Eric Bess
Michelangelo Buonarroti tidak dapat disangkal adalah salah satu seniman terbesar dalam sejarah. Ia lahir pada 1475 dan hidup sampai usia 88 tahun. Ia menganggap dirinya sebagai pematung, tetapi ia juga menghasilkan beberapa lukisan fresco terbesar, arsitektur, dan puisi Renaisans Italia. Apa yang membuat Michelangelo hebat?
Apa rahasianya untuk menciptakan begitu banyak karya seni yang hebat? Saya yakin jawaban atas pertanyaan ini cukup kompleks, tetapi kita akan melihat sebuah episode dari kehidupan Michelangelo beserta tanggapannya sendiri terhadap pertanyaan tersebut.
Etos Kerja Michelangelo
Mengutip penyataan Michelangelo tentang etos kerjanya: “Jika orang tahu betapa kerasnya saya harus bekerja untuk mendapatkan keterampilan saya, maka itu tidak akan tampak begitu indah sama sekali.… Jika Anda tahu berapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan, Anda tidak akan menyebutnya jenius.”
Michelangelo menyarankan bahwa penguasaannya tidak menunjukkan tipe kejeniusan yang hanya didasarkan pada bakat bawaan. Sebaliknya, ia menyebut “kejeniusannya” sebagai “kesabaran abadi”. Jenius adalah kemampuan untuk melatih kesabaran selama kesulitan yang tak terhindarkan yang muncul dalam bekerja keras pada keahlian seseorang. Dengan kata lain, ide jenius tampaknya identik dengan kemampuan seseorang untuk menanggung kesulitan demi kecintaannya pada seni.
Giorgio Vasari, seniman Renaisans Italia dan penulis “The Lives of the Artists” (Kehidupan Para Seniman), adalah orang pertama yang menulis biografi Michelangelo dan melakukannya saat Michelangelo masih hidup. Faktanya, Michelangelo dianggap sebagai seniman pertama yang memiliki biografi yang ditulis saat masih hidup.
Giorgio menulis tentang beberapa hal ekstrem yang dilalui Michelangelo demi mencapai keahliannya:
“Michelangelo mengatakan kepada saya bahwa di masa mudanya dia sering tidur dengan pakaiannya, seperti orang yang kelelahan karena pekerjaannya, tidak mau repot-repot membuka pakaian, karena nanti dia harus berpakaian lagi.
Seiring bertambahnya usia, dia terus-menerus mengenakan sepatu bot yang dibuat dari kulit anjing selama berbulan-bulan, sehingga ketika dia ingin melepasnya, kulitnya juga akan terkelupas.”
Giorgio dalam mengisahkan Michelangelo tampak sangat ekstrem dan bahkan mungkin meragukan. Namun itu menunjukkan bahwa kita harus rela mengorbankan kenyamanan kita dan menanggung kesulitan jika kita ingin mendorong diri kita menuju keagungan.
Mengatasi Kesulitan di Plafon Kapel Sistina
Salah satu karya seni yang menegaskan kembali kehebatan Michelangelo adalah lukisan di langit-langit Kapel Sistina.
Saat Michelangelo sedang mengerjakan proyek patung untuk makam masa depan Paus Julius II, Sang Paus memutuskan bahwa dia ingin Michelangelo melukis langit-langit Kapel. Giorgio memperkirakan bahwa seniman dan arsitek Donato Bramante, teman pelukis muda Raphael, yang meyakinkan Sri Paus untuk menyuruh Michelangelo melukis daripada memahat.
Donato Bramante berupaya membujuk Sri Paus dengan harapan dapat mencegah Michelangelo menciptakan lebih banyak lagi patung- patung yang hebat. Ia juga berharap agar Michelangelo gagal dalam melukis dan menunjukkan bahwa Raphael adalah seorang pelukis dan seniman yang unggul.
Michelangelo memprotes dan mengklaim bahwa dia adalah seorang pematung dan bukan pelukis, tetapi Donato Bramante sudah berhasil meyakinkan Sri Paus. Menurut buku “Michelangelo: The Artist, the Man, and His Times” oleh William Wallace, Michelangelo mengungkapkan rasa ketidaknyamanannya dengan lukisannya ketika proyek selesai, menandatangani bagian bawah soneta yang mengungkapkan ketidaksenangannya dengan ungkapan: “Saya tidak dalam tempat yang bagus, dan aku bukan pelukis.” Lukisan itu sendiri juga memiliki masalah.
Michelangelo tidak tahu cara melukis lukisan dinding (fresco) dengan benar, jadi dia meminta seniman lain untuk datang dan membantunya. Jamur tumbuh di salah satu area lukisan dinding, sehingga membuat Michelangelo harus melukisnya ulang.
Untuk kemungkinan menyabotase proyek itu lagi, Donato menyarankan agar Michelangelo menggantung perancah dari langit-langit. Michelangelo menolaknya, mengklaim bahwa bekas lubang-lubang perancah di dinding langit-langit harus ditutupi nantinya. Maka Michelangelo harus memutar otak untuk menemukan jenis perancah baru.
Menurut Giorgio Vasari, tindakan mengecat langit-langit adalah pengalaman yang sangat menyiksa, sedikitnya:
Lukisan di dinding langit-langit ini dibuat dengan sangat tidak nyaman, karena Michelangelo harus berdiri di sana bekerja dengan kepala didongakkan ke belakang, dan itu sangat merusak penglihatannya sehingga dia tidak bisa lagi membaca atau melihat gambar jika kepalanya tidak didongakkan ke belakang; kondisi ini berlangsung selama beberapa bulan sesudahnya.”
Michelangelo tidak hanya harus berurusan dengan kesulitan melukis dengan para pesaingnya yang mencoba menodai namanya, tetapi ia juga memiliki masalah keluarga yang sepertinya tidak pernah berhenti. Menurut William, Michelangelo harus berurusan dengan kematian saudara laki-lakinya, istri saudara laki-lakinya yang menuntut pengembalian mas kawinnya, ketidakhormatan salah satu saudara laki-lakinya, penyakit keluarga, dan tentu saja, masalah uang.
William menunjukkan bahwa pembayaran Sri Paus untuk pekerjaan Michelangelo sangat tidak teratur, dan sebagian besar uang yang dia terima dia kirimkan ke keluarganya. Michelangelo menggambarkan dirinya sebagai “tanpa alas kaki dan telanjang”.
Michelangelo menggambarkan seluruh peristiwa dalam beberapa surat, yang William kutip dan yang dapat diringkas:
“Saya tinggal di sini dalam keadaan sangat cemas dan kelelahan fisik terbesar: saya tidak punya teman dalam bentuk apa pun dan tidak menginginkannya. Saya tidak punya cukup waktu untuk makan sebagaimana mestinya. Jadi Anda tidak boleh mengganggu saya dengan hal lain, karena saya tidak dapat menanggung hal lain.… Dan demikianlah saya telah hidup selama sekitar lima belas tahun sekarang dan tidak pernah satu jam pun kebahagiaan yang saya miliki.”
Menahan Apa yang Tak Tertahankan
Dapatkah Anda membayangkan hidup seperti ini? Dapatkah Anda membayangkan ditugaskan sebuah proyek di tempat kerja, dan bahkan sebelum Anda memulai, salah satu rekan kerja Anda mencoba menyabotase Anda dengan meminta atasan untuk menempatkan Anda pada sebuah proyek yang kemungkinan besar akan gagal?
Dapatkah Anda bayangkan, terlepas dari protes Anda, ditugaskan untuk proyek ini yang Anda tidak memiliki pengalaman, dan selama proyek, rekan kerja Anda mencoba menyarankan hal-hal yang akan membahayakan kesuksesan Anda?
Namun itu masih belum seluruhnya. Anda mengerjakan proyek begitu banyak sehingga tubuh Anda sakit ketika pulang. Dan ketika Anda pulang, pasangan Anda mengeluh tentang uang, orang tua Anda sakit dan membutuhkan bantuan Anda, dan anak-anak Anda berulah di sekolah. Anda bekerja sampai larut malam sehingga Anda hampir tidak punya waktu untuk berganti pakaian.
Kesulitan sehari-hari seperti itu adalah luar biasa hanya untuk dibayangkan saja, apalagi menjalaninya.
Tapi Michelangelo benar-benar menjalaninya dan bertahan melewatinya. Dan, inilah mengapa, setidaknya di bagian ini, dia hebat. Karena ketekunannya, ia menciptakan beberapa karya seni terbesar yang dikenal dunia. Dia bisa berhenti kapan saja, tetapi dia tidak melakukannya. Dia baru berusia 37 tahun ketika dia menyelesaikan langit-langit Kapel Sistina dan akan hidup 51 tahun lagi.
Terkadang, perjuangan kita bisa membuat hidup terasa tidak berarti; kesulitan kita bisa begitu luar biasa sehingga kita ingin menemukan lubang untuk bersembunyi dari rasa sakit. Namun, jika kita mengambil hikmah dari kisah Michelangelo, mungkin “kebesaran” kita bergantung pada menghadapi kesulitan hidup dengan “kesabaran abadi”.
Mungkin dalam setiap kesulitan adalah kesempatan untuk belajar tentang diri kita sendiri dan potensi kita yang sebenarnya. (tam)
Sejarah seni adalah kisah yang selamanya terungkap. Ini juga kisah kita, kisah umat manusia. Setiap generasi seniman memengaruhi budaya mereka masing-masing dengan karya seni mereka dan keputusan mereka dalam hidup. Serial ini akan berbagi cerita dari sejarah seni rupa yang mendorong kita untuk bertanya pada diri sendiri bagaimana kita bisa menjadi manusia yang lebih tulus, peduli, dan sabar. Eric Bess, seniman representasional dan merupakan kandidat doktoral di Institute for Doctoral Studies in the Visual Arts (IDSVA)