Frank Yue
Otoritas Hong Kong dan Makau melarang orang-orang berpartisipasi dalam acara mengenang aksi protes pro-demokrasi Lapangan Tiananmen 1989, beberapa hari sebelum tibanya 4 Juniāhari paling bersejarah ketika para pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) membantai pengunjuk rasa anti rezim.
Pada 1 Juni, pemimpin Hong Kong Carrie Lam menekankan selama konferensi pers bahwa semua agensi, kelompok, outlet media, dan sekolah harus mematuhi Undang-Undang Keamanan Nasional yang diberlakukan Beijing saat tibanya peringatan 4 Juni.
Ketika ditanya apakah warga diizinkan di bawah UU yang kejam untuk meneriakkan slogan seperti āAkhiri Aturan Satu Partai,ā Lam mengelak dari pertanyaan tersebut. Sebaliknya, dia menjawab bahwa seharusnya tak ada kegiatan yang bertentangan dengan Konstitusi Tiongkok di Hong Kong.
Pada saat yang sama, otoritas Hong Kong pro-Beijing melarang Aliansi Hong Kong untuk Mendukung Gerakan Demokratik Patriotik Tiongkok menggelar acara nyala lilin tahunan di Victoria Park pada 29 Mei. Bahkan, memblokir aksi demonstrasi untuk mengenang peringatan ke-32 pembantaian 4 Juni di Lapangan Tiananmen.
Meski demikian, aktivis Alexandra Wong, warga senior lokal berambut putih, ditangkap oleh sekelompok besar petugas polisi dengan tuduhan āpertemuan tidak sahā pada 31 Mei, saat dia terlihat seorang diri di Southorn Playground di Wan Chaiātitik awal dari rute parade yang diusulkan.
Ketika itu, ia memegang tanda protes dan berencana berjalan di jalur terlarang menuju Kantor Penghubung Pemerintah Pusat Rakyatāotoritas tertinggi Partai Komunis Tiongkok di Hong Kong. Dia dibebaskan setelah sempat semalam ditahan.
Pada hari yang sama, John Shum, seorang aktivis sosial terkenal, produser film, dan komentator, meminta sesama warga Hongkong untuk menunjukkan pendirian mereka dalam sebuah wawancara dengan pakar studi internasional Simon Shen.
āKita harus setia pada hati nurani kita, tidak peduli apa yang terjadi pada Hong Kong atau tekanan apa pun yang mungkin kita hadapi,ā kata Shum. Dia menyarankan warga Hongkong memegang lilin di dekat jendela mereka pada malam 4 Juni sebagai ekspresi pikiran mereka.
“Hati nurani tak akan pernah ditaklukkan, tidak ada kekuatan negara yang dapat mencegah saya untuk memperingati insiden itu,ā ujarnya.
Chen Qinghua, mantan anggota Federasi Mahasiswa Hong Kong (HKFS) dan saksi pembantaian 4 Juni di Beijing, mengatakan kepada The Epoch Times dalam sebuah wawancara pada 28 Mei, āLogika penyeimbangāpemisahan kekuasaan yang kebarat-baratan di antara berbagai institusiā hancur total di Hong Kong meskipun sangat berharga di sini dalam sejarah.ā
Dia mengatakan bahwa aksi protes mahasiswaābaik demonstrasi atau mogok makanāsemuanya bersifat sukarela, dan tak pernah dihasut oleh orang lain, atau seperti yang diklaim rezim ada āpermusuhan dari kekuatan asing.ā
Dengan diterapkannya, Undang-Undang Keamanan Nasional Beijing, kebebasan yang sebelumnya dinikmati oleh warga Hongkong menjadi semakin terkikis.
Pada 6 Mei, sebanyak 26 aktivis pro-demokrasi yang berpartisipasi dalam aksi tahun lalu dijatuhi hukuman empat hingga 10 bulan penjara dengan tuduhan āmengambil bagian dalam pertemuan yang tidak sah.ā Mereka termasuk aktivis Joshua Wong, Lester Shum, Tiffany Yuen Ka-wai, dan Jannelle Rosalynne Leung.
Makau
Di bekas jajahan Spanyol di Makau, polisi untuk pertama kalinya menetapkan setiap peristiwa terkait Tiananmen sebagai “menghasut subversi kekuasaan negara” dalam balasan 25 Mei kepada Macao Union for Democratic Development.
Au Kam San, mantan anggota Majelis Legislatif Makau, mengatakan kepada The Epoch Times pada 29 Mei bahwa polisi kini mengklaim acara nyala lilin untuk mengenang insiden 4 Juni bertentangan dengan hukum pidana.
Dia mengatakan, sebuah tindakan konyol untuk menyatakan kegiatan yang sudah digelar selama 30 tahun terakhir sebagai āilegal,ā sementara itu hukum pidana yang dikembangkan pada tahun 1995 tetap tidak berubah.
Secara historis, penduduk Hong Kong dan Makau memberikan dukungan moral dan finansial yang luar biasa kepada para pengunjuk rasa Lapangan Tiananmen selama kampanye demokrasi di Tiongkok.
Pada 21 Mei 1989, sehari setelah Partai Komunis Tiongkok membersihkan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Zhao Ziyang, yang bersimpati dengan pengunjuk rasa, dan mengumumkan darurat militer di Beijing, pawai yang belum pernah terjadi sebelumnya terjadi di Hong Kong, menarik lebih dari 1 juta orang untuk mendukung mahasiswa pro-demokrasi di Beijing.
Sebagai penyelenggara demonstrasi Hong Kong, Lee Cheuk-Yan, mantan Anggota Dewan Legislatif (LegCo), mengatakan kepada BBC berbahasa Mandarin pada tahun 1999: āHanya ketika Tiongkok menikmati demokrasi dan kebebasan, Hong Kong dapat memperoleh perlindungan terbaik.ā
Setelah Beijing melancarkan tindakan berdarah terhadap pengunjuk rasa pada 3-4 Juni 1989, warga Hong Kong menyumbangkan uang untuk meluncurkan “Operasi Burung Kuning” secara diam-diam, tujuannya menyelamatkan aktivis demokrasi yang dicari atau dianiaya dari daratan Tiongkok.
Warga di Makau juga menunjukkan dukungan mereka untuk aksi protes di Beijing.
Pada sore hari 4 Juni 1989, hampir 200.000 penduduk Makauāsetengah dari warga setempat pada saat ituāturun ke jalan dan meluncurkan demonstrasi menentang pembunuhan partai Komunis Tiongkok terhadap warga sipil untuk demokrasi. Beberapa massa membakar gambar Deng Xiaoping, Li Peng, dan Yang Shangkun, yang bertanggung jawab untuk memerintahkan pembantaian ketika itu. (asr)