Li Yun
Laporan pengawasan keamanan terbaru yang dirilis oleh Departemen Kesehatan Hong Kong, dari Otoritas Rumah Sakit menyebutkan tentang kasus rawat inap yang awalnya dilaporkan pada (24/5/2021). Seorang pria berusia 58 tahun, menerima dosis kedua dari Vaksin Kexing CoronaVac buatan Sinovac Tiongkok pada 11 Mei. Pria itu meninggal dunia pada 28 Mei karena mati otak yang disebabkan oleh stroke.
Kasus ini akan dianalisis oleh Program Pengawasan Keamanan Vaksin Universitas Hong Kong.
Selain itu, Departemen Kesehatan menemukan kasus “Sindrom Guillain-Barre Syndrome (GBS). Pria berusia 65 tahun ini menderita mati rasa pada kakinya setelah lima hari setelah vaksinasi.
Guillain-Barré Syndrome (GBS) adalah neuropati non-infeksi yang langka. Penyakit ini biasanya merupakan komplikasi akut yang disebabkan oleh infeksi virus.
Sistem kekebalan tubuh pasien tak teratur, menyebabkan sel-sel kekebalan menyerang sistem saraf. Sehingga menyebabkan peradangan dan hilangnya fungsi saluran saraf.
Sebagian besar memengaruhi neuron motorik. Kadang-kadang saraf sensorik ikut terkena dan terkonsentrasi di sumsum tulang belakang dan sistem saraf perifer. Sehingga menyebabkan rasa sakit, kelumpuhan, dan otot melemah secara bertahap dan menyebabkan penyakit lainnya.
Menurut laporan, sangat jarang menyebabkan “sindrom GBS” setelah vaksinasi.Jika diagnosis dapat dibuat lebih awal dan perawatan tepat diterima, kondisi umumnya dapat diatasi. Jika terlambat diobati, dampaknya bisa meluas, tidak hanya membutuhkan waktu lama bagi pasien untuk sembuh dan pulih, tetapi kadang-kadang bisa berakibat kematian.
Sebelum ini, ada lebih dari 80 kematian setelah vaksinasi di Hong Kong.
Menurut data yang dirilis oleh Otoritas Rumah Sakit pada 3 Juni, ada 12 kematian baru dari 24 hingga 30 Mei, di antaranya 6 kasus kematian setelah masuk ke rumah sakit. Sebanyak 6 kasus kematian di ruang gawat darurat. Sehingga total 80 kematiaan. Rincian lainnya, ada terdapat 4 kasus baru keguguran setelah vaksinasi. Sehingga total sebanyak 23 kasus keguguran pada ibu hamil.
Dari 24 hingga 30 Mei 2021, terdapat 34 kasus stroke akut setelah vaksinasi dan 16 kasus infark miokard akut. Sebanyak 334 kasus stroke akut dan infark miokard akut (IMA) setelah divaksinasi.
Komite Ahli Vaksin Hong Kong mengatakan pada 1 Juni, bahwa antara 17 hingga 30 Mei 2021, Departemen Kesehatan menerima 14 laporan dugaan kelumpuhan wajah setelah vaksinasi. Melibatkan 10 pria dan 4 wanita, 4 orang yang divaksinasi dengan vaksin Kexing, dan 10 orang yang divaksin dengan vaksin BioNtech.
Hong Kong terutama memakai vaksin Kexing buatan Tiongkok dan vaksin BioNTech Jerman yang didistribusikan oleh Shanghai Fosun. Pada Februari, vaksin Kexing belum disetujui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Akan tetapi, segera disetujui oleh badan pengatur kesehatan Hong Kong.
Vaksin Kexing dimulai di Hong Kong pada 26 Februari, dan kasus kematian pertama terjadi pada hari berikutnya.
Pada saat yang sama, mereka yang divaksinasi mengalami gejala seperti jantung berdebar, ruam, kelelahan, pusing, tekanan darah tinggi, sakit kepala, kelumpuhan anggota tubuh bagian bawah dan sesak napas. Bahkan kelumpuhan wajah dan stroke.
Meskipun pemerintah Hong Kong telah dengan giat mempromosikan vaksinasi, orang-orang Hong Kong memiliki keraguan tentang vaksin dan rendahnya keinginan vaksinasi.
Menurut Otoritas Rumah Sakit, hanya sepertiga staf medis yang saat ini divaksinasi. Sekitar 19% dari warga menerima satu dosis vaksin. Sebanyak 14% dari warga menerima dua dosis vaksin.
Di negara-negara yang telah divaksinasi dengan vaksin Kexing dalam skala besar, seperti Chili, Pakistan, Turki, Brasil jumlah kasus yang dikonfirmasi tidak berkurang tetapi meningkat.”
Pakar vaksin Tiongkok, Tao Lina pernah memposting instruksi vaksin inaktif yang dikembangkan oleh Pharmaceutical Group di Internet pada Januari 2019. Isinya menyebutkan ada sebanyak 73 efek samping setelah vaksinasi, menjadikannya vaksin paling tidak aman di dunia.
Ada pakar dari Institute of Biomedical Sciences dari Academia Sinica, pernah mengungkapkan bahwa proses pembuatan “vaksin tidak aktif” adalah dengan membesarkan virus dan kemudian membunuhnya. Oleh karena itu, Taiwan tak akan pernah mengembangkan dan menggunakan “vaksin yang tidak aktif” ini.
Dr Lin Xiaoxu, ahli virus di bekas Institut Penelitian Angkatan Darat Walter Reed di Amerika Serikat, juga mengatakan bahwa proses produksi “vaksin tidak aktif” secara inheren berisiko. Pertama-tama, apakah semua virus ini akan mati? Kedua, dalam proses membunuh virus, banyak unsur kimia harus ditambahkan, apakah ini berbahaya bagi tubuh manusia atau memiliki efek samping? Ini semua menjadi pertanyaan.
Dengan kata lain, menyuntikkan vaksin virus dapat langsung memasukkan virus ke dalam tubuh manusia, atau menimbulkan beberapa efek samping. (hui)