Senator AS, Tom Cotton dalam pernyataan dari kantornya.
Rancangan Undang-Undang yang bernama, The Stop Forced Organ Harvesting Act of 2020, mengusulkan sanksi bagi individu yang terlibat dalam pengambilan organ secara paksa dan perdagangan organ. RUU itu diperkenalkan di Senat AS oleh senator Cotton pada 15 Desember 2020 dan di DPR AS oleh Anggota DPR Chris Smith dan Tom Suozzi.
“Sudah lewat waktu untuk meminta pertanggungjawaban Beijing atas tindakan keji ini,” kata Cotton.
Tiongkok sudah menjadi salah satu tujuan utama pariwisata transplantasi, sementara Beijing dengan giat mempromosikan narasinya di surat kabar AS bahwa organ bersumber dari sumbangan sukarela.
Pada Tahun 2015, rezim Komunis Tiongkok mengumumkan dengan mengklaim, bahwa mereka akan menghentikan pengambilan organ dari tahanan yang dieksekusi. Selain itu, mengklaim bahwa secara eksekutif akan bergantung pada sistem baru dari sumbangan sukarela.
Klaim Beijing dibantah oleh laporan pada Juni 2019 yang diterbitkan oleh Tribunal Tiongkok, sebuah pengadilan independen yang berbasis di London.
Laporan tersebut menyimpulkan, setelah penyelidikan selama setahun, bahwa praktik pengambilan organ secara paksa yang dinyatakan disetujui terjadi pada “skala signifikan” di Tiongkok, dengan praktisi Falun Gong sebagai sumber utama organ.
Penganut Falun Gong, sebuah latihan spiritual yang juga dikenal sebagai Falun Dafa, menjadi sasaran penganiayaan oleh rezim di Beijing sejak 1999.
Jutaan praktisi Falun Gong dijebloskan ke penjara, kamp kerja paksa, bangsal psikiatri, dan fasilitas lainnya. Ratusan ribu orang mengalami penyiksaan, menurut perkiraan dari Falun Dafa Information Center.
Tuduhan pengambilan organ secara paksa dari pengikut Falun Gong yang ditahan muncul sekitar tahun 2006.
“Pengambilan organ adalah tindakan barbar, tidak manusiawi, dan mengerikan yang memiliki signifikansi global karena geng perdagangan manusia transnasional, organisasi teroris, pencari keuntungan, dan bahkan pemerintah — khususnya rezim Komunis Tiongkok — membunuh orang yang tidak bersalah dan menjual organ mereka untuk mendapatkan keuntungan,” kata Chris Smith dalam sebuah pernyataan.
Jika diberlakukan, RUU tersebut akan memberdayakan menteri luar negeri AS untuk menolak atau mencabut paspor bagi orang-orang yang dihukum berdasarkan pasal 301 Undang-Undang Transplantasi Organ Nasional AS, yang melarang komersialisme dan penjualan pribadi organ manusia.
Selain itu, RUU tersebut akan mengamanatkan bahwa Departemen Luar Negeri AS menambahkan informasi tentang pengambilan organ secara paksa dan perdagangan organ di negara asing, dalam laporan tahunan negara tentang hak asasi manusia.
Dalam 30 hari setelah laporan negara diterbitkan, asisten menteri luar negeri untuk demokrasi, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan AS, perlu menyerahkan laporan kepada komite urusan luar negeri DPR dan Senat AS, mengidentifikasi pejabat asing dan entitas yang bertanggung jawab atas pengambilan organ secara paksa.
Dalam laporan terpisah, menteri luar negeri AS setelah berkonsultasi dengan Menteri Kesehatan AS, perlu mengidentifikasi institusi medis dan pendidikan di Amerika Serikat yang melatih ahli bedah transplantasi organ yang berafiliasi dengan entitas asing tersebut.
RUU itu juga akan melarang ekspor perangkat operasi transplantasi organ AS ke entitas asing ini.
Terakhir, RUU tersebut akan memberdayakan presiden untuk menjatuhkan sanksi kepada pejabat dan entitas asing yang terlibat atau mendukung pengambilan organ secara paksa.
Menurut bahasa undang-undang tersebut, kemungkinan sanksi termasuk memblokir transaksi properti di Amerika Serikat, mencabut visa yang ada dan menolak masuk ke wilayah Amerika Serikat.
Sebuah laporan investigasi oleh The Epoch Times pada tahun 2016 berfokus pada satu rumah sakit Tiongkok tertentu yang terkenal melakukan operasi transplantasi organ, Tianjin First Central.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa, puluhan ribu mungkin telah terbunuh, karena rumah sakit melakukan lebih banyak transplantasi daripada yang dapat didukung oleh pasokan organ dari tahanan yang dieksekusi.
Pada November 2019, sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah BMC Medical Ethics menyimpulkan bahwa Beijing kemungkinan besar secara sistematis memalsukan data donasi organnya. Pasalnya, angka-angka yang dipublikasikan sangat mirip dengan hitungan fungsi kuadrat. Studi tersebut selanjutnya membantah klaim Komunis Tiongkok bahwa mereka mengambil organ hanya dari donor yang bersedia.
David Matas, seorang pengacara hak asasi manusia Kanada dan peneliti tentang pengambilan organ secara paksa, menyambut baik diperkenalkannya RUU tersebut.
“Bagaimana kita membuat Partai Komunis Tiongkok dan negara menghentikan pembunuhan orang tak berdosa demi organ mereka? salah satu cara yang pasti adalah menyoroti apa yang mereka lakukan. RUU ini penting untuk mengusulkannya, tidak hanya di Tiongkok saja, tetapi di setiap negara lain di dunia, sebagai titik kontras dengan Tiongkok,” kata Matas dalam sebuah pernyataan. (asr)