Jalan Komersial Tersibuk di Shenzhen Ditutup Karena Wabah COVID-19

Alex Wu

Epidemi COVID-19 di Provinsi Guangdong terus memburuk. The Epoch Times mengetahui tentang salah satu jalan komersial tersibuk di kota besar Shenzhen baru saja ditutup karena terkait infeksi. Sementara itu, di ibukota Provinsi Guangdong yaitu kota Guangzhou, telah dilaporkan kekurangan makanan dan obat-obatan di daerah-daerah yang dikarantina.

Pada 2 Juni, postingan-postingan mengenai kasus COVID-19 di pasar grosir pakaian Baima di distrik Luohu, Shenzhen, beredar di media sosial Tiongkok. 

Postingan-postingan tersebut mengatakan bahwa pelanggan itu adalah seorang pengunjung dari Guangzhou. Hal tersebut menyebabkan sebuah jalan komersial utama — Mal Pejalan Kaki Gerbang Timur di mana pasar pakaian berada — ditutup.

Seorang pemilik toko di Mal Pejalan Kaki Gerbang Timur mengatakan kepada The Epoch Times, bahwa jalan komersial tersebut memiliki banyak pengunjung, dan kini semua toko di jalan komersial tersebut telah diminta untuk ditutup, di mana semua pelanggan diberitahu bahwa mereka harus menjalani uji COVID-19.

The Epoch Times memperoleh sebuah video yang menunjukkan jalan komersial tersebut dalam keadaan di-lockdown

Pada 2 Juni, Shenzhen melaporkan dua lagi kasus infeksi setempat yang menggunakan laporan kasus resmi menjadi 15 kasus, sementara 16 kasus setempat lainnya dilaporkan di Guangzhou yang  menggunakan laporan kasus resmi menjadi 58 kasus.

Jumlah sebenarnya dari orang-orang yang terinfeksi dan skala sebenarnya dari pandemi di Tiongkok masih belum jelas. Lockdown dan test skala-besar, telah menyebabkan banyak penduduk mencurigai angka infeksi yang dilaporkan secara resmi. Mengingat sejarah rezim komunis Tiongkok yang meremehkan atau merahasiakan krisis.

Seorang netizen memposting di Twitter bahwa teman-temannya di Guangzhou memberitahunya bahwa, banyak kasus tidak dilaporkan secara resmi. Akan tetapi, penduduk setempat dapat mengetahui situasi tersebut adalah lebih parah. Dikarenakan, pihak berwenang mengakui menerapkan semi-lockdown di Guangzhou. Sedangkan pihak berwenang pusat Partai Komunis Tiongkok mengirim sebuah tim epidemi khusus untuk mengunjungi Guangdong pada tanggal 30 Mei.

Pada 2 Juni, 38 area di Guangzhou di-lockdown, di mana perjalanan ke luar area dibatasi.

Beberapa orang juga meragukan keefektifan vaksin COVID-19 buatan Tiongkok, terhadap varian-varian yang dilaporkan dalam kasus-kasus wabah.

Menurut media pemerintah Tiongkok, per 31 Mei, 10,11 juta orang di kota berpenduduk 15,3 juta itu telah menerima vaksin pertama, dan 3,25 juta orang lainnya telah divaksinasi lengkap dengan dua dosis.

Seorang anggota staf dari Komisi Kesehatan Kota Shenzhen mengatakan kepada The Epoch Times, pada 25 Mei bahwa penduduk Shenzhen menerima vaksin CoronaVac dan Sinopharm buatan Tiongkok. Mereka mengatakan bahwa, seperti vaksin-vaksin yang bukan buatan Tiongkok, vaksinasi tidak menjamin perlindungan penuh dari COVID-19. Mereka menolak mengomentari kemanjuran vaksin-vaksin Tiongkok terhadap varian-varian COVID-19.

Direktur Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tiongkok, Gao Fu, juga mengatakan mengenai wabah baru-baru ini, bahwa vaksin-vaksin tidak digunakan untuk mencegah infeksi. Akan tetapi, digunakan untuk mencegah terjadinya gejala-gejala yang parah dan kematian. 

Gao Fu mengatakan sebelumnya dosis ketiga dari vaksin-vaksin buatan Tiongkok, mungkin diperlukan untuk meningkatkan kemanjurannya. Ia juga menyarankan, untuk mencampurkan vaksin-vaksin dari berbagai teknologi, seperti vaksin virus yang tidak aktif dengan vaksin mRNA.

Kekurangan Makanan dan Obat-obatan

Pada 2 Juni, sejumlah postingan beredar di media sosial mengenai kekacauan dan kesulitan yang dihadapi para penduduk di daerah yang dikarantina di Guangzhou.

Para penduduk di desa Jushu di distrik Liwan mengatakan kepada The Epoch Times, pada 2 Juni bahwa tidak ada pemberitahuan sebelum diberlakukan lockdown secara mendadak desa mereka pada 28 Mei. Orang-orang pergi bekerja di pagi hari dan mengetahui bahwa mereka tidak boleh meninggalkan desa itu. Sudah berlangsung selama enam hari, dan makanan, obat-obatan, dan susu formula untuk bayi adalah sangat kurang.

Zhao Li (samaran) mengatakan bahwa, semua toko di desa Jushu kehabisan stok, dan barang-barang tidak dapat dikirim masuk ke desa itu. Orang-orang hanya dapat membeli paket makanan dengan harga terlalu mahal, yang disediakan oleh Komite Partai Komunis Tiongkok di desa itu.

Seorang penduduk desa Jushu memposting di media sosial, “Sejauh ini, 90 persen dari kami belum menerima apa yang disebut makanan gratis dan pasokan-pasokan gratis yang disediakan oleh pihak berwenang. Kini, Komite Partai Komunis Tiongkok di desa Jushu sudah mulai menaikkan harga untuk jatah makanan, dan banyak orang yang terjebak di sini tidak mampu membeli sayur-mayur dengan harga mahal. Makan siang dalam kotak yang sebelumnya seharga 15 yuan, kini dijual seharga 60 yuan .”

Wang Hua, sebagai nama samaran, seorang wanita penduduk lainnya di desa Jushu, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa hingga kini, para pejabat Partai Komunis Tiongkok di desa itu belum secara efektif mengatur pasokan-pasokan makanan untuk masyarakat desa itu. 

Ia berkata, “Mereka hanya menerapkan lockdown di sini, dan tidak peduli jika kita ini hidup atau mati. Banyak orang yang biasanya tidak memasak tidak memiliki persiapan, dan kini mereka hanya makan bubur dan makanan ringan untuk bertahan hidup.”

Wang Hua menambahkan, “Saya pikir setelah setahun penuh memerangi epidemi, negara tidak akan membiarkan saya sampai pada situasi di mana saya tidak punya makanan untuk dimakan, jadi saya tidak menyimpan banyak makanan. Namun, saya telah menemukan bahwa semua supermarket dan pasar makanan telah ditutup. Dan, tidak ada orang yang memberitahu saya di mana saya dapat membeli makanan dan bagaimana saya dapat mendapatkan pasokan kebutuhan dasar. Saya hanya dapat mengandalkan diri saya sendiri.”

Wang Hua mengungkapkan kepada The Epoch Times, bahwa kekurangan obat-obatan adalah masalah serius lainnya yang dihadapi daerah-daerah yang dikarantina. Ia mengatakan bahwa kaki teman suaminya borok, berdarah, dan membutuhkan bantuan medis segera. Mereka telah menelepon layanan darurat, rumah sakit, apotek, dan semua saluran pejabat lainnya tetapi tidak menerima bantuan. Ketika mereka mencoba membeli obat secara online, pesanan mereka dibatalkan, karena tidak ada pengiriman yang diizinkan pada daerah-daerah yang di-lockdown. Kemudian, mereka memposting ke sebuah obrolan grup di media sosial untuk meminta bantuan. Seseorang dalam obrolan grup itu, memiliki gejala yang sama dan berbagi obatnya dengan mereka. (Vv)