CATHERINE YANG
Guru menulis kreatif kelas delapan, Andrew Cotten, mengatakan meskipun banyak pergolakan terjadi selama setahun belakangan ini –dari mengajar daring hingga jadwal baru yang berubah-ubah– beberapa prinsip tertentu yang bermanfaat tetap berlaku, meski saat ini mungkin jadi lebih menantang.
“Hal yang selalu efektif dan akan selalu efektif,” lanjutnya, “adalah memiliki hubungan erat dengan siswa. Berada disana untuk mereka… melihat mereka sebagai seorang individu, mengenali mereka.”
Menjalin hubungan akan sulit dilakukan saat pembelajaran jarak jauh, meski kelas Cotten cukup beruntung karena sudah saling mengenal di awal tahun. Tetapi ketika para siswa masuk kembali, saling berpelukan dan bahkan, dia berkata, ada sedikit trauma, membutuhkan banyak waktu, keikhlasan, dan upaya dipihaknya untuk menumbuhkan kepercayaan dan menjalin hubungan.
Nilai Bagus vs Proses Bertumbuh
Cotten, yang mengajar di Mountain Brook, Alabama, memiliki seorang mentor yang pernah mengatakan kepadanya bahwa guru tidak lagi dianggap sebagai penjaga gerbang pengetahuan, bahwa yang terpintar di kelas bukan lagi sarjana berjubah di depan papan tulis, tetapi perangkat di tangan masing-masing anak. Tetapi fokus pada anak-anak itu tanpa batas waktu, kata Cotten.
Cotten mengajar anak-anak berusia 13 tahun, siswa ABG yang “seusia Peter Pan – Wendy ingin dia tumbuh, the Lost Boys ingin mereka tetap muda selamanya.”
“Masih ada sifat kanak-kanak dalam diri mereka, sekeren apapun yang mereka inginkan,” kata Cotten. “Mereka sedang di masa–masa persimpangan.” Mereka menuntut kebebasan, namun masih membutuhkan banyak bimbingan. Mereka menginginkan perhatian, tetapi mereka juga ingin tidak terlihat. Pada usia-usia ini, dalam kelas menulis kreatif, mereka tidak lagi pada tahap melatih fundamental, mereka membutuhkan sesuatu yang berbeda.
“Ini tentang melayani mereka bukan menyajikan konten,” katanya. Ini tentang membantu anak-anak bertumbuh dan menyukai proses belajar.
Seorang siswa adalah seseorang yang bertanya “Kapan saya membutuhkan ini?” dan “Apakah ini akan diujikan?” dan menjalani hari- hari sekolah dengan kecemasan akan nilai.
“Namun seorang pembelajar adalah orang yang bersedia mengambil risiko untuk tumbuh, untuk melihat ini sebagai pengalaman holistik,” kata Cotten.
Seorang pembelajar melihat peluang dalam segala hal yang mereka lakukan untuk meningkatkan dan mengasah keterampilan mereka, bahkan jika pelajarannya adalah belajar untuk bekerja dengan orang yang tidak sependapat dengannya, atau belajar menyaring informasi, atau pelajaran yang banyak praktiknya, hal-hal itulah yang akan menjadikannya mahir. Di kelas Cotten, esai adalah “kesempatan untuk mengekspresikan diri Anda, untuk melatih komunikasi, menjadi efektif dalam komunikasi Anda.”
“Nilai bagus versus proses bertumbuh adalah keyakinan besar yang telah membantu saya dalam pemahaman menjadi seorang guru berkaitan dengan hubungan, bahwa siswa tidak kesini untuk mendapatkan nilai, dan jika ya, bagaimana cara saya membantu mereka dapat memperoleh sesuatu dan melihatnya sebagai peluang untuk bertumbuh?” lanjutnya.
“Setiap hari adalah tentang menghargai proses belajar, bukan terpaku pada hasil.”
Budaya kelas Cotten didasarkan pada “mantra” pribadinya: bersikap konyol, jujur, baik hati. Berlaku “konyol” adalah jangkauan yang paling cocok untuk anak berusia 13 tahun, kejujuran tampaknya sederhana namun bisa berubah sulit saat dihadapkan pada kejujuran emosional, dan kebaikan adalah aturan yang sangat penting dan tegas di kelas, namun dengan contoh dan antusiasme yang tak tergoyahkan, Cotten menjadi contoh yang baik dan memungkinkan para siswa melakukannya. Kekonyolan mendorong rasa ingin tahu, menghasilkan para pembelajar tidak hanya terpaku pada nilai, dan itu akan mengubah seluruh hubungan antara murid-guru.
“Masalahnya, siswa ingin melawan guru, bukan? Tetapi mereka mulai bersandar pada guru mereka dan menggunakannya sebagai pendukung,” kata Cotten. “Jika guru tidak mempedulikan Anda, setiap kelas akan menjadi zona perang, bukan? Tetapi ketika ada budaya yang dibangun, sungguh, dibutuhkan anak yang tangguh untuk menjadi jahat di sana.”
Gairah dan Bermain
Salah satu deskripsi favorit Cotten tentang menulis adalah perkataan seorang professor kepadanya: “Setiap kalimat adalah taman ber- main” – dia sangat percaya pada permainan, baik di dalam maupun di luar kelas.
“Saya meminta seorang siswa mengartikannya seperti ini: Ada perbedaan besar an- tara 8 ke 3 (jam sekolah) dan 3 ke 8. Apa yang akan Anda lakukan dari 3 ke 8 yang membuat Anda bahagia? Saya rasa itu akan mempengaruhi apa yang Anda lakukan dari 8 ke 3,” kata Cotten. “Itu akan berdampak sepanjang hari pada Anda sebagai siswa, baik secara positif maupun negatif.”
Aaron Benner, yang mengajar siswa kelas empat, lima dan enam, mengatakan hal paling efektif yang dia lakukan untuk membangun kepercayaan, -dan, sebenarnya adalah wewenang pada murid-muridnya- adalah melakukan pertandingan sepak bola selama jam istirahat.
“Strategi favorit saya adalah bermain sepak bola bersama murid-murid saya,” kata Benner.
Dia menghindari makan siang di ruang guru untuk bisa menikmati waktu di luar kelas bersama murid-muridnya, dan menempati posisi sebagai gelandang. Setiap anak bisa bergabung, dan seringkali siswa dari kelas lain ikut bergabung. Peraturannya termasuk two-hand touch dan setiap orang mendapat kesempatan untuk menangkap bola.
“Kami selalu berusaha memperhatikan semua orang, dan memastikan semuanya senang.
“Dengan cara itu akan mengurangi banyak kebencian dan ketegangan,” kata Banner. “Seperti membuat suatu keajaiban, dan juga membuat saya tetap bugar.”
“Mereka lebih ingin belajar, mereka sadar, perubahannya cepat. Jika ada masalah disipliner yang muncul, rasa hormat yang mereka miliki terhadap saya sangat besar, berbeda terhadap guru yang lain,” kata Benner.
Selama 21 tahun, Benner mengajar di sebuah sekolah dasar di St. Paul, Minnesota, dan sekolah tersebut memiliki andil dalam masalah disipliner.
Disiplin dan Keamanan
Benner dikenal memiliki kelas yang aman dan stabil; sering kali, dia bahkan mendapatkan siswa dari kelas atau tingkat lain dari kelas yang terlalu gaduh untuk ditempatkan di kelasnya dan ditangani sepenuhnya oleh para guru.
Tetapi di luar kelas, berbeda cerita. Ada pelanggaran aturan terang-terangan di sekolah, gangguan, dan bahkan kekerasan. Faktanya, Benner pernah masuk dalam berita nasional beberapa tahun yang lalu ketika dia menjadi semacam whistleblower untuk jenis pelanggaran disipliner di distrik sekolahnya.
Pada 2017, dia mengajukan gugatan terhadap distrik sekolahnya atas apa yang mereka lakukan padanya setelah dia menentang kebijakan sekolah. Sekolah tempat Benner bekerja sudah memiliki masalah tentang disipliner, tetapi ketika pada 2014 distrik tersebut mengadopsi kesetaraan rasial yang berusaha mengurangi skorsing untuk siswa kulit hitam, Benner menemukan bahwa administrator berhenti mengambil tindakan disipliner terhadap hampir seluruh siswa kulit hitam, mengabaikan rekomendasi guru. Benner menambahkan bahwa sebagai orang kulit hitam, dia sendiri pasti menentang rasisme, tetapi itu bukan cara mengatasi masalah.
Kebijakan tersebut mengurangi jumlah skorsing, yang berarti para kepala sekolah bisa mendapatkan bonus uang tunai, tetapi tidak mengurangi perilaku buruk dan kekerasan. Sebaliknya, perilaku buruk meroket.
Hal itu muncul ketika Benner melihat seorang anak laki-laki kelas empat memukul seorang gadis dengan sangat keras hingga dia pingsan dan melaporkan kejadian itu pada kepala sekolah.
Dia berbicara dengan ibu gadis itu dua hari kemudian dan mengetahui bahwa si ibu tidak diinformasi mengenai penyerangan itu, dan ketika si ibu mempertanyakan, sekolah menempatkan Benner dalam penyidikan – pertama dari empat.
Benner akhirnya berbicara di televisi nasional tentang apa yang terjadi di sekolahnya, bahwa dengan mengesampingkan keselamatan para murid karena program kesetaraan rasial, dan persatuan guru malah menekannya mengakui hal-hal yang tidak dia lakukan bukannya membela dia.
“Hal-hal yang saya lihat saat siswa-siswa saya berjalan di lorong sekolah hampir seperti kriminal,” katanya. “Saya selalu terkejut melihat betapa tangguhnya anak-anak di sekolah umum di St. Paul karena kekacauan yang mereka saksikan setiap hari.
“Intinya adalah saya harus menjaga siswa- siswa saya tetap aman, mengajar adalah yang kedua dibandingkan keselamatan murid saya sepanjang hari di sekolah,” kata Benner.
Tantangan tambahan adalah mempertahankan budaya kelasnya sendiri, karena para siswa jadi mendapatkan pesan yang beragam; perkelahian dihukum di kelas Benner, tetapi mereka melihat anak-anak lain lolos begitu saja di taman bermain. Itu melelahkan bagi guru yang baik seperti Benner.
Kasus Benner telah selesai tahun lalu, tetapi dia sudah berhenti beberapa tahun sebelumnya dan menempati posisi Dekan Siswa di sekolah menengah swasta Katolik. Dia merindukan mengajar, tetapi membawa banyak kebijaksanaan tentang perilaku siswa ke dalam peran barunya.
Mendemonstrasikan Stabilitas
Ketika Benner mengajar di sekolah dasar St. Paul, sejak hari pertama, dia akan memastikan pada murid-muridnya tentang ritual dan rutinitas kelas, dia akan menjelaskan dan mendemonstrasikan peraturannya.
“Jika saya tidak ingin siswa berjalan-jalan di kelas, saya akan mencontohkannya, saya akan menjelaskannya, dan saya akan memberikan banyak rehat singkat yang memungkinkan siswa menggerakkan tubuh,” katanya.
Dia juga akan meminta semua orang menyetujui perilaku di awal tahun ajaran. “Dan terkadang kelihatan konyol, seperti ‘Apakah kita akan mengizinkan siapapun untuk berkelahi di dalam kelas?’ ‘Tidak.’ ‘Apakah kita akan mengizinkan bahasa kotor?’ ‘Tidak!’”
Benner berkata bahwa dia melakukan hal- hal menyenangkan di kelas – seperti merayakan akhir tahun sekolah dengan membuat French toast (roti panggang Perancis) untuk para siswanya – tetapi dia selalu sangat tegas bahwa dia adalah guru, bukan teman.
“Dan itu akan mengejutkan murid-murid saya: ‘Saya disini bukan menjadi teman kalian.’
Mereka terkesiap,” kata Benner.
“Saya akan berkata, ‘Saya disini untuk menjadi guru kalian. Aku di sini untuk menantang kalian.’” “Saya senang membantu orang menjadi lebih baik,” katanya.
Bagi Benner, ini adalah panggilan. Dia mulai mengajar secara kebetulan ketika bekerja di rumah singgah sebagai pekerjaan pertamanya setelah mendapatkan gelar di bidang sosiologi dan peradilan pidana.
Benner memiliki waktu ekstra yang dia gunakan untuk menjadi sukarelawan di sekolah, dan itu mencetuskan suatu hal dalam dirinya ketika menyadari para siswa lebih mendengarkannya dibandingkan guru reguler mereka.
Sebagai guru bagi siswa kelas empat, lima, dan enam, Benner sangat menyadari bahwa ruang kelas adalah tempat pembentukan karakter, sekaligus tempat belajar. “Anda harus menjadi orang yang memiliki karakter moral yang baik,” katanya, “Anda tidak harus religius tetapi Anda harus mengajarkan apa yang benar dan salah. Anda harus memiliki pedoman moral, Anda harus berbicara tentang etika, Anda harus mengajarkan siswa untuk menjadi pemikir kritis, itu adalah hal yang sangat penting.”
Disiplin juga penting, tetapi disiplin tidak boleh menjadi pengadilan publik, dan harus sesuai dengan perilaku. Sekolah Benner ini dulunya menerapkan aturan pengusiran otomatis untuk pencurian, tetapi setelah sekelompok siswa diskors karena mencuri makanan, terjadi keributan; konsekuensinya parah, namun tidak mengatasi pencurian itu sendiri.
Benner bertanya kepada senior yang telah lulus yang memiliki sisa uang makan siang di rekening mereka apakah mereka bersedia menyumbangkannya untuk dana uang makan siang, sehingga siswa yang kehabisan uang dapat datang kepadanya untuk mendapatkan makan siang gratis.
Tidak ada lagi yang dikeluarkan karena mencuri makanan.
“Anda mencoba untuk menjadi baik dan penuh kasih, tetapi Anda juga mencoba untuk mengajarkan kepada siswa bahwa ada konsekuensi atas perilaku Anda. Ada konsekuensi untuk tindakan Anda,” kata Benner. Orang tua dan guru yang berpikiran sama juga penting jika Anda benar-benar ingin mengajarkan tentang karakter dan perilaku yang bertahan lama. Ini menciptakan stabilitas dalam kehidupan siswa, yang diterjemahkan hampir secara konsisten menjadi perilaku yang baik.
Misalnya, telepon pertama Benner ke rumah, selalu di awal tahun ajaran, selalu merupakan kabar baik. Dia ingin orang tua tahu bahwa dia tidak hanya akan menelepon saat ada masalah; yang mencegah orang tua memasang tembok pertahanan. Dia juga memastikan orang tua mengetahui semua aturan dan konsekuensi di awal tahun, sesuatu yang juga dilakukan sekolah barunya secara ekstensif.
Belum lama ini, dia bertemu dengan salah satu siswa tertuanya, sekarang berusia 37 tahun, yang mengingatkannya tentang betapa berartinya kunjungannya ke rumah siswa. Itu bukan ide Benner, namun syarat sekolah ketika dia diterima, tetapi siswa itu tertawa dan berkata dia khawatir geng-geng di lingkungannya menakuti guru untuk datang ke rumahnya, dan berpikir sangat keren karena gurunya tetap datang berkunjung.
“Dia memeluk saya dan memberitahukan pada istrinya, ‘Pria ini dahulu biasa ke rumah saya dan memantau keadaan saya,’” kata Benner.
Otak dan tubuh
Leigh Bortins, Seorang homeschooling yang berbasis di Carolina Utara dan pendiri Classical Conversations, juga menulis tentang pentingnya melakukan gerakan.
“Otak kita melekat pada tubuh dan sebagian dari kita belajar saat kita bergerak,” katanya. “Maka itu sebabnya Anda akan melihat gadis mengisap bibirnya, mondar- mandir di kamar tidurnya ketika dia mencoba berpikir apa yang harus dia tulis, atau mungkin Anda akan melihat seorang anak laki-laki yang harus keluar rumah dan bermain bola basket sebelum dia bisa memecahkan masalah matematika.
“Bergerak sering membantu saat kita sedang berjuang. Salah satu hal baik yang bisa kita lakukan dengan anak-anak kecil adalah memberi mereka krayon, pensil, dan kertas besar – inilah mengapa kita perlu melakukan hal yang sama dengan remaja yang berjuang dengan masalah itu – biarkan mereka ke papan tulis, atau biarkan mereka menulis dengan kapur di jalan masuk, biarkan mereka berpikir besar,” kata Bortins.
Perilaku dan rasa disiplin juga banyak berkaitan dengan bergerak. Sebenarnya, ini hanya kelanjutan dari semua hal baik yang Anda mulai lakukan sebagai orang tua baru pada anak kecil, kata Bortins. “Dan, tentu saja, salah satu hal yang pertama kali Anda lakukan dengan bayi Anda yang masih sangat kecil adalah mengajari mereka cara mengontrol tubuh mereka.
“Mereka mengulurkan tangan untuk mengambil barang-barang, akhirnya berlatih memakai pispot, memasukkan makanan ke mulut mereka, membereskan tempat tidur mereka, semua hal-hal tersebut.
“Hal yang wajar diajarkan pada anak adalah bagaimana mengendalikan diri, karena Anda tidak mau mereka menggeliat seperti cacing dalam setiap situasi yang mereka hadapi. Maka yang banyak dilupakan orang dalam persiapan terbaik untuk pelatihan akademis adalah, tentu saja, kendali seluruh tubuh. Anda harus memiliki koordinasi tangan-mata untuk memegang krayon, kuas, dan pensil Anda,” katanya.
Ini seperti mempraktekkan keterampilan; seorang kenalannya memiliki tiga anak yang masih kecil, salah satunya sangat gaduh, tetapi beberapa ibu datang bersama membantu membawa anak itu berjalan- jalan di sekitar gedung untuk mengurangi energi ekstra anaknya sambil memberi waktu kepada ibunya menghadapi dua anaknya yang lain. Ini mengajarkan pada anak lelaki itu bahwa aturan tidak akan diabaikan hanya karena dia tidak nyaman, dan bahwa mereka tidak akan menyerah hanya karena dia tidak langsung belajar bagaimana melakukan sesuatu.
“Anda juga memiliki gagasan untuk mengendalikan diri agar bisa bergaul satu sama lain,” kata Bortins. Salah satu hal yang dia katakan kepada anak-anaknya sendiri adalah bagaimana Anda perlu menghargai kakak Anda lebih dari lego, menghargai adik Anda lebih dari boneka.
Hubungan antar saudara adalah tempat pertama, bahkan sebelum Anda pergi ke sekolah, bahwa anak-anak belajar mengendalikan kemauan dan keinginan mereka, dan berharap untuk berbagi.”
Keluarga adalah tempat pertama kita belajar tentang hubungan, perilaku, dan cara berinteraksi dengan dunia. Bortins ingat bahwa ketika tumbuh dewasa, ketika dia atau saudara-saudaranya meninggalkan rumah, orang tua mereka akan berkata, “Ingat, kamu adalah keluarga Bryant!”
“Kami berempat tumbuh dengan mengetahui bahwa kami mewakili ibu dan ayah kami, serta saudara kandung dan kakek nenek kami, serta sepupu, bibi, paman, seluruh keluarga kami,” katanya. “Itu mencerminkan bahwa kami semua adalah sebuah keluarga. Ini hanya sikap, ‘kamu tidak sendirian dalam hal ini, kami akan membantu Anda, dan ini juga berarti kamu akan menyakiti kami,’ dan itulah cinta, adalah kemampuan untuk disakiti.”
Belajar menghargai saudara Anda sejalan dengan kepatuhan kepada orang tua,kata Bortins, seraya menambahkan bahwa mungkin tidak semua orang menyukai kata kepatuhan, tetapi memang begitulah adanya. Anda mengajar atau melatih anak-anak Anda untuk berperilaku dengan cara tertentu. Itu memungkinkan, dan menjadikan pengalaman keluarga menyenangkan.
“Dan pelajaran karakter tidak selalu untuk anak-anak – terkadang untuk orang tua,” kata Bortins. Pembentukan karakter adalah proses yang berlangsung seumur hidup, katanya, dan “kita semua berlatih untuk hari berikutnya.”
Sekolah kadang-kadang membuat orang berpikir dalam hitungan minggu atau periode atau semester, tetapi kehidupan tidak seperti itu.
“Sebagai homeschooling, kami tidak benar-benar berpikir dalam segmen kecil, kami berpikir dalam kehidupan anak kita, kehidupan keluarga kita, dan bahkan sekarang dengan cucu saya,” katanya. (feb)
Video Rekomendasi :