Jeff Carlson
Pada sebuah artikel yang sangat berani berjudul “The Secret History of the Shadow Campaign That Saved the 2020 Election,” atau artinya “Sejarah Rahasia Kampanye Bayangan yang Menyelamatkan Pemilihan Umum tahun 2020,” majalah Time mencatat banyak sekali rentetan kejadian tindakan-tindakan pra-pemilihan umum dan pasca-pemilihan umum yang diambil oleh sebuah koalisi longgar dari operasi Partai Demokrat, aktivis akar rumput, media arus utama, perusahaan teknologi, dan para CEO perusahaan sebelum dan sesudah pemilihan presiden tahun 2020.
Menurut artikel tersebut, upaya yang dilakukan terdiri dari “sebuah komplotan rahasia yang didanai dengan baik oleh orang-orang yang berkuasa, dengan beragam industri dan ideologi, bekerja sama di belakang layar untuk memengaruhi persepsi, mengubah aturan dan hukum, mengarahkan liputan media dan mengendalikan arus informasi.”
Pada hari-hari pasca-pemilihan umum, penulis merujuk pada pengelompokan pemain yang berbeda ini sebagai sebuah “konspirasi yang terjadi di belakang layar, yang keduanya dibatasi protes dan mengkoordinasikan perlawanan dari para CEO” yang menghasilkan sebuah “aliansi informal antara aktivis sayap-kiri dan raksasa-raksasa bisnis.”
Meskipun kata-kata “komplotan rahasia” dan “konspirasi” digunakan untuk menggambarkan kegiatan menyapu kelompok-kelompok ini, yang secara kolektif disebut sebagai
Kampanye Bayangan, penulis artikel bersusah payah untuk mencatat bahwa upaya-upaya ini tidak ditujukan untuk “mencurangi pemilihan umum; upaya-upaya ini memperkuat pemilihan umum.”
Memang, di sepanjang artikel tersebut, ada klaim yang berulang kali dilakukan, bahwa upaya-upaya ini dibuat bukan dengan maksud menumbangkan pemilihan umum, melainkan sebagai bagian sebuah gerakan akar rumput heroik yang bermaksud menyelamatkan demokrasi Amerika Serikat. Bahkan, diklaim menjaga integritas pemilihan umum ini dan pemilihan-pemilihan umum mendatang.
“Skenario yang ingin dihentikan oleh para juru kampanye bayangan bukanlah sebuah kemenangan Donald Trump. Itu adalah sebuah pemilihan umum yang mendatangkan malapetaka di mana tidak ada hasil yang dapat dibedakan sama sekali, sebuah kegagalan tindakan sentral swa-pemerintahan demokratis yang telah menjadi ciri khas Amerika Serikat sejak Amerika Serikat didirikan,” demikian bunyi artikel itu.
Meskipun artikel tersebut menganggap tindakan-tindakan yang diambil oleh “Kampanye Bayangan” ini sebagai langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelamatkan demokrasi Amerika Serikat, seorang pembaca yang lebih obyektif mengenai peristiwa-peristiwa, mungkin menganggap demokrasi Amerika Serikat benar-benar diinjak-injak.
Menurut para pemain dalam hikayat ini, ancaman yang dirasakan bagi demokrasi Amerika Serikat adalah sangat penting sehingga membutuhkan “sebuah upaya dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya” dan suatu ukuran kerja sama yang sampai saat ini tidak terlihat selama proses pemilihan umum. Dan, yang akan mencakup sebuah koalisi kepentingan yang sangat luas yang mencakup “Kongres, Silicon Valey dan gedung-gedung negara bagian.”
Sebagai catatan artikel tersebut, upaya-upaya komplotan rahasia ini, “menyentuh setiap aspek pemilihan umum” yang mencakup hukum-hukum pemilihan Amerika Serikat.
Kelompok-kelompok ini terlibat dalam suatu kesatuan front yang resmi, untuk “mengubah sistem dan hukum pemungutan suara” di tingkat negara bagian, sering tidak berdasarkan undang-undang dengan mengacuhkan badan-badan legislatif negara bagian dan mengalihkan kekuasaan ke gubernur negara bagian dalam proses tersebut. Upaya-upaya konservatif untuk melawan proses ini secara halus disebut sebagai “tuntutan hukum penindasan pemilih.”
Terminologi dan pembingkaian masalah-masalah, membawa kita pada sebuah karakteristik yang khas untuk artikel tersebut. Artikel tersebut ditulis seolah-olah 75 juta pemilih Donald Trump tidak ada — seolah-olah suatu bangsa, entah bagaimana sepenuhnya bersatu melawan sebuah swa-pemaksaan periode kedua dari kepresidenan Donald Trump.
Tidak ada pengakuan bahwa Presiden Donald Trump menikmati dukungan dari sebagian besar segmen penduduk. Ketika istilah “pemilih” digunakan, istilah tersebut selalu mengacu pada mereka yang memberikan suara menentang Donald Trump dan memilih Joe Biden.
Selain beberapa paragraf pendek, pembaca dapat dimaafkan jika memikirkan pemilihan umum bahkan mempertanyakannya.
Sementara fokus intens pada kampanye Donald Trump hadir dalam artikel tersebut, ada kurangnya diskusi yang hampir mengejutkan mengenai kampanye Joe Biden. Seperti yang dinyatakan artikel tersebut, Kampanye Bayangan “terpisah dari kampanye Joe Biden dan melintasi garis-garis ideologis.”
Memang, Joe Biden disebutkan dalam artikel tersebut hanya beberapa kali dan tidak pernah berhubungan langsung untuk apa pun yang ia atau kampanyenya lakukan, tak lain untuk mempersiapkan pemilihan umum.
Pembingkaian Media, Upaya Online, dan Perusahaan Teknologi
Bersamaan dengan fokus pada Donald Trump, ada tema lain yang hampir menyatukan kondisi yang dilakukan seseorang untuk memanipulasi kita yang menelusuri jalannya di seluruh artikel tersebut. Setiap aktivitas, posisi, atau tanggapan dari konservatif atau pemerintahan Donald Trump secara otomatis diberi label dan kemudian dibingkai sebagai kejahatan yang tidak terpisahkan, bahkan keji. Sementara itu, gagasan budi luhur yang palsu melekat pada setiap tindakan diambil oleh kaum kiri.
Peringatan-peringatan pra-pemilihan umum dari kampanye Donald Trump “dan kaki tangannya” mengenai risiko-risiko dari suatu pergeseran yang belum pernah terjadi sebelumnya ke surat suara yang dikirim melalui layanan pos, menurut artikel tersebut, dirancang untuk “merusak pemilihan umum.” Penolakan hukum konservatif terhadap perubahan-perubahan inkonstitusional pada undang-undang pemilihan umum negara bagian disebut sebagai “palsu.”
Meski sebagai penghasut hukum, artikel tersebut menyatakan bahwa “para pengacara Partai Demokrat berjuang melawan sebuah gelombang bersejarah proses pengadilan pra-pemilihan umum.”
Sementara itu, informasi dari kaum kanan berulang kali dianggap sebagai “kebohongan Donald Trump,” “teori konspirasi” atau “aktor-aktor jahat yang menyebarkan informasi palsu.” Menurut artikel tersebut, upaya-upaya ini, bersama dengan “keterlibatan pihak asing yang ikut campur membuat informasi sesat menjadi sebuah ancaman yang lebih luas dan lebih dalam terhadap pemungutan suara tahun 2020.”
Sebaliknya, ketika organisasi-organisasi sayap kiri seperti Voting Rights Lab dan IntoAction membuat “meme dan grafik khusus negara bagian” yang dirancang untuk mengklaim bahwa pemungutan suara melalui surat suara yang dikirim melalui layanan pos adalah aman dan tidak tunduk pada kecurangan, tindakan-tindakan organisasi-organisasi sayap kiri tersebut dibingkai sebagai “memerangi informasi buruk.” Ini juga bukanlah usaha kecil. Seperti yang dicatat dalam artikel tersebut, meme dan grafik ini “disebarluaskan melalui email, teks, Twitter, Facebook, Instagram dan TikTok” dan dilihat “lebih dari 1 miliar kali.”
Fokus lain dari kampanye ini adalah meyakinkan masyarakat bahwa hasil-hasil pemilihan umum tersebut akan tertunda, mungkin untuk beberapa hari. Upaya-upaya ini dirancang untuk mengkondisikan masyarakat pemilih agar tidak mengharapkan, atau bahkan menerima, suatu hasil pada malam pemilihan umum. Seperti yang dicatat dalam artikel tersebut, “jajak pendapat pelacakan organisasi menemukan pesan yang didengar: persentase masyarakat yang tidak menyangka untuk mengetahui pemenang pada malam pemilihan umum secara bertahap naik sampai akhir Oktober, jumlahnya lebih dari 70 persen. Mayoritas juga percaya bahwa hitungan yang berkepanjangan bukanlah suatu pertanda masalah.”
Persepsi dan informasi adalah sangat penting dalam sebuah pemilihan umum dan pengakuan pemilihan umum ini, operasi-operasi Partai Demokrat “berhasil menekan perusahaan media sosial” sebelum pemilihan umum. Upaya-upaya ini sebagian besar berhasil karena banyak jumlah akun-akun konservatif yang dihapus karena melanggar standar komunitas media sosial tersebut dan cerita-cerita penting yang mungkin merugikan kampanye Joe Biden ditindas, sementara media tanpa henti menyerang kampanye Donald Trump.
Sambil mengakui keterlibatan perusahaan-perusahaan teknologi dalam upaya tersebut, artikel tersebut menggambarkan hasil penindasan informasi dan menghapus akun-akun konservatif karena melanggar standar komunitas media sosial dalam sudut pandang yang positif. Saat cerita semacam itu mengenai aktivitas bisnis Hunter Biden di Tiongkok dihentikan atau tidak diliput oleh media arus utama, siasat-siasat ini diberi label sebagai mengambil “garis keras melawan informasi sesat” dalam upaya berkelanjutan untuk “melawan noda virus.”
Ada sebuah pertanyaan sampingan yang muncul dari partisipasi perusahaan-perusahaan teknologi di penindasan online. Jika akun-akun dihapus karena melanggar standar komunitas media sosial seperti YouTube dan Twitter semata-mata untuk tujuan politik, bukankah ini menimbulkan momok mengenai pelanggaran kewajiban fidusia yang berarti bagi para pemegang saham perusahaan?
Surat Suara yang Dikirim Melalui Layanan Pos dan Pendanaan Kampanye Bayangan
Kelompok-kelompok ini juga terlibat dalam “kampanye kesadaran-masyarakat nasional” yang berskala besar yang dirancang untuk meyakinkan orang Amerika Serikat bahwa” penghitungan suara akan berhasil terungkap selama beberapa hari atau minggu” karena surat suara yang dikirim melalui layanan pos dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya secara sistematis membanjiri sistem pemilihan umum Amerika Serikat.
Dengan 100 juta surat suara yang dikirim melalui layanan pos dalam sebuah upaya untuk mendapatkan “jutaan orang untuk memilih melalui surat surat yang dikirim melalui layanan pos untuk pertama kalinya,” koalisi tersebut merekrut “tentara-tentara pekerja pemungutan suara” untuk menangani masuknya surat suara yang tidak hadir. Sejumlah besar uang akan dibutuhkan untuk menangani pemrosesan dan persiapan untuk hal ini, kelompok tersebut “membantu mengamankan ratusan juta di pendanaan masyarakat dan swasta.”
Uang ini memiliki dua sumber materi. Yang pertama, secara mengejutkan, berasal dari putaran pertama paket bantuan COVID pada bulan Maret 2020. Seperti yang dicatat dalam artikel tersebut, para aktivis melobi Kongres pada bulan Maret 2020, “mencari usd 2 miliar dalam pendanaan pemilihan umum.” Upaya ini dipimpin oleh Konferensi Kepemimpinan mengenai Sipil dan Hak asasi Manusia.
Meskipun kelompok tersebut tidak mencapai target sebesar US$ 2 miliar, kelompok tersebut masih sangat sukses. Saat Undang-Undang Bantuan Coronavirus Aid, Pemulihan, dan Keamanan Ekonomi yang disahkan pada bulan Maret, memuat “hibah sebesar usd 400 juta kepada penyelenggara pemilihan umum negara bagian.”
Dari sana, kelompok informal itu beralih ke pendanaan swasta untuk sumber tambahan; perusahaan teknologi Silicon Valley adalah fokus utama. Berdasarkan artikel Time tersebut, “bermacam-macam yayasan menyumbang puluhan juta dalam pendanaan administrasi pemilihan. Inisiatif Chan Zuckerberg menyumbang US$ 300 juta.”
Kontribusi-kontribusi ini dibingkai sebagai suatu upaya untuk mengisi “celah pendanaan” yang ditinggalkan oleh pemerintah federal, sambil mengabaikan bahwa itu adalah operator Partai Demokrat yang mendorong upaya-upaya pemungutan surat suara yang dikirim melalui layanan pos.
Memang, kelompok-kelompok fokus diadakan oleh Pusat Partisipasi Pemilih, yang dirancang untuk “mencari tahu apa yang akan membuat orang-orang memberikan suara melalui surat suara yang dikirim melalui layanan pos.” Beberapa bulan berikutnya, Pusat Partisipasi Pemilih akan mengirimkan aplikasi -aplikasi surat suara kepada “15 juta orang di negara bagian penentu kemenangan pemilihan umum.” Kelompok tersebut menindaklanjuti dengan kampanye surat suara yang dikirim melalui layanan pos dan iklan-iklan digital yang mendesak para pemilih yang ditargetkan ini untuk “tidak menunggu Hari Pemilihan Umum.”
Upaya-upaya ini secara historis berhasil dan transformatif. Seperti yang dicatat dalam artikel tersebut, “Pada akhirnya, hampir separuh pemilih memberikan suara melalui layanan pos pada tahun 2020, secara praktis sebuah revolusi dalam cara orang-orang memilih. Sekitar seperempat pemilih memberikan suara di awal. Hanya seperempat pemilih yang memberikan suara mereka dengan cara tradisional: datang untuk mencoblos pada Hari Pemilihan Umum.”
Kendali Massa oleh Kaum Kiri
Ada beberapa materi yang masuk dalam artikel tersebut, mustahil bahwa kaum kiri benar-benar mengendalikan aktivitas kelompok-kelompok seperti Antifa, Black Lives Matter, dan lainnya yang melakukan kerusuhan sepanjang tahun pemilihan umum. Seperti yang dicatat dalam artikel tersebut, “Banyak dari penyelenggara itu adalah bagian dari jaringan [Mike] Podhorzer” pria yang disebutkan dalam artikel Time sebagai “Arsitek” dari seluruh upaya pemilihan umum itu.
Artikel tersebut mencatat bahwa lebih dari 150 kelompok liberal bergabung dengan “Protect the Results” dan menyatakan bahwa “situs web kelompok yang sekarang tidak berfungsi memiliki sebuah daftar peta 400 demonstrasi pasca-pemilihan umum yang direncanakan, yang akan diaktifkan melalui pesan teks secepat 4 November. Untuk menghentikan kudeta yang mereka takuti, kaum kiri siap membanjiri jalanan.”
Ada juga pengakuan yang tidak terucapkan lainnya di sini. Pemicu untuk kerusuhan yang belum direncanakan adalah kekalahan Joe Biden, bukan “pemilihan umum yang dicurangi.” Atau mengatakan dengan cara lain, kaum kiri akan menentukan apa yang meliputi sebuah pemilihan umum yang dicurangi hanya berdasarkan hasil pemilihan umum.
Hal ini semakin ditonjolkan dalam penceritaan peristiwa malam pemilihan umum setelah Fox News menyebut Joe Biden unggul di Arizona. Angela Peoples, direktur untuk Koalisi Pertahanan Demokrasi, mengatakan kepada Time bahwa “Kami ingin berhati-hati kapan waktu yang tepat untuk meminta massa turun ke jalan-jalan.”
Tetapi setelah Fox memanggil menyebut Joe Biden unggul di Arizona, sebuah keputusan dibuat untuk “mundur.” Seperti yang dicatat Mike Podhorzor, “Mereka menghabiskan begitu banyak waktu untuk bersiap-siap turun ke jalan-jalan pada Rabu. Tetapi mereka berhasil… tidak ada satupun Antifa versus insiden Proud Boys.”
Dengan kata lain, Mike Podhorzor dan krunya secara efektif mengendalikan tindakan Antifa dan Black Lives Matter — jika tidak sepenuhnya, paling tidak selama momen dan hari kritis ini.
Pentingnya Fox Menyebut Arizona
Deskripsi seputar malam pemilihan umum, meski singkat, menceritakan dan membangkitkan pertanyaan lebih lanjut. Terlepas dari nada keseluruhan artikel, tampak jelas bahwa Partai Demokrat mengira mereka telah kalah dalam pemilihan umum pada 3 November 2020:
“Malam pemilihan umum dimulai dengan banyak Partai Demokrat yang putus asa. Donald Trump unggul menjelang jajak pendapat pra-pemilihan umum, unggul di Florida, Ohio, dan Texas dengan mudah dan hampir unggul di Michigan, Wisconsin, dan Pennsylvania.”
Menurut artikel tersebut, “aliansi liberal berkumpul pada pukul 11 malam. Panggilan Zoom. Ratusan orang bergabung; banyak yang panik.” Sedangkan Mike Podhorzor Berbicara, Fox News “mengejutkan semua orang dengan menyebut Joe Biden unggul Arizona.”
Penyebutan Fox News mengubah segalanya. Seperti yang dikatakan artikel itu, “Kampanye kesadaran-masyarakat telah berhasil: para pembawa berita TV bersusah payah menasihati agar berhati-hati dan membingkai penghitungan suara secara akurat. Pertanyaannya berikutnya menjadi apa yang harus dilakukan selanjutnya.”
Ada catatan terkait lainnya juga. Mike Podhorzor membagikan datanya mengenai “Blue Shift” — sebutan yang digunakan untuk menggambarkan lonjakan akhir untuk suara Partai Demokrat dari pemungutan suara surat-surat yang dikirim melalui — dengan “organisasi media yang akan mengumumkan pemilihan umum.”
Seorang analis, yang digambarkan sebagai “anggota sebuah unit politik jaringan utama yang berbicara dengan Mike Podhorzer sebelum Hari Pemilihan Umum” memberitahukan Time yang memiliki akses ke data Mike Pordhorzor dan kemampuannya untuk “mendokumentasikan seberapa besar gelombang absensi akan terjadi dan varian-varian menurut negara adalah penting.”
Arnon Mishkin, kontraktor luar dan seorang anggota Partai Demokrat, adalah individu di Fox yang dilaporkan menyebut Arizona pada pukul 11:20 malam waktu New York. Menurut sebuah laporan, “Tidak ada pengumuman yang dibuat sampai Bill Hemmer, meninjau status terbaru dari sebuah peta pemilihan umum yang memiliki pandangan positif untuk Donald Trump, melirik ke barat daya, tempat meja keputusan berada meninggalkan tanda centang kuningnya di Arizona di mana Joe Biden unggul.”
Setelah menyebut Arizona, Arnon Mishkin menyatakan bahwa Donald Trump “cenderung hanya mendapatkan sekitar 44% dari suara luar biasa yang ada.” Arnon Mishkin dulu salah. Donald Trump mendapat persentase suara yang tersisa secara signifikan lebih tinggi, dan meskipun keunggulan di Arizona akhirnya bertahan, jauh lebih dekat dibandingkan dengan ramalan Arnon Mishkin. Memang, saat ini sedang dilakukan audit paralel di Maricopa County, kabupaten terpadat di Arizona.
Dampak Pasca Pemilihan Umum
Sementara para pemilih di sayap kanan memprotes dalam kelompok-kelompok yang tampaknya tidak terorganisir, para pemilih di sayap di kiri tampaknya jauh lebih siap. Sekitar jam 10 malam waktu setempat saat malam pemilihan umum, sebuah bus yang membawa pengamat pemilihan umum Partai Republik tiba di Pusat TCF Detroit.
Artikel tersebut memberikan sebuah penjelasan yang agak bias, yang menyatakan bahwa para pengamat Partai Republik “mengerubuti meja-meja penghitungan suara, menolak memakai masker, mengejek sebagian besar pekerja kulit hitam.”
Ketika para pengamat Partai Republik tiba, Art Reyes III, pemimpin ‘We the People Michigan” mengirim kabar ke jaringannya.
“Dalam waktu 45 menit, puluhan bala bantuan telah tiba. Saat mereka memasuki arena untuk memberikan penyeimbang bagi para pengamat Partai Republik di dalam arena tersebut, Art Reyes III mencatat nomor-nomor telepon seluler mereka dan menambahkannya ke sebuah rantai teks yang besar sekali.”
Dewan pemilihan adalah “titik tekanan” lainnya. Aktivis menyebut “perhatian ke implikasi rasial dari mencabut hak pilih orang-orang kulit hitam di Detroit. Mereka membanjiri pertemuan sertifikasi dewan Wayne County pada 17 November dengan kesaksian pesan.” Suara Detroit disertifikasi oleh anggota dewan Partai Republik.
Akhirnya, tekanan terhadap badan legislatif negara bagian adalah sangat kuat. Pada tanggal 20 November, Donald Trump mengundang para pemimpin Partai Republik dari legislatif Michigan ke Gedung Putih. Menurut artikel tersebut, sebuah “pers pengadilan penuh” diluncurkan oleh kaum kiri dan “kontak-kontak Lindungi Demokrasi setempat meneliti informasi pribadi dan motif politik pembuat undang-undang.”
Aktivis Art Reyes III berdemonstrasi di terminal keberangkatan dan kedatangan untuk perjalanan anggota parlemen Partai Republik ke DC.
Langkah terakhir dalam mensertifikasi suara Michigan adalah suara dari negara bagian dewan canvassing negara bagian, yang terdiri dari dua anggota Partai Republik dan dua anggota Partai Demokrat. “Aktivis Art Reyes III membanjiri live streaming dan mengisi Twitter dengan hashtag mereka, #alleyesonmi. Sebuah dewan terbiasa hadir di single digit tiba-tiba menghadapi ribuan penonton.”
Pemungutan suara disertifikasi 3-0, dengan satu anggota Partai Republik abstain.
Kampanye Bayangan Ingin Anda Tahu
Perincian peristiwa yang sangat agresif di artikel Time tersebut mengarah ke satu kesimpulan yang agak mengkhawatirkan. Para pemimpin Kampanye Bayangan ingin anda tahu apa yang mereka lakukan. Apakah ini berasal dari keangkuhan atau sebuah posisi kekuatan tidak sepenuhnya jelas, tetapi ada beberapa orang penting yang bersedia berkontribusi untuk artikel ini. Dan dikutip secara terbuka.
Selain Mike Podhorzer, Norman Eisen dikutip di beberapa poin di artikel tersebut. Selain merekrut anggota untuk Program Perlindungan Pemilih, Norman Eisen adalah salah satu arsitek dan penulis dari dua Laporan Brookings yang ditulis selama investigasi Mueller.
Brookings membuat laporan setebal 108 halaman, “Gangguan Hukum Kepresidenan:
Kasus Donald J. Trump,” ditulis oleh Barry Berke, Noah Bookbinder, dan Norman Eisen, pada tanggal 10 Oktober 2017. Mereka menindaklanjuti dengan 177 halaman pada edisi kedua pada tanggal 22 Agustus 2018, yang juga datang dengan lampiran panjang.
Norman Eisen, seorang rekan senior di Brookings, menjabat sebagai penasihat khusus Gedung Putih untuk etika dan reformasi pemerintah di bawah mantan Presiden Barack Obama dan merupakan pendiri Penduduk untuk Tanggung Jawab dan Etika di Washington. Norman Eisen, menurut halaman profil Brookings miliknya, menasihati Barack Obama “mengenai regulasi lobi, undang-undang keuangan kampanye, dan masalah pemerintahan terbuka,” menurut bio Penduduk untuk Tanggung Jawab dan Etika miliknya.Norman Eisen juga menjabat sebagai duta besar untuk Republik Ceko dari tahun 2011 hingga 2014.
Norman Eisen dan Berke kemudian dipertahankan oleh Ketua Komite Kehakiman DPR Jerry Nadler (D-N.Y.) atas dasar konsultasi sebagai pengawas nasihat khusus kepada staf mayoritas Partai Demokrat.
Sebagaimana dicatat Nadler dalam sebuah pengumuman, kedua pria itu memiliki fokus khusus untuk meninjau investigasi Mueller dan akan menasihati Komite Kehakiman DPR. Juga muncul Jerry Nadler yang dimaksudkan agar kedua pengacara itu mempertanyakan Jaksa Agung William Barr, yang akhirnya menolak untuk menghadiri dengar pendapat — yang mengarah pada pemungutan suara Partai Demokrat agar William Barr tidak terhina.
Nasib Buruk Rapat Umum pada 6 Januari
Pada 6 Januari, ribuan pendukung Donald Trump datang ke D.C. untuk sebuah acara unjuk rasa naas, yang berpuncak pada penyerangan ke Gedung Capitol. Kegagalan dari peristiwa ini akan menjadi parah dan efek penuh belum sepenuhnya ditentukan.
Pemerintahan baru, bersama dengan banyak orang di Kongres, tampaknya sedang menganggap ancaman terorisme domestik menjadi prioritas utama. Baru-baru ini Joe Biden yang mengangkat Kepala Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat telah menyatakan secara terbuka bahwa “salah satu dari ancaman terbesar yang kita hadapi saat ini di tanah air kita… adalah ancaman terorisme domestik.”
Terlepas dari harapan banyak orang, tampaknya tidak ada materi kehadiran penyangga-para pengunjuk rasa dari kaum kiri pada rapat umum 6 Januari.
Penulis artikel Time tampaknya terus menghubungi anggota “Kampanye Bayangan”, yang mencakup Podhorzer, “arsitek” kelompok tersebut. Pada pagi 6 Januari, Mike Podhorzer mengirim sms padanya, mencatat bahwa aktivis kiri “sangat mengecilkan hati aktivitas balasan.” Pesan Mike Podhorzer diakhiri dengan “emoji jari silang”. (Vv)
Jeff Carlson adalah kontributor tetap The Epoch Times. Dia adalah pemegang CFA Charterholder dan bekerja selama 20 tahun sebagai analis dan manajer portofolio di pasar obligasi bunga tinggi. Dia juga menjalankan situs web TheMarketsWork.com dan dapat diikuti di Twitter @themarketswork