Menguak Diplomasi Serigala Perang yang Menyimpan Bencana di Laut China Selatan

Tang Ao

Diplomasi serigala perang yang semakin ganas dimainkan oleh Komunis Tiongkok, sedang menciptakan musuh dari segala penjuru di tengah masyarakat internasional. Namun penampilan yang kelihatannya arogan itu, mungkin menyembunyikan taktik Hyena/Buduk yakni memilih yang gemuk untuk dimangsa. 

Dari aksi Diplomasi serigala perang Komunis Tiongkok, menyimpulkan dari situasi di Selat Taiwan dan Laut China Selatan dapat dilihat, Komunis Tiongkok tengah menguji batasan minimum Amerika Serikat, krisis invasi militer pun kemungkinan sudah di depan mata.

Jika dikatakan, berbagai atraksi yang dimainkan Komunis Tiongkok baru-baru ini, seperti meningkatkan diplomatik serigala perangnya merupakan untaian pengujian ibarat Hyena mengepung buruannya. Maka aksi pengujian seperti ini jelas belum mencapai puncaknya. 

Karena walaupun pemerintah AS telah melontarkan respon diplomatik yang tidak mencari konfrontasi. Namun belum juga menjelaskan, apakah akan menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan tindakan militer komunis Tiongkok.

Dari sini dapat dilihat, serigala perang yang dikeluarkan Xi Jinping, tak hanya berada pada sistem diplomatik saja, mestinya juga masih ada banyak aksi serigala perang lainnya.

Ada pepatah di tengah masyarakat Barat “jika dilalui pasti meninggalkan jejak”, aksi pengujian ala serigala perang Komunis Tiongkok ini, sangat mungkin telah diperlihatkan baru-baru ini. memilah kembali sejumlah aksi Komunis Tiongkok belakangan ini, ditemukan dua perubahan yang mencolok, satu di Selat Taiwan, dan yang satu lagi di Laut China Selatan.

Pada 26 Maret lalu, dalam laporan Kemenhan Taiwan disebutkan, sebanyak 20 unit pesawat tempur Komunis Tiongkok telah memasuki Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Taiwan, ini merupakan aksi invasi pesawat tempur Komunis Tiongkok berskala terbesar.

Sejak tahun lalu, Komunis Tiongkok telah memperbesar aksi militernya di Selat Taiwan, setelah Biden menjabat jumlah pesawat Komunis Tiongkok yang mengusik Taiwan, acap kali memecahkan rekor. Dan, dianggap sebagai pengujian yang bersifat provokatif terhadap pemerintahan Biden.

Di saat yang sama, Laut China Selatan yang disebut-sebut sebagai zona paing strategis di seluruh dunia, dikabarkan juga mengalami gerakan tak lazim. Berita tentang ratusan kapal nelayan Tiongkok yang mencurigakan berkumpul di Kepulauan Spratly sejak Maret lalu, membuat berbagai pihak yang terlibat dalam konflik di Kawasan itu kembali bersitegang.

Pada 20 Maret, “National Task Force for the West Philippine Sea” Filipina menyatakan, sebanyak 220 unit kapal nelayan Tiongkok telah berkumpul di sekitar Whitson Reef sejak 7 Maret 2021 lalu. Pemerintah Filipina pun segera melontarkan protes pada Beijing.

Pada 22 Maret pihak penguasa rezim komunis Tiongkok merespon dengan mengatakan para nelayan berlindung dari hujan angin untuk sementara, dan tidak ada yang disebut “kapal milisi maritim”. Namun di hari yang sama pihak Kemenhan Filipina menyebutkan, masih ada 180 unit kapal nelayan lainnya yang masih merapat di dekat Whitson Reef.

Sementara Kedubes AS untuk Filipina pada 23 Maret lalu, menyatakan, setelah cuaca membaik kapal-kapal tersebut masih saja tidak meninggalkan lokasi, dan telah berbulan-bulan lamanya berlabuh di sana. Di hari yang sama juru bicara Kemenlu AS Ned Price mencuit di Twitter, menyatakan kekhawatiran dirinya terhadap kapal-kapal milisi maritim Tiongkok yang berada di sekitar Whitson Reef.

Pada 24 Maret, mantan Hakim Agung Filipina Antonio Carpio menyebutkan, kapal Tiongkok berkumpul di Whitson Reef, dikhawatirkan akan mengulang peristiwa pendudukan atas Mischief Reef pada 1995 silam. 

Ada media massa AS yang memberitakan bahwa, kapal-kapal Tiongkok berkumpul di zona konflik untuk mengumpulkan data terkait Laut Tiongkok Selatan, yang mungkin akan digunakan untuk aksi militer. 

Menyimpulkan dari pertemuan Tiongkok-AS yang baru saja berakhir, tak sulit menyaksikan bahwa Gerakan mencurigakan yang terjadi di Selat Taiwan dan Laut China Selatan. Mungkin lagi-lagi merupakan upaya pengujian ala serigala perang Komunis Tiongkok.

Perkembangan situasi Laut Tiongkok Selatan: Komunis Tiongkok mungkin akan terus melakukan gerakan tak lazim

Pertama-tama, artikel ini akan mencoba menyimpulkan perubahan di Laut China Selatan. 

Beberapa hari lalu, berita tentang sebuah kapal kontainer raksasa yang kandas di Terusan Suez, Mesir, menimbukan kerugian yang mencapai miliaran dollar AS per hari, kembali mengingatkan dunia akan pentingnya hak pelayaran di laut.

Dan, Laut China Selatan yang menampung sepertiga arus pelayaran laut dunia, tak diragukan lagi mempunyai posisi strategis yang tidak bisa diabaikan. Kini Laut China Selatan telah menjadi ajang pertarungan antar negara besar. Selain Beijing yang mengklaim memiliki kedaulatan atas 80% wilayah Laut China Selatan, negara Vietnam, Filipina, dan negara Asia Tenggara lainnya masing-masing juga menyatakan kedaulatannya atas perairan tersebut. 

Negara Barat besar seperti Amerika dan Inggris yang memiliki kepentingan sangat besar atas pelayaran di Laut China Selatan, juga berbondong-bondong ikut terjun, dan bersumpah melindungi kebebasan pelayaran di Laut China Selatan.

Karena itulah, perselisihan di Laut China Selatan yang sepertinya terlihat rumit itu, sebenarnya tak sulit untuk dianalisa.

Kepentingan utama  bagi negara Barat seperti Amerika dan Inggris adalah pelayaran bebas. Sementara kepentingan Komunis Tiongkok di Laut China Selatan, adalah merebut kedaulatan, melalui persiapan menerkam penguasaan hak atas pelayaran laut di kawasan itu.

Yang perlu diperjelas adalah, tujuan Komunis Tiongkok merebut kedaulatan atas Laut China Selatan, bukanlah karena cinta tanah air, karena dua dekade lalu Komunis Tiongkok pernah menipu rakyat dengan menjual banyak wilayah negaranya sendiri, diam-diam jutaan kilometer persegi wilayah Tiongkok telah dijual kepada Rusia. 

Konflik Laut China Selatan dari Komunis Tiongkok, adalah demi ambisi satu partai, adalah merebut hegemoni di lautan untuk mempromosikan otokrasi komunisnya. 

Padahal jejak pendahulunya yakni NAZI Jerman dan Fasisme Jepang telah memperlihatkan, menggunakan “patriotisme” untuk memprovokasi warga. Sebenarnya Komunis Tiongkok telah menjadikan rakyat Tiongkok sebagai umpan meriam, yang akan mendatangkan bahaya tanpa akhir bagi bangsa Tionghoa.

Walaupun tahun lalu, pemerintah AS telah secara resmi menolak tuntutan kedaulatan Komunis Tiongkok atas Laut China Selatan, namun pernyataan sikap seperti itu tidak memiliki daya kekang yang kuat. Tujuannya hanya untuk ikut terjun ke Laut China Selatan dan memastikan kebebasan pelayarannya. AS sepertinya tidak mungkin mengerahkan kekuatan militer untuk membela konflik kedaulatan negara sekutunya.

Terbatas oleh kekuatan militer dan teknologi, Komunis Tiongkok juga tak mungkin bermimpi untuk menguasai hak kendali atas pelayaran bebas di Laut China Selatan. Di tengah realita, taktik yang dilakukan Komunis Tiongkok di Laut China Selatan, adalah bergerak secara bertahap dengan strategi “menggerogoti” melalui reklamasi laut membuat pulau.

Lantaran pertimbangan sejarah dan persyaratan konkrit yang sangat lemah, khususnya dengan latar belakang kepentingan ekonomi dan geopolitik yang terpengaruh dan terkendala oleh Komunis Tiongkok, negara yang mengklaim Laut China Selatan lainnya tidak memiliki banyak hak suara, mayoritas lebih menggantungkan harapan adanya campur tangan negara besar Barat. 

Dengan kata lain, konflik Laut China Selatan sepertinya sulit diuraikan, tapi sebenarnya berimbang secara unik.

Kecuali kekuatan AL Komunis Tiongkok, dapat meningkat sehingga mampu adu otot dengan AS, atau pihak AS berencana memblokir pelayaran laut Tiongkok di Laut China Selatan, jika tidak maka dalam kurun waktu yang relatif panjang, konflik antara kedua kekuatan utama ini dalam hal kepentingan utamanya tidak mungkin akan terjadi konfrontasi langsung. Dan, cenderung akan mempertahankan kondisi saat ini, menjamin pelayaran di Laut China Selatan tetap berlangsung normal. Jika demikian, mengapa sandiwara Whitson Reef ini dimainkan?

Menurut informasi resmi Komunis TIongkok, pihaknya telah secara resmi menempatkan pasukan militernya pada 7 pulau karang utama di sekitar Kepulauan Spratly, ketujuh pulau utama tersebut meliputi Fiery Cross Reef, Gaven Reef, Subi Reef, Cuarteron Reef, Johnson South Reef, Hugh Reef, dan Mischief Reef.

Menurut media partai yakni surat kabar Global Times yang mengutip pernyataan (naskah asli) pakar militer Komunis Tiongkok bernama Li Jie, Kepulauan Spratly dan juga Kepulauan Paracel serta Kepulauan Pratas membentuk segitiga besar yang sangat penting. Media massa Komunis Tiongkok, mempropagandakannya sebagai segitiga besar Laut China Selatan dan segititga strategis Kepulauan Spratly. 

Yang dimaksud segitiga besar Laut China Selatan mencakup: Pulau Woody (Kepulauan Paracel) – Scarborough Shoal (Kepulauan Zhongsha) – Subi Reef (Kepulauan Spratly); sedangkan yang dimaksud dengan segitiga kecil Kepulauan Spratly mencakup: Fiery Croos Reef – Mischief Reef – Subi Reef.

Dari peta foto Laut China Selatan dapat diketahui, Whitson Reef (Whitsun Reef) yang menyulut sorotan, terletak di timur laut dari Union Banks and Reef di Kepulauan Spratly, berada di dalam segitiga kecil Kepulauan Spratly. 

Setiap gerak gerik di Whitson Reef, baik untuk mengumpulkan data. Maupun mereklamasi laut membuat pulau, sebenarnya tidak memiliki makna yang besar bagi strategi Komunis Tiongkok di Laut China Selatan, paling-paling hanya sekedar menambahkan sedikit kemudahan. 

Sementara Scarborough Shoal dan lain- lain yang memiliki posisi militer yang lebih penting bagi Komunis Tiongkok, walaupun telah dikuasainya bertahun-tahun, tapi tidak pernah ada aktivitas reklamasi yang cukup besar.

Berdasarkan pemberitaan The Epoch Times mengenai fakta Laut China Selatan yang diungkap oleh seorang ahli siasat Komunis Tiongkok yakni Jin Canrong pada 2016, lima tahun silam Jin Canrong telah memperkirakan Komunis Tiongkok, akan mereklamasi Pulau Scarborough Shoal pada 2018. Bahkan, menjadikan Laut China Selatan sebagai laut pedalamannya. 

Yang menyebabkan hingga kini tidak ada pergerakan yang berarti, jelas tidak seperti yang disebut-sebut media massa Tiongkok, bahwa kekurangan akan peralatan reklamasi. Melainkan, karena Komunis Tiongkok tidak berani melakukan tindakan yang dipandang AS akan mengubah stabilitas di perairan tersebut.

Jadi, peristiwa di Whitson Reef tidak mungkin merupakan suatu aksi pergerakan Komunis Tiongkok, yang terungkap secara tidak disengaja. Melainkan kemungkinan merupakan serigala perang Komunis Tiongkok yang sengaja menguji AS, dengan secara sengaja mengungkap aktivitasnya. Bahkan, dalam hal ini juga sengaja dipilih pulau karang yang tidak strategis yang tidak mudah mengusik AS.

AS juga dengan segera memberikan respon. Menlu AS Blinken pada 24 Maret lalu di markas besar NATO menyampaikan pidato yang menyebutkan, Komunis Tiongkok telah mengancam kebebasan pelayaran di Laut China Selatan, aliansi harus diperkuat untuk memastikan keamanan Laut Timur dan Laut China Selatan.

Sebelumnya, Menlu AS Blinken pada hari kedua setelah menjabat langsung menelepon Menlu Filipina pada 27 Januari lalu, untuk meluruskan kembali pentingnya aliansi AS dengan Filipina. 

Menurut berita di VoA, dalam pembicaraan di teleponnya Blinken menegaskan, kesepakatan pertahanan bersama AS-Filipina jelas sangat sesuai diterapkan di Laut China Selatan. Di  Asia, AS telah menandatangani perjanjian aliansi pertahanan militer dengan Jepang, Korea Selatan, dan juga Filipina.

Menganalisa sampai di sini, motivasi dari tindakan Komunis Tiongkok di Laut China Selatan jelas terbaca. Kemungkinan merupakan pengujian sekaligus serangan tipuan, yang bersifat sekali dayung dua pulau terlewati. (lie)

Video Rekomendasi :

FOKUS DUNIA

NEWS