Eva Fu
Hari-hari di Beijing selalu sedikit berdebu dan berwarna abu-abu dalam ingatan Zhang Yijie.
Hari itu adalah hari yang tidak berbeda. Seorang wanita, kepala divisi di Kementerian Perdagangan Luar Negeri dan Kerjasama Ekonomi Tiongkok, ia baru saja pulang dari perjalanan bisnis selama sebulan di Jerman. Hari sudah sore, tidak ada waktu untuk menyia-nyiakannya. Segera ia meletakkan kopernya, melewatkan makan siang, ia langsung menelepon.
Ia sangat ingin bergabung dengan kelompok teman-temannya, yang bersama-sama mempelajari ajaran-ajaran dan latihan-latihan meditasi Falun Gong setiap hari.
Tetapi tidak seorang pun ditemukan.
Kemudian, sebuah panggilan telepon mendesak berdering dari direktur Zhang Yijie bernama Shi Guangsheng kepada suaminya, yang juga bekerja di kementerian tersebut. Shi Guangsheng berlari ke ruangan lain, menutup pintu di belakangnya.
Semua ini membuat Zhang Yijie merasa tidak nyaman. Berdiri berjingkat di luar pintu tersebut, Zhang Yijie mendengar sekelompok praktisi Falun Gong telah pergi ke Zhongnanhai, kompleks kepemimpinan teratas Partai Komunis Tiongkok.
Pergi ke unjuk rasa tersebut dan memberitahukan kepada semua staf Kementerian Perdagangan Luar Negeri dan Kerjasama Ekonomi Tiongkok yang ingin menghadiri acara itu untuk segera pergi, sang direktur memberitahu suaminya.
Hari itu, 25 April 1999, pada akhirnya dihadiri sekitar 10.000 praktisi Falun Gong dari seluruh Tiongkok yang berkumpul, di sepanjang tembok merah yang mengelilingi kompleks pemerintahan tersebut di Jalan Fuyou. Bertujuan untuk memohon hak-hak mereka untuk bebas berlatih Falun Gong, yang juga dikenal sebagai Falun Dafa.
Pertama kali diperkenalkan ke masyarakat pada tahun 1992, latihan spiritual Falun Gong disebarkan dari mulut ke mulut di seluruh Tiongkok, di mana antara 70 juta dan 100 juta orang Tiongkok berlatih Falun Gong pada tahun 1999.
Para praktisi Falun Gong terlihat sedang berlatih latihan meditasi yang lambat setiap pagi di taman di seluruh Tiongkok. Namun para praktisi mulai merasakan semakin banyak tekanan dari pihak berwenang dalam beberapa tahun terakhir, di mana buku-buku praktik Falun Gong dilarang untuk didistribusikan, program milik negara Tiongkok meluncurkan propaganda yang memfitnah Falun Gong. Bahkan, biro keamanan masyarakat Tiongkok meminta sebuah penyelidikan yang menyeluruh mengenai Falun Gong.

Rezim Tiongkok kemudian menggambarkan peristiwa 25 April, sebagai sebuah unjuk rasa provokatif untuk membenarkan sebuah kampanye penganiayaan habis-habisan yang menargetkan Falun Gong, yang diluncurkan pada bulan Juli pada tahun yang sama — dan yang berlanjut hingga saat ini.
Tetapi Zhang Yijie, yang segera beranjak dengan sepedanya dan bergegas menuju Zhongnanhai, melihat tidak ada yang mengancam mengenai sikap para praktisi Falun Gong saat itu. Dengan bangga, Zhang Yijie dan banyak orang lainnya yang berada di Zhongnanhai mengingat barisan-barisan praktisi Falun Gong yang panjang dan lurus, serta rapi di sepanjang jalan itu. Banyak praktisi Falun Gong yang sedang membaca buku atau bermeditasi. Beberapa praktisi Falun Gong, sambil memegang kantong plastik, berkeliling untuk mengumpulkan sampah dari para pengunjuk rasa.
Seseorang merasa berbeda saat berada di antara kerumunan yang begitu damai, kata Zhang Yijie.
“Kapan anda melihat petisi seperti ini? jalur-jalur pejalan kaki dan jalan utama semuanya adalah bersih. Tidak ada teriakan sama sekali, tidak ada secarik kertas tergeletak di tanah,” ujar Zhang Yijie, yang kini menetap di Amerika Serikat, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan The Epoch Times.
Shi Caidong, yang sedang menyelesaikan gelar master di Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok milik negara pada saat itu, adalah salah satu dari tiga delegasi yang bertemu dengan Perdana Menteri Zhu Rongji pagi itu untuk menjelaskan permintaan-permintaan mereka.
Zhu Rongji menegaskan kembali dukungannya untuk kebebasan berkeyakinan bagi para pengunjuk rasa. Ia mengatur empat pejabat untuk bertemu dengan pengunjuk rasa, termasuk wakil sekretarisnya dan direktur biro petisi Tiongkok.

Ketiga delegasi itu mengirimkan tiga permintaan utama: membebaskan puluhan praktisi Falun Gong dekat kota Tianjin yang telah dipukuli dan ditahan dua hari sebelumnya, untuk mengizinkan penerbitan buku-buku Falun Gong, dan memulihkan sebuah lingkungan di mana para pengunjuk rasa dapat berlatih di depan umum tanpa rasa takut.
Para pejabat menerima beberapa salinan dari buku utama latihan ajaran Falun Gong, yaitu “Zhuan Falun,” dan berjanji untuk menyampaikan situasi tersebut ke kepemimpinan teratas Partai Komunis Tiongkok.
Massa berangsur-angsur bubar di malam hari saat tersiar kabar bahwa para praktisi Tianjin telah dibebaskan.
“Jika ‘pengepungan’ itu adalah nyata, apakah Zhu Rongji tampak begitu tenang saat ia keluar menemui para pengunjuk rasa? ” Shi Caidong berkata, membantah karakterisasi media pemerintah mengenai acara itu.
Ketegangan-ketegangan meningkat di sore hari, saat polisi anti huru-hara muncul, membawa senapan, tetapi tidak ada pengunjuk rasa yang bergerak, menurut Kong Weijing, delegasi lain.
Zhang Yijie bertahan sampai hari gelap dan pergi dengan tenang setelah sebagian besar pemohon petisi bubar.
Beberapa praktisi Falun Gong dengan pengetahuan orang dalam kemudian mengatakan kepada Zhang Yijie, bahwa awalnya rezim Tiongkok bersiap untuk menggunakan kekerasan pada para pengunjuk rasa di malam hari. Zhang Yijie memuji ketenangan luar biasa dari kerumunan para pengunjuk rasa untuk menghindari kemungkinan terulangnya pembantaian Lapangan Tiananmen — penindasan berdarah rezim Tiongkok terhadap mahasiswa pengunjuk rasa, yang berlangsung di jalan tersebut satu dekade sebelumnya.
“Rezim Tiongkok tidak dapat menemukan alasan untuk melakukan tindakan keras,” kata Zhang Yijie.
Berpegang pada Apa yang Benar
Hari kedua setelah pertemuan itu, perintah-perintah resmi dikirim ke perusahaan-perusahaan di seluruh Tiongkok. Isinya memperingatkan warga biasa mengenai apa yang telah terjadi.
Ini adalah pertama kalinya Luan Shuang, seorang wanita direktur sumber daya manusia pada sebuah perusahaan transportasi di kota Shenzhen, mendengar mengenai Falun Gong.
Bertahun-tahun sebelumnya, Luan Shuang, yang saat itu masih kuliah, sangat terkejut mengetahui bagaimana caranya rezim Tiongkok menembak mati para pemuda yang tanpa bersenjata di Lapangan Tiananmen. Dengan pembunuhan brutal yang masih segar dalam ingatannya, ia tersentuh oleh keberanian para praktisi Falun Gong untuk maju.

Demikian juga untuk gerakan politik lainnya, Luan Shuang, seperti orang-orang lain, harus menyerahkan janji-janji tertulis kepada atasannya untuk menjauhkan diri dari insiden tersebut. Bahkan, menyatakan adalah salah untuk melakukan unjuk rasa atau parade di Beijing.
“Tidak ada yang mau pergi sama sekali, Saya tidak akan pergi bahkan jika mereka memberi saya bonus untuk berunjuk rasa — bukankah hal itu akan mengakhiri karier anda sendiri?” kata Luan Shuang. Ia ingat ia berpikir seperti itu pada saat itu.
Bertekad untuk mencari tahu mengapa orang-orang mau mengambil risiko seperti itu, Luan Shuang meminta sebuah buku Falun Gong dari seorang rekan kerja yang kebetulan adalah seorang praktisi Falun Gong. Setelah membaca buku tersebut sekali, Luan Shuang memutuskan untuk berlatih Falun Gong.

Luan Shuang menggambarkan nilai-nilai yang ditekankan dalam buku itu sebagai seberkas cahaya ke dalam hidupnya yang “kacau.”
“Kini saya tahu bahwa saya dapat menggunakan standar ‘Sejati, Baik, dan Sabar’ untuk mengevaluasi segala sesuatu, jadi selama ada sesuatu yang benar, saya berpegang teguh padanya hingga akhir,” kata Luan Shuang, mengacu pada inti prinsip Falun Gong.
Pembalasan
Terlepas dari sikap damai para pejabat pada 25 April, rezim Komunis Tiongkok menganggap popularitas Falun Gong sebagai sebuah ancaman. Hingga memulai sebuah kampanye di seluruh Tiongkok hanya dalam waktu tiga bulan berikutnya, yang bertujuan untuk meniadakan Falun Gong.
Bertahun-tahun sejak itu, beberapa juta praktisi Falun Gong ditahan karena mempertahankan keyakinannya, menurut perkiraan dari Pusat Informasi Falun Dafa. Tidak diketahui jumlah praktisi Falun Gong yang telah dibunuh dengan menggunakan berbagai bentuk penyiksaan.
Setelah bertemu dengan Perdana Menteri Tiongkok selama pertemuan itu, Shi Caidong menjadi sasaran Komite Partai Komunis Tiongkok di tempat kerjanya, yang mulai memantau kegiatan-kegiatannya. Para petugas penegak hukum menyisir berkas-berkas mengenai masa lalu Shi Caidong pada malam itu juga, meskipun mereka tidak menemukan masalah apa pun.
Zhang Yijie, pejabat perdagangan luar negeri, harus menanggung penderitaan yang hebat. Lebih dari tujuh tahun, ia mengalami tujuh penangkapan dan menghabiskan 28 bulan di kamp kerja paksa, di mana ia dipukuli, kelaparan, dicekok makan paksa, dan dilarang tidur — paling lama ia pernah bekerja selama 42 hari tanpa henti.
Saat sesi yang melelahkan itu berakhir, rambutnya beruban dan gigi-giginya rontok. “Fakta bahwa saya selamat adalah bukti keajaiban Falun Dafa,” kata Zhang Yijie.
Hal ini adalah sangat kontras dengan kehidupan sebelum penganiayaannya, saat Zhang Yijie memegang sebuah pos pemerintah yang menguntungkan dan memiliki keluarga yang sempurna, di mana ia memiliki seorang putri dan seorang putra yang akan kuliah di perguruan tinggi.
“Banyak orang dapat bekerja seumur hidup tanpa mencapai tempat saya berada,pada saat itu, jika saya setuju untuk berhenti berlatih Falun Gong, saya tidak akan kehilangan apapun,” kata Zhang Yijie.
Luan Shuang, yang masih baru berlatih Falun Gong, menghadapi pilihan yang sama memilukan. Sesaat berusia 34 tahun, ia menjalani kisah profesional yang sukses, menikmati kehidupan yang tidak diimpikan oleh banyak orang seusianya. Ia baru saja pindah ke rumah di tepi pantai seluas 400 meter persegi, siap untuk menikmati hasil kerja kerasnya.
Luan Shuang dapat berlatih diam-diam di dalam rumahnya tanpa membiarkan siapa pun tahu. Atau ia dapat mengungkapkan pikirannya dan mempertaruhkan semuanya.
Luan Shuang memilih mempertaruhkan semuanya.
Pada tahun 2001, sang direktur sumber daya manusia itu pergi ke Lapangan Tiananmen untuk memprotes penganiayaan itu — persis dua tahun sebelumnya di mana ia mengatakan bahwa ia “tidak akan pergi bahkan jika mereka memberi saya bonus” untuk berunjuk rasa.
Luan Shuang dijebloskan ke berbagai pusat penahanan dan mengalami hukuman penyiksaan selama tiga bulan. Dia tidur di atas selimut yang ia duga tidak pernah dicuci karena mengeluarkan bau yang menyengat. Meskipun ia tidak dipukuli, ia bekerja berjam-jam tanpa istirahat, membuat lampu-lampu Natal hingga jari-jari tangannya tidak dapat diluruskan setelah kerja shift berakhir.
Luan Shuang berhasil keluar dalam keadaan sebagian besar utuh, tetapi para praktisi Falun Gong yang lain tidak seberuntung itu. Seorang tahanan memberitahunya, bahwa praktisi Falun Gong lainnya, adalah seorang guru bahasa asing dari kota yang sama dengan Luan Shuang, menjadi gila di tempat penahanan itu.
Partai Komunis Tiongkok juga mengeluarkan Luan Shuang dari keanggotaannya, meniadakan hak ekonomi dan politik yang terkait dengan Partai Komunis Tiongkok. Perusahaan tempat ia bekerja. mengadakan sebuah “pertemuan pengecaman” untuk mengumumkan pengusirannya. Dalam pertemuan tersebut, Luan Shuang dibuat untuk menanggung aliran-aliran kritik yang tiada habisnya mengenai keyakinan terhadap Falun Gong dari atasan perusahaan.
Luan Shuang mempertahankan senyum yang cerah saat atasannya mengumumkan keputusan itu di depan puluhan rekannya.
“Partai Komunis Tiongkok yang jahat ini tidak dapat mentolerir orang baik. Bahkan jika anda tidak mengeluarkan saya, saya pun harus keluar dari sini,” kenang Luan Shuang mengenai peristiwa saat itu.
Meskipun perusahaan tempat ia bekerja tidak langsung memecatnya, Luan Shuang diberi pekerjaan-pekerjaan paling rendah. Akhirnya Luan Shuang mengajukan pengunduran diri.
Tidak Ada Penyesalan
Menceritakan perjalanan mereka lama setelah menetap di Amerika Serikat, para praktisi Falun Gong memancarkan suasana ketenangan yang tidak sesuai dengan penderitaan masa lalunya.
Mereka membuat pilihan yang tepat, kata mereka.
“Keyakinan akan kebenaran, saat ditiadakan dari sebuah emosi menjadi sebuah rasional, melampaui penderitaan apa pun,” kata Zhang Yijie, yang melarikan diri melalui Thailand pada tahun 2006.

Zhang Yijie melihat hidupnya sebagai sebuah ‘dongeng’ kehidupan. “Apapun cobaan dan keadaannya, saya telah melihat semuanya dan telah melalui semuanya,” kata Zhang Yijie.
Pada 18 April, mereka berkumpul bersama dengan sekitar 1.000 praktisi Falun Gong lainnya di New York untuk pawai dan rapat umum, untuk memperingati demonstrasi bersejarah perlawanan damai dan untuk “mengatakan tidak” pada penindasan Partai Komunis Tiongkok yang terus-menerus terhadap keyakinannya, kata mereka.
“Jika semua orang seperti yang hadir pada seruan 25 April, masyarakat Tiongkok akan menjadi lebih baik, karena 25 April inilah..… Saya akhirnya menjadi salah satu dari orang-orang baik yang membela keadilan, yang saya cita-citakan sejak saya masih muda,” kata Luan Shuang, tersenyum seperti 20 tahun yang lalu. (Vv)