oleh ISWAHYUDI
75 tahun merdeka, Indonesia tak pernah selesai dengan dirinya. Ribut tiada henti dengan sesama elemen bangsa. Kali ini berkaitan dengan peta jalan (cetak biru) Pendidikan Nasional.
Banyak ahli pendidikan mendambakan sebuah blue print, peta jalan atau Garis Besar Haluan Pendidikan (GBHP) atau sejenisnya. Semenjak Mas Menteri Nadiem menjabat, ada harapan bagi sebagian orang bahwa dia bisa membuat transformasi pendidikan untuk mencetak generasi unggul.
Disanggupi bahwa peta jalan itu akan segera diwujudkan 6 bulan setelah menjabat dan akan diwujudkan dalam bentuk Perpres. Namun banyak kalangan berpendapat bahwa proses penyusunan tersebut terkesan tertutup. Banyak ahli pendidikan merasa tidak dilibatkan.
Dan Polemik itu mencuat beberapa hari yang lalu ketika Mas Menteri mempresentasikan peta jalan tersebut di depan anggota DPR yang terhormat. Ada yang mempertanyakan dengan keras terutama dari ormas Islam, mengapa frasa agama tidak muncul dalam peta jalan tersebut, sehingga menjadi isu liar ke mana-mana.
Anggota DPR dari Lampung Al Muzammil Yusuf memberikan dua catatan atas peta ini, Pertama, Catatan teknis yaitu berdasarkan pada UU no. 15 tahun 2019 yang mana peta jalan yang akan dijadikan Perpres hanya mungkin dimunculkan mana kala ada perintah undang-undang atau peraturan pemerintah. Jika itu tidak terpenuhi, perpres tidak bisa dibuat. Kedua, catatan tentang subtansi, dimana arah dan titik tolak peta tidak berdasarkan konstitusi. Padahal pasal 31 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang”.
Menurutnya, mendikbud hanya mengambil akhlak mulia dan aspek kecerdasan dari amanat konstitusi dan UU Sisdiknas. Maka dari itu, karena bertentang secara teknis dan substansi, ia meng- usulkan pada pimpinan DPR agar meminta kemendikbud untuk mencabut peta jalan tersebut.
Kritik keras juga berasal dari Indra Charismiadji, pengamat dan praktisi Pendidikan dari CERDAS (Center for Education Regulations and Development Analysis) saat diwawancari di sebuah televisi nasional (10/03/2021) mengatakan bahwa peta jalan pendidikan adalah usulan dari banyak tokoh pendidikan termasuk dirinya. Yang selama era reformasi ini, Indonesia tidak pernah punya panduan atau cetak biru pendidikan. Menurutnya Pendidikan Indonesia memasuki kondisi BAUWMM (Business as Usual with More Money).
Program yang intinya sama tapi dengan nama berbeda namun menyedot dana yang semakin besar. Ia mengakui peta jalan yang diajukan mendikbud tujuannya adalah baik, namun ia tak sepakat dengan istilah peta jalan. Ia lebih pas dengan istilah blue print. Ia menilai bahwa peta jalan ini bukan disusun oleh orang Indonesia. Karena tidak ada cita rasa Indonesia. Bukan hanya tidak sesuai konstitusi tapi bukan untuk dan oleh orang Indonesia.
Menurutnya budaya asli Indonesia tidak disentuh sama sekali dalam peta jalan itu. Alasan penilaian itu adalah: Pertama, tak ada tim ahli yang menyusun peta jalan ini. Tak ada tim ahli yang memberikan bantahan saat polemik muncul. Ia menilai kecenderungan mendikbud selalu lari dari media. Selalu lari dari publik. Lupa bahwa mereka adalah pejabat publik. Yang memang dibiayai oleh rakyat. Untuk mengurusi kepentingan publik. Publik harus dijelaskan kenapa bisa seperti itu.
Menanggapi polemik tersebut Mas Menteri Nadiem langsung memberikan klarifikasi terutama yang berkaitan dengan tidak eksplisitnya frasa agama dalam peta jalan pendidikan. Ia memohon kepada masyarakat agar tidak mempercayai informasi dan isu yang beredar. Ia menegaskan bahwa Mendikbud tidak akan pernah menghilangkan pelajaran beragama. Agama adalah prinsip esensial dari peta jalan pendidikan, itulah kenapa profil pertama dari pelajar Pancasila adalah bertakwa dan beriman kepada Tuhan YME dan berakhlaq mulia. Dia mempersilahkan frasa agama masuk dalam peta jalan. Dan mengatakan bahwa “Case close ya…”.
Dari polemik ini bisa menjadi sebuah sinyal bahwa ada problem komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, yang pada intinya adalah bermuara pada masalah kepercayaan yang semakin menurun di saat krisis multidimensi akibat pandemi yang tak kunjung usai.
Apa kata leluhur pembangun Borobudur tentang peta jalan pendidikan?
Ganti menteri ganti kebijakan. Yang jadi korban ada para peserta didik, menjadi kelinci percobaan. Hasilnya adalah nestapa satu generasi. Padahal investasi pendidikan adalah paling penting bagi masa depan sebuah bangsa. Merancang pendidikan sama halnya merancang masa depan. Salah membuat peta jalan masa depan bisa tersesat. Membuat peta jalan tak bisa copy paste negara lain kemudian diaplikasikan ke negara sendiri. Berhenti bermimpi ada resep ajaib atau jalan pintas untuk kejayaan sebuah bangsa. Pendidikan adalah tentang mem- bangun manusia yang akhirnya membuat peradaban.
Sebagai sebuah bangsa yang kaya akan budaya masa lalu yang pernah menorehkan kejayaan, dengan artefak, bangunan penada kejayaan dan naskah-naskah kuno yang bernilai. Sepatutnya dalam merancang peta jalan pendidikan perlu bercermin ke masa lalu. Di balik kejyaan dan keruntuhan ada sebuah pelajaran. Ada sindrom akut yang menimpa bangsa Indonesia tak bangga dengan budaya sendiri dan lebih mendambakan budaya bangsa lain. Perlu diwaspadai bahwa agenda globalisasi adalah bentuk penjajahan model baru.
Sementara negara-negara yang maju terbukti bukan karena ia meninggalkan warisan budaya leluhur, tapi menjadikan warisan sejarah sebagai modal kejayaan di masa depan tentunya dengan membuat penyesuaian dan terobosan tanpa kehilangan jati diri.
Nenek moyang Indonesia mempunyai naskah-naskah kuno yang kaya akan inspirasi dan codex-codex kejayaan masa lalu yang bisa dijadikan modal membangun peradaban. Dan itu berada dalam naskah-naskah kuno. Banyak sarjana luar negeri yang terkagum-kagum dengan leluhur nusantara, sementara naskah-naskah kuno tersebut hanya mengendap di perpustakaan-perpustakaan.
Sementara sarjana Indonesia mencari resep ajaib lompatan peradaban di seluruh penjuru dunia yang itu belum tentu cocok dengan bangsa Indonesia. Di sini peran seorang Filolog alias guide untuk menyibak tabir masa lalu sangat diperlukan.
Indonesia mempunyai Borobudur yang menjadi salah satu keajaiban dunia. Satu pertanyaan besar kita apakah keajaiban itu muncul tiba-tiba seperti dibangun orang yang sakti mandraguna dalam satu malam seperti legenda membangun seribu candi dalam semalam? Yang akhirnya menghilangkan daya kritis kita bahwa mitologi adalah sebuah bahasa dengan pesan tersembunyi. Yang pada kenyataannya membangun sebuah candi yang monumental perlu proses waktu, upaya, kerja tim, sistem manajemen, dan keahlihan lintas disiplin. Keahlian tersebut muncul bukan lewat sebuah proses hampa, melainkan lewat sebuah pendidikan. Pertanyaan selanjutnya bagiamana leluhur pembangun Borobudur merancang peta jalan (blue print) pendidikan di masa itu? Itu yang perlu dikaji.
Menurut Filolog, KRT. Manu J Widyaseputra yang meneliti naskah-naskah kuno menemukan banyak petunjuk yang sangat berharga bagaimana leluhur nusantara merancang sebuah sistem pendidikan yang menghasilkan peradaban yang menjadi salah satu dari keajaiban dunia.
Berdasarkan sebuah naskah Babad Mangkubumi yang ia teliti mengenai kondisi bumi Mataram sebelum lahirnya kerajaan Mataram Kuno Wangsa Syailendra, ia menemukan bahwa ada banyak ashrama (asrama) yang tersebar di bumi Mataram Kuno yang sekarang jadi wilayah Yogjakarta.
Selanjutnya apa sebenarnya ashrama itu? Berdasarkan penelitian dari segi nirukta bahasa Sansekerta, ashrama berarti tempat orang-orang melelahkan diri untuk mencapai pengetahuan. Yang akhirnya kumpulan pengetahuan itu berkontribusi besar dalam membangun peradaban Mataram Kuno yang terkenal dengan Candi Boroudurnya.
KRT. Manu menemukan di naskah tersebut sebagai apa yang disebut sebagai Brahmanic System, yang terdiri dari Catur Ashrama (empat asrama).
Pertama, Brahmacari, suatu tahapan di mana ketika seseorang siswa yang belajar memperdalam ilmu pengetahuan. Metode yang digunakan adalah uppanisad, yang berarti duduk bersimpuh di kaki guru. Ada setidaknya 137 macam ilmu pengetahuan yang diajarkan pada tahap ini. Mulai dari ilmu pengetahuan yang sifatnya lahiriah seperti astronomi, pengetahuan tentang pertanian, pengetahuan tentang perdagangan, dan pengetahuan yang berkaitan dengan hidup sehari-hari. Ataupun ilmu pengetahuan yang sifatnya filosofis seperti bahasa seni, dan religi.
Kedua, Tirtayatra. Asrama yang tersebar di bumi Mataram Kuno mempunyai kekhasan ma- sing-masing dalam hal ilmu pengetahuan. Pada tahap ini seorang brahmacari diwajibkan untuk melakukan tirtayatra. Sebuah perjalan studi banding dari asrama ke asrama yang lain. Yang pada saat itu rute perjalanan studi banding seringkali dilakukan lewat sungai dan kebanyakan asrama- asrama tersebut terletak di dekat sungai. Meraka saling melengkapi pengetahuan dan ketrampilan satu sama lain.
Ketiga, Upalananyana, yaitu tahapan wisuda. Ketika seorang brahmacari (siswa) dinyatakan lulus, ia akan mendapatkan serempang (selendang) yang bernama upalnika. Setelah dinyatakan lulus, para brahmacari ini diperbolehkan untuk pulang dan melakukan brasta, yaitu membangun rumah tangga. Kalau kebetulan dia seorang pangeran, dia akan menjadi raja. Raja-raja Jawa kuno selalu menyeko- lahkan putra-putranya di asrama ini pada seorang brahmana untuk membekali dengan pengetahuan yang cukup untuk menggantikannya sebagai raja.
Keempat, Wanaprasta, ketika seorang raja telah usai dengan baktinya dan mempunyai penerus tahta. Raja yang lama, akan mengundurkan diri dari kerajaan memasuki kehidupan yang berikut-nya, yang bernama wanaprasta dengan menjadi seorang wanaprastin yaitu tinggal di hutan untuk memperdalam kehidupan yang sifatnya filosofi sampai kondisi Samniasim atau biksuka, yaitu yang menunggu saat-saat kemoksaannya.
Moksa ini tidak sama dengan mati. Karena orang pada saat itu tidak ada kata mati seperti yang dipahami pada saat ini. Misalnya seperti Raja Brawijaya mengalami kemoksaan. Kalau dicari dan gali makamnya tidak ada bekas-bekas tulangnya. Karena di situ hanya petilasan-petilasan tempat beliau dulu melakukan Samniasa itu yaitu menjalani kehidupan untuk mencapai kemoksaan.
Dari peta jalan heumetika brahmanic ini kelihatan bahwa leluhur nusantara juga mengenal konsep long life education. Yang terkenal dengan sangkan paraning dumadi. Pendidikan tidak hanya suatu proses untuk menciptakan tukang atau suatu ahli tertentu tapi bermuara menjadi seorang yang sempurna.
Seperti yang dilihat dari buku visual terbuka Candi Borobudur yang legendaris itu juga sangat rinci menggambarkan peta jalan pendidikan manusia dengan tiga tingkatannya yaitu Kamadatu (ranah hawa nafsu), Rupadathu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud).
Leluhur Nusantara sangat jarang sekali meninggalkan ikon peradaban materi tapi karya-karya candi dan tempat ibadah yang intinya membangun jiwa/ spiritual sebuah bangsa untuk diwariskan nilainya pada generasi yang akan datang. Ini memberikan pesan yang begitu gamblang membangun rohaniah harus didahulukan dari lahiriah.
Hari ini banyak elite politik sibuk tentang peta jalan pendidikan yang akan menentukan nasib generasi mendatang dengan mencari resep ajaib dari seluruh dunia, melupakan bahwa di bumi Mataram; di wilayahnya sendiri, ada peta yang sangat gamblang yang bisa menginspirasi tentang bagaimana membuat peradaban lewat pendidikan. Tidak ada jalan pintas.
Mumpung peta jalan belum diketok palu. Saatnya kembali ke tradisi sendiri. Tidak usah jauh- jauh. Borobudur itu bisa dipastikan adalah sebuah peta pendidikan manusia yang sangat sempurna. Untuk menjadi manusia paripurna yang menghasilkan peradaban yang paripurna.
Keterangan Foto : Candi Borobudur (shirophoto, iStock)