oleh Li Zhaoxi
Media Inggris ‘The Telegraph’ pada (29/3) menyebutkan bahwa pemerintah komunis Tiongkok telah melakukan investasi besar-besaran, dalam upaya memodernisasi peralatan tempurnya selama dekade terakhir.
Pihak berwenang Tiongkok melaporkan bahwa anggaran belanja pertahanan nasional tahun ini, telah dinaikkan sebanyak lebih dari satu kali lipat daripada tahun sebelumnya.
Jadi, anggaran untuk itu pada tahun 2021 menjadi RMB. 1,35 triliun. Menurut kalkulasi para analis, pengeluaran pertahanan komunis Tiongkok sebenarnya jauh lebih besar dari jumlah yang mereka publikan.
Pada tahun 2017, Sekjen Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping mengumumkan bahwa militer komunis Tiongkok wajib menjadi militer “kelas wahid dunia” pada tahun 2049, dan memiliki kemampuan untuk memenangkan perang global.
Pemerintah komunis Tiongkok selain berinvestasi langsung pada anggaran belanja militer, mereka juga berinvestasi besar-besaran di sejumlah perusahaan baik BUMN maupun swasta yang bergerang di bidang pertahanan untuk mendapatkan teknologi baru.
Saat ini, Angkatan Laut Tiongkok sudah menjadi salah satu dari kekuatan maritim terbesar di dunia, dengan memiliki sekitar 350 kapal perang dan kapal selam, diantaranya termasuk lebih dari 130 kapal tempur di permukaan air. Kapal-kapal itu dilengkapi dengan senjata rudal jelajah dan balistik presisi jarak jauh, radar peringatan dini, dan sistem pertahanan udara yang memungkinkannya mampu mendominasi wilayah udara sejauh Samudra Pasifik. Selain itu, baru-baru ini mereka juga meluncurkan senjata hipersonik yang dirancang untuk melawan kelompok tempur kapal induk AS.
Akan tetapi, laporan tersebut menunjukkan bahwa pasukan komunis Tiongkok belum tentu tak terkalahkan. Karena pasukan komunis Tiongkok menghadapi tantangan kemampuan personel yang besar. Sulit untuk merekrut personel baru, melatih mereka dan mempertahankan para senior yang lebih profesional. Selain itu, mereka juga dihadapkan pada masalah yang dianggap penurunan tajam moral karena korupsi yang merajalela. Mereka sudah tidak berperang untuk lebih dari 40 tahun.
Oriana Skylar Mastro, seorang ahli kebijakan keamanan nasional Tiongkok dari Universitas Stanford yang bekerja untuk wadah pemikir ‘American Enterprise Institute’ (AEI) di Washington mengatakan, bahwa bagaimana kinerja sebenarnya dari pasukan komunis Tiongkok dalam pertempuran itu masih merupakan sebuah pertanyaan penting, tetapi sulit untuk dijawab.
“Di lingkungan militer AS, tidak ada perwira AS yang akan menganggap bahwa suatu perintah itu mungkin saja boleh tidak dilaksanakan … Jika Anda memberi tahu pasukan Anda untuk menyerbu sebuah perbukitan, pasti mereka akan bergegas menyerbu bukit tersebut tanpa ragu,” kata Oriana Skylar Mastro.
“Tetapi berbeda dengan di lingkungan militer komunis Tiongkok, karena mereka memiliki sifat ketidakpastian yang tinggi, sehingga apakah pasukan akan benar-benar bergegas meluncur ke bukit sebagaimana peluru yang dilesatkan dari senapan, tetapi tidak mengambil langkah seribu untuk pergi sendiri-sendiri ?”
Para ahli mengatakan bahwa negara-negara Barat harus lebih menaruh perhatian pada ambisi ekonomi, politik dan diplomatik komunis Tiongkok ketimbang hanya melihat berapa banyak kapal dan tank yang dapat dikerahkan oleh komunis Tiongkok dalam kontak senjata. Banyak analis juga percaya bahwa rencana investasi komunis Tiongkok pada infrastruktur internasional, seperti inisiatif One Belt One Road suatu saat di kemudian hari, nanti dapat berubah menjadi sarana ekspansi militer global mereka. (sin)