oleh Luo Tingting
Kasus pembunuhan terjadi di Komunitas Kanglejiayuan, Distrik Hulan, Kota Harbin, Tiongkok pada 3 Februari 2021 sekitar pukul 12.40 siang waktu setempat. Di mana korban adalah seorang relawan pria yang menjaga gerbang komunitas bernama Zhang Moubin. Ia tewas setelah ditikam dengan pisau oleh warga pria dari komunitas tersebut yang bernama Chen Moulong.
Dilaporkan bahwa distrik tersebut termasuk wilayah risiko tinggi wabah, sehingga warga di sana terkena pelaksanaan “3S” yakni segel pintu (tidak boleh keluar rumah), segel apartemen (tidak boleh keluar masuk apartemen) dan segel komunitas (tidak boleh keluar masuk kompleks).
Seorang wanita warga komunitas mengatakan kepada media ‘Epoch Times’ bahwa pelaksanaan “3S” terhadap komunitas tersebut berlaku mulai 19 Januari 2021. Disebutkan “Komunitas telah ditutup sehingga tidak ada orang yang dapat keluar masuk.”
Warga itu mengatakan bahwa relawan yang ditikam karena melarang Chen Moulong yang memaksa mau keluar dari komunitas.
Pria yang menikam relawan penjaga gerbang itu juga menyampaikan rasa ketidakpuasannya dengan penerapan lockdown ketat oleh pihak berwenang. Warga wanita ini mengatakan : “Orang juga butuh berjalan-jalan. Apalagi bagi yang berusia lanjut dan memiliki masalah fisik, apakah mereka tidak lebih berkeinginan untuk turun (dari apartemen) dan berjalan kaki, meskipun hanya dalam kompleks. Kalau semuanya tertutup, tampaknya kurang manusiawi. Bagi mereka yang memiliki gangguan kesehatan mungkin lebih perlu untuk menggerakkan badannya”.
Warga setempat lainnya mengatakan bahwa ketika insiden itu terjadi, warga bernama Chen Moulong itu ingin keluar komunitas untuk membeli obat, tetapi dilarang oleh Zhang Moubin. Keduanya lalu terlibat dalam percekcokan yang sengit. Setelah itu, Chen Moulong pulang ke rumahnya untuk mengambil pisau dan menikam relawan tersebut beberapa kali hingga ia tersungkur dan meninggal dunia.
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa alasan utama terjadinya penusukan adalah karena penerapan lockdown yang berkepanjangan, yang membuat masyarakat tidak dapat keluar rumah untuk beraktivitas, ditambah dengan harga barang yang melambung, membuat emosi masyarakat lebih mudah meluap.
Setelah insiden ini diposting di Weibo, banyak mendapat tanggapan dari netizen. Ada netizen yang menulis : Epidemi telah membuat semua orang jadi gila.
Akhirnya, ada orang yang tidak tahan. Saya dari Distrik Baru Jinpu, karena epidemi, komunitas juga telah diblokir selama hampir sebulan. Kadang-kadang saya turun ke bawah untuk berjalan-jalan, tetapi juga kena hadang petugas. Saat ini saya juga emosi, beruntung masih mampu saya tekan. Demikian bunyi Tulisan netizen lainnya.
Ada lagi yang menulis : Jangan mengira yang jadi korban itu adalah orang baik. Dukung pemantauan (lewat cctv) dan penyelidikan yang menyeluruh.
Komentar netizen lainnya mengatakan : Lockdown secara membabi buta, apalagi relawannya bertingkah dan sombong, kurang berperikemanusiaan. Manusia dianggap seperti apa oleh mereka ? Jadi insiden serupa masih saja bisa terjadi. Semua itu ada sebab dan akibat.
Komentar lainnya berbunyi : Pasti punya alasan, yang melakukan penusukan itu jelas salah, tetapi sebuah tamparan yang dilayangkan ke mukanya takut tidak berbunyi (terasa) !
Ditambah dengan Komentar netizen lainnya : Yang menjadi relawan juga perlu tahu diri….. kalian bukan polisi, bukan personil komunitas. Kalian bekerja sukarela, jadi jangan bertindak terlalu kaku, karena hal itu pasti akan menimbulkan masalah.
Tulis netizen lainnya menginformasikan : Beberapa waktu lalu, sejumlah orang relawan tiba-tiba masuk ke dalam toko yang bisnisnya lumayan, kedatangan mereka membuat pengunjung “berhamburan” keluar. Setelah memeriksa ini dan itu untuk memastikan langkah-langkah pencegahan epidemi di setiap toko. Tingkah laku dari para relawan yang rata-rata berusia muda setingkat anak-anak tingkat satu di universitas itu memang dinilai berlebihan. Menunjukkan seakan merekalah yang berkuasa. Ketika meninggalkan toko, mereka bahkan sempat menggertak pelayan toko. Maka insiden timbul karena ada penyebabnya.
Tidak ada kontradiksi yang tidak beralasan. Ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan epidemi yang sederhana itu, dilakukan secara kasar, dan tidak mau memahami keinginan masyarakat. Pelaku pembunuhan itu jelas bersalah dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Ia terpaksa membayar harga seumur hidupnya, hanya karena emosinya yang meluap.
Personel pencegahan pandemi layak kita hormati. Tapi yang ingin dikatakan adalah bahwa petugas pencegahan dan pengendalian, juga harus memperhatikan metode kerja mereka. Jangan menggunakan kata-kata atau perilaku yang menjijikkan atau menghina. Mengabaikan perasaan orang lain, hanya karena membawa bendera pencegahan dan pengendalian epidemi Gunakan bahasa yang sopan sewaktu memberikan saran untuk menghindari banyak hal yang seharusnya tidak terjadi !
Orang-orang diingatkan patut untuk bermawas diri terhadap upaya bersama dalam mencegah dan mengendalikan penyebaran virus. Memang perasaan bosan serta gangguan psikologis seperti stress dapat menghinggapi yang sudah lama terkurung dalam rumah.
Banyak orang juga menyatakan simpati terhadap relawan yang menjadi korban pembunuhan, mereka percaya bahwa kedua pihak itu adalah korban dari pelaksanaan pencegahan epidemi yang ekstrim.
Epidemi di daratan Tiongkok kembali memanas pada tahun ini, dan tindakan pencegahan dan pengendalian pihak berwenang menjadi lebih ketat. Banyak penduduk tiba-tiba tidak diperbolehkan keluar rumah dengan tanpa persediaan makanan dan obat-obatan. Keadaan ini menyebabkan terjadinya sejumlah pertumpahan darah.
Seorang netizen yang mengetahui informasi mengungkapkan pada 23 Januari lalu bahwa seorang pria di Kota Tonghua, Jilin, secara sembunyi-sembunyi keluar pintu untuk membeli makanan di sebuah supermarket. Namun, ia ditolak oleh staf pencegahan epidemi. Pria itu kehilangan kendali atas emosinya lalu menikam petugas pencegahan epidemi dengan sebilah pisau yang disembunyikan. Pria itu kemudian tertangkap juga.
Krisis pangan akibat lockdown, membuat banyak warga Kota Tonghua, Jilin meminta pertolongan melalui media sosial Weibo. Para pejabat setempat terpaksa meminta maaf dan mengaku akan menyediakan makanan tepat pada waktunya. Namun, hingga saat ini masih ada warga yang belum mendapatkan kecukupan pangan. (sin)
Video Rekomendasi :