ERIC BESS
Pernahkah Anda mengalami saat-saat ketika Anda merasakan kemarahan muncul dari lubuk hati Anda? Mungkin seseorang melakukan sesuatu atau mengatakan sesuatu yang benar-benar membuat Anda marah, dan Anda bisa merasakan diri Anda akan melakukan sesuatu yang mungkin Anda sesali suatu hari nanti; tetapi justru sebaliknya, Anda bisa menghentikan diri sendiri.
Lukisan yang berjudul “The Wrath of Achilles” (Kemarahan Archilles) karya pelukis Prancis, Louis Edouard Fournier, mengingatkan saya bahwa ada kebijaksanaan dalam jenis pengekangan yang baru saja saya gambarkan.
Kemarahan Antara Achilles dan Agamemnon
Seperti yang dikatakan legenda, Achilles adalah prajurit yang tampaknya tak terkalahkan yang berjuang untuk Raja Agamemnon dan orang-orang Yunani dalam Perang Troya.
Achilles, efisien dalam pekerjaannya, menaklukkan 12 kota di sekitar Troy selama sembilan tahun pertama perang. Namun, Achilles dan Agamemnon tidak selalu akur. Dalam satu momen tertentu dalam mitologi Yunani, keduanya berselisih.
Pada tahun ke-10 perang, Agamemnon mengambil putri seorang pendeta Apollonian sebagai hadiah perang. Imam pergi ke Agamemnon untuk meminta kembalinya putrinya, tetapi Agamemnon menolak. Karena penolakan itu, sang pendeta berdoa kepada Dewa Apollo untuk mengutuk orang-orang Yunani dengan wabah. Setelah itu, wabah memang menghantui orang-orang Yunani.
Dewi Hera mengilhami Achilles untuk menyelidiki tentang sumber wabah. Semua orang Yunani percaya bahwa wabah itu suci, yaitu bahwa para Dewa sedang menghukum mereka. Seorang peramal memberi tahu Achilles bahwa Dewa Apollo-lah yang menyebabkan wabah tersebut, dikarenakan Agamemnon telah menahan putri pendeta Apollonian. Untuk menghentikan wabah, Agamemnon harus mengembalikan gadis itu dan melakukan ritual tertentu.
Setelah mendengar wahyu ini, Agamemnon menjadi marah dan menghina peramal itu. Namun, orang-orang Yunani, karena takut akan wabah, menuntut agar Agamemnon mengembalikan gadis itu kepada ayahnya. Agamemnon setuju tetapi hanya jika dia diberikan gadis lain untuk menggantikannya.
Keserakahan Agamemnon membuat marah Achilles, dan Achilles secara terbuka mengkritik Agamemnon. Menanggapi kritik tersebut, Agamemnon meminta budak Achilles sendiri sebagai penggantinya. Achilles sangat marah dan mencabut pedangnya untuk mengambil nyawa Agamemnon.
Bagaimanapun juga, Hera mengasihi Achilles dan Agamemnon, lantas mengirim Dewi Athena kepada Achilles untuk membuatnya menahan diri. Jika dia mau menahan diri, Athena menjanjikannya hadiah besar di masa depan. Achilles setuju dan menyimpan pedangnya.
Konselor Nestor mencoba menasihati Agamemnon dan Achilles untuk berkompromi demi keuntungan seluruh negeri Yunani, tetapi kedua pria itu terlalu marah. Achilles pergi, dan Agamemnon kemudian mengirim orang ke Achilles untuk mendapatkan pendamping wanita barunya. Achilles memberikan budaknya kepada Agamemnon, tetapi setidaknya untuk sementara, menolak untuk berperang.
Dalam lukisannya “The Wrath of Achilles”, Louis menggambarkan momen dimana Dewi Athena mengintervensi perselisihan antara Achilles dan Agamemnon.
Athena dan Achilles menempati sisi kiri komposisi. Achilles bersandar dengan otot- ototnya tegang saat dia menarik pedangnya. Hitam jubahnya kontras dengan kulit putih pualam Athena. Energi cemas dan marah Achilles juga kontras dengan sikap tenang Athena: Athena dengan lembut meletakkan satu tangan di bahu Achilles, dan dia juga memegang sejumput rambut Achilles dengan tangan lainnya saat dia mendorongnya untuk menahan diri.
Duduk di sisi kanan komposisi, sosok yang berpakaian merah dan putih, adalah Agamemnon. Si Raja memegang tongkat di tangannya, yang menandakan statusnya, dan dia mencondongkan tubuh ke arah Achilles—tidak bisa melihat Dewi Athena—dengan mata waspada.
Kita bisa berasumsi bahwa Nestor ada di pihak Agamemnon. Nestor memiliki ekspresi khawatir di wajahnya dan meraih ke arah Agamemnon seolah-olah dia memohon padanya untuk berkompromi. Di belakang Nestor adalah si peramal, yang mengenakan pakaian imam. Peramal itu dengan tenang memperhatikan Achilles.
Kekuatan Pengendalian Diri
Ada kebijaksanaan dalam pengendalian diri, dan saya pikir penggambaran Louis Edouard memberi kita contoh visual tentang kebijaksanaan ini.
Louis menggambarkan setiap otot di tubuh Achilles mengeras dan tegang. Kita bisa merasakan stres yang mengalir melalui tubuhnya. Sungguh ironis bagaimana salah satu pejuang paling kuat dalam mitologi Yunani hampir kehilangan kekuasaan atas dirinya sendiri. Dia hampir membiarkan amarahnya menguasai dirinya. Dapatkah kemarahan, jika dibiarkan tidak terkendali, menyebabkan stres dalam hidup dan tubuh kita?
Achilles bukan satu-satunya yang mengalami stres. Baik Agamemnon dan Nestor muncul dalam kondisi yang hampir sama. Agamemnon, menggegam tongkat dan kursinya dengan erat, tampaknya tidak yakin dengan niat Achilles. Nestor tampaknya tertekan oleh kemarahan di antara kedua pria itu.
Hanya dua tokoh terkemuka yang tampak tenang adalah Dewi Athena dan si peramal.
Sebagai komunikator dengan para Dewa, peramal tampaknya memahami bahwa apa pun yang terjadi adalah kehendak para Dewa. Oleh karena itu, dia menunjukkan sedikit emosi atau perhatian tetapi hanya menyaksikan adegan itu berlangsung.
Dewi Athena tampaknya mencapai banyak hal dengan sedikit usaha. Louis melakukannya dengan baik dalam menggambarkan kehadirannya sebagai kontras yang terkendali dengan kehadiran Achilles.
Sulit untuk mengetahui apakah Achilles bersandar ke belakang untuk menghunus pedang atas kehendaknya sendiri ataukah sentuhan sang Dewilah yang menarik tubuh Achilles ke belakang melawan kehendaknya. Saya memilih kemungkinan yang terakhir.
Dengan satu tangan ditempatkan dengan lembut di bahu Achilles dan dengan sejumput rambut dipegang di antara jari telunjuk dan ibu jarinya, Dewi Athena telah menahan salah satu pejuang paling ulung dalam mitologi Yunani. Dia memberi tahu Achilles bahwa ada hadiah yang lebih besar untuk menahan diri daripada melampiaskan kemarahannya.
Kehadiran Athena menunjukkan bahwa pengendalian diri yang tenang menghasilkan lebih dari sekadar kemarahan yang menghancurkan, bahwa ada lebih banyak hal di dalam- nya jika kita tenang dan terkendali daripada marah dan tidak tertekuk.
Bagaimana dengan kita, ketika merasakan amarah yang naik dari ulu hati, apakah ingat untuk tetap tenang? Bagaimana dengan kita, demi kepentingan terbaik kita sendiri, memanfaatkan kekuatan pengekangan diri? (tam)
Seni tradisional seringkali mengandung representasi dan simbol spiritual yang maknanya dapat hilang dari pikiran modern kita. Dalam seri kami “Mencapai Ke Dalam: Apa yang Ditawarkan Seni Tradisional untuk Hati”, kami menafsirkan seni visual dengan cara yang mungkin berwawasan moral bagi kita hari ini. Kami tidak berasumsi untuk memberikan jawaban mutlak atas pertanyaan yang telah bergumul dengan generasi, tetapi berharap bahwa pertanyaan kami akan menginspirasi perjalanan reflektif menuju manusia yang lebih otentik, penuh kasih, dan berani.
Eric Bess adalah seniman representasional yang berlatih dan merupakan kandidat doktoral di Institute for Doctoral Studies in the Visual Arts (IDSVA).