Evakuasi Massal Warga Rusia dari Pyongyang, Situasi di Korea Utara Genting?

Korea Utara mungkin menghadapi kemunduran besar dalam perang melawan epidemi virus Komunis Tiongkok yang sedang berkecamuk.  Sejauh ini, Korea Utara telah mengklaim bahwa tidak ada kasus infeksi COVID-19 di negara itu, tetapi umumnya para ahli meragukan kebenaran pernyataan itu. 

Belakangan Kedutaan Besar Rusia di Pyongyang menyatakan bahwa mengingat fakta bahwa rencana promosi vaksin Korea Utara masih terhenti, Rusia memutuskan untuk mengevakuasi warganya dari Korea Utara.

Delegasi Rusia yang mengunjungi Korea Utara menuliskan status di Facebook pada Senin 5 Juli lalu bahwa sejumlah besar warga Rusia telah meninggalkan negara yang dipimpin Kim Jong un itu, dengan alasan situasi internal di Korea Utara terkait dengan virus Komunis Tiongkok.

“Pada 2 Juli, banyak rekan dan teman kami kembali ke negara asal mereka,” kata seorang pejabat kedutaan Rusia.

Menurutnya beberapa diplomat, dokter, dan teknisi telah hengkang. Sementara sekolah serta taman kanak-kanak telah ditutup.

“Kota Rusia di pusat Pyongyang … menjadi senyap. Namun, pekerjaan misi diplomatik belum berhenti. Kami akan terus menyelesaikan tugas yang dipercayakan kepada kami,” tambah pejabat Rusia itu. 

Kedutaan Besar Rusia tidak mengungkapkan jumlah spesifik keberangkatan warga negaranya yang meninggalkan Korea Utara. Kantor Berita Kyodo Jepang, pada Jumat 2 Juli lalu, menyatakan ada sekitar 90 warga Rusia meninggalkan Korea Utara melalui perbatasan darat antara kedua negara.

Kedutaan Besar Rusia menegaskan bahwa sejak kepemimpinan Korea Utara memberlakukan isolasi diri yang ketat, dan  perbatasan masuk telah diblokir secara ketat. Oleh karena itu, rotasi staf Rusia di Korea Utara tidak dilakukan selama hampir dua tahun. Setiap orang yang kontraknya berakhir terpaksa meninggalkan Korea Utara.

Pada pertemuan Politbiro pada Juni lalu, Pemimpin Korea Utara,  Kim Jong-un mengkritik pejabat senior karena ketidakmampuan mereka, tidak bertanggung jawab, dan sabotase pasif dalam merencanakan dan menerapkan langkah-langkah anti-virus epidemi. 

Pada Juni itu juga, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengutip data dari otoritas Pyongyang melaporkan bahwa Korea Utara mengalami “infeksi pernapasan akut yang parah.”

Rencana Pelaksanaan Vaksin Pneumonia Komunis Tiongkok (COVAX), yang didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, awalnya direncanakan pada bulan Februari, dan pada paruh pertama tahun ini. Korea Utara bisa menerima 1,9 juta dosis vaksin, tetapi rencana itu ditunda karena kekurangan pasokan vaksin global.

Karena negosiasi dengan COVAX mungkin menemui jalan buntu, Kementerian Luar Negeri Korea Utara mengklaim pada Selasa 6 Juli bahwa bantuan kemanusiaan mengganggu kedaulatan nasionalnya dan tidak boleh ditoleransi.

Menurut laporan dari Voice of America cabang Korea Selatan pada Minggu 4 Juli lalu, rezim Kim Jong Un menolak mengizinkan petugas kesehatan internasional memasuki negara itu untuk distribusi vaksin, yang merupakan persyaratan mekanisme COVAX Organisasi Kesehatan Dunia. 

Mengenai negosiasi yang sedang berlangsung antara COVAX dan Pyongyang, sebuah sumber yang mengetahui situasi tersebut mengatakan bahwa Korea Utara baru menyelesaikan 2 dari 7 prosedur administrasi yang diperlukan untuk memasok vaksin.

Menurut Kementerian Luar Negeri Korea Utara  bantuan dan kerja sama itu seperti “melempar umpan” dan awal dari “reformasi politik” yang ditujukan untuk Korea Utara. Namun Korea Utara sering menerima bantuan asing dalam mengatasi kekurangan pangan dan krisis kesehatan.

Meskipun Kim Jong Un menggambarkan situasi pangan sebagai “ketegangan” pada pertemuan politik pada Juni lalu, namun ia meminta para pejabat untuk mempersiapkan pembatasan jangka panjang. Hal itu menunjukkan bahwa Kim Jong Un tidak siap untuk membuka perbatasan dalam waktu dekat. 

Beberapa analis bahkan percaya bahwa “penguasa gemuk” yang bergelimang kemewahan, baru-baru ini tampaknya “menjadi kurus”, sebagian karena untuk mengalihkan kemarahan warga Korea Utara yang belum tercukupi kebutuhan pangan. (hui)