Venus Uphadayaya
Genderang perang ditabuhkan oleh media corong partai komunis Tiongkok (PKT) terhadap India dengan mengintensifkan serangan. Itu dilakukan sejak meningkatnya eskalasi bentrokan berdarah tahun lalu di Lembah Galwan. Media corong PKT meluncurkan kontra-narasi, laporan tentang topik yang mencakup pandemi COVID-19, persaingan untuk menjual vaksin dan hubungan India – AS.
Sebuah artikel opini yang diterbitkan oleh Global Times yang dikelola rezim Tiongkok pada 19 Januari 2021, menuding India memanfaatkan memburuknya hubungan AS-Tiongkok untuk mengedepankan kepentingan politik dan ekonominya melalui hubungan yang lebih erat dengan AS.
Aparna Pande, Direktur Initiative on the Future of India and South Asia di Hudson Institute yang berbasis di Washington kepada The Epoch Times mengatakan bahwa India tidak berperan dalam hubungan AS-Tiongkok.
Pande menilai, “Jika hubungan AS-Tiongkok bermasalah, Tiongkok-lah yang harus disalahkan. Ada persaingan sesama AS-Tiongkok, ada persaingan strategis AS-Tiongkok, tetapi ini berawal dari ambisi Tiongkok untuk menjadi negara adidaya global dan menantang keunggulan Amerika, untuk menantang tatanan internasional liberal yang diciptakan oleh AS dan sekutunya selama bertahun-tahun.”
Selain itu, artikel Global Times turut menyalahkan India karena menghabiskan terlalu banyak anggarannya demi “tata letak strategis dan kebijakan luar negeri yang agresif”, sementara memperingatkan India bakal “menghadapi musuh di berbagai bidang dan tergelincir ke dalam rawa strategi overdosis.”
Profesor Madhav Nalpat, wakil ketua Kelompok Penelitian Lanjutan Manipal dan direktur editorial ITV Media, mempertanyakan maksud penulis opini tersebut.
Nalapat kepada The Epoch Times menuturkan : “Tentang berbagai front, mereka mengakui Tiongkok akan berperang di pihak Pakistan. Apa yang mereka inginkan? Menyerah? Bukan sebuah pilihan.” Disebutkan, Setelah Tiongkok sepenuhnya mendukung Pakistan di Kashmir dan dengan berbagai cara lain sejak China Pakistan Economic Corridor Project – CPEC- diputuskan, jelas perang berikutnya akan terjadi di dua front.
“Itulah penyebab banyak pihak berubah pikiran tentang kemitraan keamanan dengan AS, daripada mengandalkan jaminan Rusia tentang Tiongkok tidak akan bergabung dalam konflik dengan India.”
Media pemerintah Tiongkok adalah corong Partai Komunis Tiongkok dan hanya tunduk dengan propaganda pemerintah, kata Harsh V. Pant, seorang profesor di King’s College di London dan kepala studi strategis di Observer Research Foundation di New Delhi, mengatakan kepada The Epoch Times.
Pant menegaskan, Karena hubungan antara Tiongkok-India memburuk, tentu saja narasi media juga mencerminkan kemerosotan tersebut. Dia mencatat bahwa tidak seperti media Tiongkok, outlet India beragam dan terdiri dari banyak suara, mulai dari mereka yang mendukung perbaikan hubungan Sino-India hingga mereka yang ingin pemerintah India mengambil sikap tegas.
‘Penyerang yang Melabeli Diri Sebagai Korban Penyerang’
Sembari memuji pemerintahan Narendra Modi atas “pencapaian luar biasa” selama masa jabatan pertamanya dari 2014 hingga 2019, opini 19 Januari itu menuduh pemerintahan Modi arogan sejak saat itu.
“Tetapi kepercayaan berlebihan para pemimpin India meningkat pesat terutama sejak Partai Bhartiya Janata dari Perdana Menteri Narendra Modi berhasil meraih kemenangan luar biasa dalam pemilu 2019. Sayangnya mereka menjadi arogan dan gegabah,” demikian penulis opini, Qian Feng, Direktur Departemen Penelitian di Institut Strategi Nasional di Universitas Tsinghua.
Pemilihan kembali Modi pada tahun 2019 adalah awal dari pembangunan infrastruktur yang cepat di sepanjang perbatasan Ladakh. Ketika muncul insiden berdarah Galwan, India baru saja selesai membangun jembatan di Sungai Galwan. Motivasi India meningkatkan infrastrukturnya di perbatasan dikarenakan agresi Tiongkok.
Jembatan itu dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan langkah India di wilayah tersebut dan mengancam agenda Beijing, kata Abhijit Iyer-Mitra, seorang peneliti senior di Institut Studi Perdamaian dan Konflik yang berbasis di New Delhi, kepada The Epoch Times dalam sebuah wawancara.
“India memicu bentrokan berdarah di Lembah Galwan,” kata Qian Feng, yang menuduh India memikul tanggung jawab atas penurunan hubungan kedua negara.
Nalpat mengatakan media Global Times berada di “alam semesta realitas alternatif”.
“Tentang arogansi di Galwan, pemerintah Modi tidak akan lagi mengabaikan Strategi salami slicing PLA [Tentara Pembebasan Rakyat] di perbatasan tetapi akan memblokir pelanggaran lebih lanjut. Global Times menulis seolah-olah seluruh pegunungan Himalaya adalah milik Tiongkok. Ini adalah jenis khayalan yang mengarah kepada perang dan tidak hanya dengan satu negara,” kata Nalapat, yang diangkat sebagai profesor geopolitik pertama India pada tahun 1999.
Terkait hal ini, Aparna Pande mengatakan, mulai dari pertengahan 1950-an dan 1960-an, Tiongkok secara perlahan-lahan mengambil alih secara massif wilayah India di sepanjang perbatasan.
“Jadi, sebenarnya penyerang yang melabeli sebagai korban penyerang. Tidak masuk akal. Tiongkok adalah agresor. Tiongkok-lah yang mengambil alih wilayah yang bukan miliknya. Jika Anda datang ke Galwan, selama beberapa dekade, Tiongkok sudah membangun infrastruktur — infrastruktur militer, infrastruktur sipil — di sepanjang… perbatasan,” kata Pande, penulis buku yang baru-baru ini dirilis dengan judul “ Making India Great: The Promise of a Reluctant Global Power. ”
Pande menegaskan : “Tiongkok adalah yang sebenarnya memprovokasi India berulang kali dan India pada umumnya, tetap tidak agresif. India belum bereaksi dan yang dilakukan India hanyalah membangun infrastrukturnya.”
‘Blame Game’ Perdagangan
Sehari setelah perayaan Hari Republik India pada 26 Januari, Global Times menerbitkan laporan yang mengutip kedutaan besar Tiongkok di India yang mendesak pemerintah India untuk bekerja sama dengan Tiongkok. Laporan itu muncul setelah pemerintah India secara permanen melarang 59 aplikasi seluler Tiongkok.
Media partai itu mengutip Ji Rong, juru bicara kedutaan Tiongkok, yang mengklaim perdagangan India-Tiongkok saling menguntungkan, dan mengklaim meski India melarang aplikasi dengan dalih ancaman keamanan nasional, langkah tersebut melanggar aturan WTO dan prinsip pasar.
“Praktik pemerintah India telah menghambat peningkatan lingkungan bisnis India dan pengembangan inovasi industri terkait,” demikian bunyi laporan Global Times.
Feng dikutip dalam laporan Global Times menuding larangan secara permanen aplikasi Tiongkok adalah “bukti kesetiaan” oleh India ke AS, dan menyebutnya sebagai “balas dendam yang tidak rasional.”
Dalam opini 19 Januari, Feng mengatakan India menindak perdagangan dengan Tiongkok dan pertukaran orang-ke-orang “untuk melampiaskan ketidakpuasan dan melayani nasionalis dan kelompok kepentingan India.”
Pant juga mengatakan pemerintah India, sebagai negara demokrasi, harus menanggapi opini publik dan tekanan di dalam masyarakatnya.
“Ada perasaan di antara orang India bahwa bagi mereka akan sulit mempercayai Tiongkok dalam waktu dekat, dan juga fakta bahwa Tiongkok terus menargetkan India,” kata Pant.
Nalapat mengatakan India memiliki defisit perdagangan terbesar kedua dengan Tiongkok setelah Amerika Serikat.
Menurut Nalapat, “Pada saat yang sama, IT dan farmasi India selain barang-barang lainnya, pada dasarnya, diblokir dari pasar Tiongkok, yang sebelumnya Galwan terbuka lebar untuk barang-barang Tiongkok seringkali dengan merugikan pabrikan dalam negeri.” Bahkan, India menyumbang surplus 70 miliar dolar AS, jika HK [Hong Kong] dan perdagangan timbal balik diperhitungkan. Ini adalah situasi yang tidak dapat ditoleransi terutama ketika Tiongkok memberdayakan militer Pakistan dalam perang asimetrisnya di India. “
Tiongkok menyalahkan India karena tidak bertanggung jawab dalam masalah perdagangan “sangat menarik,” karena Tiongkok percaya bahwa meskipun agresi perbatasannya dan serangannya ke wilayah India, maka India tidak boleh membiarkan hal itu memengaruhi perdagangan.
“Tidak mungkin Anda mengambil wilayah satu negara dan negara itu terus memiliki hubungan baik dengan Anda, terus berdagang dengan Anda, melanjutkan hubungan budaya bilateral. Tiongkok tidak melakukan hal yang sama. Jika suatu negara membuka kembali atau mengakui Taiwan, Tiongkok akan langsung mengancam negara itu,” kata Pande.
Tentang Pandemi dan Vaksin
India menjadi sasaran empuk permainan menyalahkan pandemi Tiongkok. The Global Times menerbitkan sebuah cerita pada 29 November tahun lalu, yang mengatakan bahwa penularan paling awal dari manusia ke manusia terjadi di “anak benua India,” beberapa bulan sebelum wabah terjadi di Wuhan, mengutip sebuah penelitian Tiongkok yang belum ditinjau oleh rekan sejawat.
Penelitian di Tiongkok yang berjudul “Transmisi dan evolusi yang penuh teka-teki awal SARS-CoV-2 di tubuh manusia,” dilakukan oleh tiga peneliti, salah satunya berafiliasi dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok yang dikelola negara. Penelitian, yang pertama kali muncul di situs makalah penelitian SSRN pada November tahun lalu, kemudian dibatalkan.
Baru-baru ini, Global Times menerbitkan artikel opini lain pada 26 Januari, yang mengklaim India mempromosikan kampanye vaksinnya sembari memfitnah Tiongkok.
“Vaksin seharusnya menjadi benteng terakhir melawan pandemi virus corona yang mengamuk. Namun, di mata India, ia menjadi pengungkit dalam perangkatnya untuk bersaing dengan Tiongkok,” kata penulis opini Ai Jun, seraya menambahkan Times of India sudah menjalankan kampanye yang mengkritik upaya Tiongkok.
Bagian opini juga mengutip orang dalam yang mengatakan kerja sama Tiongkok-Bangladesh atas vaksin terganggu karena gangguan dari India. Mereka menyalahkan laporan Times of India atas “keangkuhan” dan menuding India percaya bahwa “pengadaan vaksin adalah pilihan geopolitik”.
Nalpat mengatakan, Tiongkok menjual vaksinnya hingga ke negara-negara miskin, bahkan ketika India memberikannya secara gratis.
“Dunia akan memutuskan vaksin mana yang terbaik. India memproduksi sebagian besar vaksin dunia, ”katanya.
Pande mengatakan Tiongkok berada pada “pijakan yang sangat lemah” dalam hal vaksin COVID-19 karena India memiliki industri farmasi generik terbesar di dunia.
“Perusahaan India dan sektor farmasi India dihormati di seluruh dunia. Institut Serum India yang berbasis di Pune sebenarnya memproduksi 60 persen vaksin generik dunia, untuk WHO dan mengirimkan ke banyak negara, HIV, malaria, kanker, ”kata Pande.
Masalah Tiongkok adalah vaksinnya tidak dipercaya dibandingkan vaksin AstraZeneca Universitas Oxford, yang diproduksi oleh India secara umum.
Dia mengatakan, sebagian dari kepercayaan lenyap karena alat pelindung diri yang disediakan Tiongkok ke banyak negara ternyata cacat.
Setelah kebakaran terjadi di Institut Serum India pada 21 Januari, Global Times menerbitkan laporan yang mempertanyakan kapasitas India untuk menghasilkan vaksin berkualitas tinggi setelah kebakaran.
Pant mengatakan Komunis Tiongkok menempatkan posisinya dengan pijakan perang tentang vaksin, dikarenakan India jelas mengambil kepemimpinan diplomatik.
“PKT gelisah karena agresinya ditolak oleh India, dan cap global New Delhi tampaknya lebih tinggi karena diplomasi vaksin,” kata Pant. Jadi ini adalah upaya putus asa untuk menggambarkan India sebagai aktor yang ugal-ugalan. (asr)
Frank Fang berkontribusi untuk laporan ini.
Ikuti Venus di Twitter: @venusupadhayaya
Keterangan Foto : Perdana Menteri India Narendra Modi (P) dan pemimpin Tiongkok Xi Jinping menyapa para pemimpin di KTT BRICS di Goa, India, pada 16 Oktober 2016. (Manish Swarup / File / AP Photo)