Lukisan si Jenius Rembrandt: The Night Watch

Jani Allan

Beberapa lukisan yang hampir semua orang di dunia Barat tahu: “Monalisa” karya Leonardo da Vinci, “The Baptism of Christ” karya Piero della Francesca, dan “The Night Watch” karya Rembrandt van Rijn. Mereka adalah bagian dari bahasa visual Barat. Ini adalah gambar yang bisa kita temui di handuk, kaos oblong, penutup ponsel, dan magnet lemari es.

Nama Rembrandt telah menjadi sinonim untuk kemegahan. Ada restoran  Rembrandt, hotel Rembrandt, bahkan pasta gigi Rembrandt.

Sejarawan seni Stephanie Dickey mencatat dalam “Rembrandt and His Circle” bahwa “ia membimbing generasi pelukis lain dan menghasilkan karya yang tidak pernah berhenti menarik kekaguman, kritik, dan interpretasi. Kritikus sastra telah merenungkan ‘Rembrandt’ sebagai ‘teks budaya’; novelis, penulis drama, dan pembuat film telah romantisme hidupnya.”

Rijksmuseum, bisa dibilang museum seni paling bergengsi di Belanda, telah ditutup untuk direnovasi, mulai dari Desember 2003 hingga 2013. Untuk mengiklankan pembukaan kembali, museum tersebut membuat pertunjukan drama flash mob unik yang diambil dari lukisan “The Night Watch” Rembrandt van Rijn di YouTube (https://www. youtube.com/watch?v=a6W2ZMpsxhg). Judul videonya adalah “Onze helden zijn terug!” (“Pahlawan kita kembali!”).

‘The Night Watch’

Mengapa lukisan “The Night Watch” (Penjaga Malam) karya Rembrandt, khususnya, sangat ikonik? Mengapa menjadi terkenal segera setelah lukisan selesai dibuat pada tahun 1642?

Lukisan itu, yang membutuhkan waktu tiga tahun untuk menyelesaikannya, adalah puncak dari Zaman Keemasan Belanda abad ke-17 dan sangat menawan. Ukuran lukisan sebesar 3,8 meter kali 4,5 meter.

Lukisan itu dibuat sekitar tahun 1639 untuk Kapten Banninck Cocq dan 17 penjaga milisi sipilnya, atau kloveniers.

Hingga pertengahan 1940-an, karya itu dilapisi dengan pernis gelap yang memberi kesan menggambarkan pemandangan malam. Setelah dibersihkan, malam berubah menjadi

sinar keemasan yang menyinari sang kapten dan letnannya, seolah-olah menjadi sorotan utama. 

Judulnya “The Night Watch” tetap dipertahankan, karena jenis penggambaran lukisan  semacam  ini adalah hal yang umum, sedangkan untuk judul “Kompi Milisi Distrik II di bawah Komando Kapten Frans Banninck Cocq”, dirasa kurang begitu berkesan.

Anggota  milisi  tersebut  adalah para relawan. Mereka terdiri dari bankir, pengacara, pengusaha, dan pedagang, yang menginginkan foto kelompoknya digantung di ruang perjamuan mereka di Amsterdam.

Tapi Rembrandt melakukan sesuatu yang revolusioner. Alih-alih potret kelompok tersebut, dia malah membuatnya menjadi kontes. Artinya, alih-alih memberikan  keunggulan yang sama kepada setiap milisi, ia seolah-olah menciptakan sebuah Polaroid raksasa. Polaroid itu dijepret tepat saat kompi itu sedang bergerak. Pada saat ini, tidak semua orang mendapat kepentingan yang sama.

Rembrandt telah melukis sebuah karnaval dengan semua kebisingan dan drama dari orang-orang yang ambil bagian. Seseorang sedang menembakkan senapan, anak- anak berlarian, ada seseorang yang   memainkan   drum,  dan seekor  anjing  sedang  menggonggong.  Adegan  itu  adalah sebuah tableux vivant (dari bahasa    Prancis,    bermakna gambar  hidup),  penuh  gerak dan aksi.

Bisa dibayangkan apabila lukisan ini memiliki soundtrack.

Teknik Seorang Jenius

Kejeniusan Rembrandt adalah cara dia menggabungkan beberapa genre. Terkenal karena  kepiawaiannya  sebagai juru potret (ada potret dirinya yang sedang mengintip dari balik bahu seorang milisi), Rembrandt juga memasukkan unsur alegori, lukisan sejarah, kehidupan sehari-hari, dan simbolisme.

Adapun simbolisme, Kapten kompi klovenier, Banninck Cocq, harus mengenakan selempang biru, seperti yang dikenakan oleh para milisi sipil lainnya. Namun, selempang Kapten itu justru berwarna merah; dikombinasikan dengan pakaian hitam, manset putih, dan kerah kerut dileher, kostumnya melambangkan warna Kota Amsterdam.  Sedangkan si Letnan mengenakan seragam flamboyan berwarna emas dengan aksen biru — warna milisi sipil. Pesannya jelas: Fungsi milisi sipil adalah melindungi Kota Amsterdam.

Rembrandt   menggunakan  Chiaroscuro (teknik   pencahayaan   dan   bayangan   dalam menggambar  dan  melukis)  teatrikal  sehingga lukisan  itu  tampak  seperti  diterangi  lampu sorot panggung. Ada berkas cahaya keemasan dan bayangan dramatis yang dalam.

Metode Rembrandt untuk mencapai efek tiga dimensi di zamannya, begitu dikagumi dalam lukisan “The Night Watch”. Ia menggunakan sapuan kuas kasar di latar depan lukisan dan menjadi lebih halus secara bertahap ke arah latar belakang. Teknik impasto-nya — cat tebal dan sapuan kuas yang tebal digabungkan dengan kehalusan dan kelembutan yang luar biasa — menjadikan ini karya jenius yang tak tertandingi.

Ketenaran dan Ketidakjelasan

Kisah Rembrandt sendiri adalah Shakespeare. Ini adalah kisah tentang kekayaan dan kemiskinan, cinta, kesedihan, tragedi, dan keputusasaan pribadi. Dia dan istrinya, Saskia, kehilangan anak pertama mereka dua bulan setelah lahir. 

Dua bayi  berikutnya  masing- masing hanya hidup selama beberapa minggu. Saskia meninggal pada 1642. Teman tahun- tahun terakhirnya, Hendrickje Stoffels, juga mendahului dia.

Perubahan selera dalam lukisan melanda Eropa. Orang-orang tertarik dengan pastel Rokoko yang  glamor dan gemerlap. Mereka menganggap karya lukisan Rembrandt terlalu gelap. 

Ketika Rembrandt meninggal pada 1669, dia dimakamkan di kuburan orang miskin.

Tapi untungnya, pada tahun 1875 dia kembali dihormati.

Kehidupan dan seninya menarik pengetahuan interdisipliner yang mencakup psikologi, studi Yahudi, anatomi, filsafat, estetika, dan teologi. Dia menganggap Alkitab sebagai buku terbesar di dunia.

Jika Rijksmuseum adalah katedral seni, maka “Night Watch” adalah altarnya. (jen)

Jani  Allan  Adalah  Seorang  jurnalis,  kolumnis, penulis, dan penyiar.

FOKUS DUNIA

NEWS