ETIndonesia-Empat tahun yang lalu, aku merintis usaha di bidang pakaian, namun, karena manajemen yang buruk, aku menderita kerugian sekitar 300 juta rupiah. Sebagian besar uang itu aku pinjam dari para kerabat dan teman-teman. Aku benar-benar terpuruk dan tak bisa bangkit lagi setelah kegagalan itu.
Aku menjadi tak bersemangat dan hanya duduk termenung setiap hari di rumah kontrakan. Saat itulah aku kenal dengan istriku, dia membawaku keluar dari masa-masa yang gelap itu.
Seperti kata pepatah, “Di mana jatuhnya, di situlah bangkit kembali”. Aku dan dia (istri), kembali menjalankan usaha itu, dan tak disangka, menghasilkan lebih dari 200 juta hanya dalam tempo dua tahun.
Tentu saja, penghasilan ini tidak seberapa dibanding gaji sebagian besar orang yang bekerja sebagai karyawan, tetapi sukacita kesuksesan telah meneguhkan tali cinta di antara kami.
Pada awal tahun itu aku pun melamar Leni, istriku, dan sambil menitikkan air mata dia berkata kepadaku :
“Sayangku sudah lama aku menunggu hari yang membahagiakan ini. Jika kamu tidak memandang rendah padaku, aku akan mencintaimu sepanjang hayatku.”
Ya, banyak orang tidak optimis melihat pernikahan kami. Mereka pikir kenapa pria yang berpotensi sepertiku tertarik dengan seorang wanita pincang ?
Tidak ada alasan apa pun untuk mencintai seseorang, cinta sejati itu tidak pernah bisa dijelaskan secara logika, sampai terjadi satu hal pada hari pernikahan yang membuatku semakin yakin dengan keputusanku.
Sebelum menikah, banyak kerabat dan teman-teman berkata kepadaku : “Heran, apa yang membuatmu mencari wanita seperti itu untuk menjadikanya istri ? Nanti pasti akan menjadi bebanmu, kamu harus mempertimbangkan bagaimana perasaan orang tuamu !” kata mereka.
Pada hari pernikahan, pembawa acara memintaku untuk bertukar cincin dengan istriku. Pada saat tukar cincin, umumnya ada tepukan tangan meriah dari tamu undangan sebagai ungkapan keberkatan pada kedua mempelai. Tapi pada saat itu, aku hanya mendengar suara bisikan dan tarikan napas panjang (ungkapan kekecewaan).
Selanjutnya kedua orangtuaku naik ke podium untuk memberikan sambutan, dan mungkin saking teganganya, ibuku tanpa sengaja jatuh.
Melihat itu, istriku berjalan terseok-seok ke sisi ibu, kemudian berlutut sambil memeluk ibuku, dan dengan panik bertanya kepadanya: ”Ibu, tidak apa-apa kan bu?”
Menyaksikan pemandangan itu, pembaca acar tak tahan menitikkan air mata, dan para hadirin pun diam dalam keheningan. Istriku memapah ibu sambil berjalan selangkah demi selangkah ke tengah podium dan berkata dengan mikrofon:
“Para hadirin yang terhormat, saya harap kalian bisa maklum, ibu mertuaku sudah tua, dan aku akan merawatnya nanti!”
Beberapa patah kata yang biasa dan sederhana membuatku tiba-tiba menitikka air mata.
Adalah berkah bagiku bisa menikahi wanita seperti Lena menjadi pendamping hidupku. Mereka yang pernah mengejek dan menertawakan pilihanku hanya bisa terdiam, merasa malu.
Kebahagiaan sebuah perkawinan tidak ada hubungannya dengan status sosial dua insan yang telah disatukan Tuhan, tetapi penyatuan dari lubuk hati yang paling dalam, dan keyakinan yang sama dalam kehidupan yang dijalani hingga akhir hayat.(jhn/yant)
Apakah Anda menyukai artikel ini? Jangan lupa untuk membagikannya pada teman Anda! Terimakasih.