Jennifer Margulis
Apakah antibodi-antibodi yang kita hasilkan untuk melawan infeksi COVID-19 menyebabkan penyakit yang parah? Sebuah makalah baru—–bahkan terbukti sangat baru sehingga belum ditinjau oleh rekan sejawat–—dari para ilmuwan di Hangzhou, Tiongkok, tampaknya menunjukkan hal itu.
Data para peneliti menunjukkan bahwa setidaknya dua antibodi yang menargetkan protein lonjakan yang memungkinkan virus COVID-19 masuk ke dalam sel-sel manusia adalah “patogen”–—artinya antibodi-antibodi ini menciptakan penyakit dengan sendirinya.
Sulit untuk memikirkan antibodi-antibodi–—salah satu penangkal infeksi terbaik dalam tubuh—–sebagai “patogen,” tetapi itulah yang terjadi pada penyakit autoimun.
Antibodi-antibodi yang dikembangkan tubuh sebagai tanggapan terhadap penyerbu-penyerbu asing yang menempel pada jaringan tubuh, kadang malahan menyebabkan kerusakan besar.
Pada awal tahun 2020, para peneliti Jepang menemukan banyak kematian akibat COVID-19 disebabkan oleh bagian reaksi kekebalan tubuh. Dalam sebuah artikel yang ditinjau oleh rekan sejawat yang diterbitkan dalam Inflammation and Regeneration, para ilmuwan berpendapat bahwa itu adalah sebuah “badai sitokin” yang membanjiri tubuh dan terlibat dalam angka kematian yang tinggi akibat virus tersebut.
Penelitian baru di Tiongkok ini menunjukkan bahwa komponen lain dari kekebalan sistem mungkin juga berbahaya.
Fakta bahwa antibodi yang menargetkan protein lonjakan COVID-19 yang berbahaya adalah cukup mengganggu, tetapi sangat mengganggu mengetahui bahwa antibodi yang sama ini cenderung dipicu oleh vaksin COVID-19 serta virus tersebut.
Ketiga vaksin yang disetujui untuk penggunaan darurat oleh Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit -CDC-merangsang produksi antibodi melawan protein lonjakan—–vaksin-vaksin mRNA dari Moderna dan Pfizer, dan vaksin vektor rekombinan dari Johnson and Johnson.
Antibodi Protein Lonjakan Menyerang Jaringan Tubuh
Para peneliti Tiongkok menduga bahwa beberapa antibodi yang dipicu oleh sebuah virus yang patogen dapat menyerang jaringan-jaringan tubuh. Untuk menguji hipotesis tersebut, para peneliti Tiongkok itu mengidentifikasi tujuh antibodi COVID-19 yang berbeda.
Para peneliti Tiongkok itu kemudian menganalisis seberapa baik masing-masing antibodi ini terikat pada sel-sel paru manusia, baik sel paru yang sehat maupun sel paru yang rusak. Antibodi yang mengikat sel-sel jaringan anda sendiri dapat menyebabkan kerusakan autoimun.
Seperti yang diperkirakan para peneliti, dua antibodi terikat dengan kuat pada sel-sel paru yang rusak—–dan salah satu antibodi tersebut juga terikat dengan kuat pada sel-sel yang sehat.
Para peneliti kemudian menyuntikkan antibodi itu, serta beberapa kombinasi, ke dalam tubuh tikus hamil yang sehat dengan interval tiga hari. Para peneliti ingin untuk melihat kerusakan apa, jika ada, yang dilakukan antibodi terhadap tikus dan janin-janinnya.
Sekali lagi seperti yang diperkirakan, dua antibodi yang sama telah terikat dengan baik ke sel-sel paru manusia menyebabkan kerusakan yang luas pada jaringan-jaringan janin-janin tikus.
Faktanya, antibodi yang dapat mengikat sel-sel paru yang sehat pada manusia, REGN10987, membunuh hampir setengah janin tikus.
“Ini adalah temuan yang sangat meresahkan, Hal tersebut seharusnya membuat siapa pun berhenti, terutama wanita-wanita hamil,” kata Zoey O’Toole, seorang pendukung keamanan vaksin yang memiliki latar belakang di bidang fisika dan teknik dan yang meninjau penelitian tersebut dengan hati-hati.
Bagaimana SARS-CoV-2 Membunuh?
Salah satu pertanyaan besar mengenai SARS-CoV-2, juga dikenal sebagai COVID-19, adalah persis bagaimana SARS-CoV-2 menyebabkan penyakit serius pada orang-orang yang telah meninggal serta pada orang-orang lain yang mengembangkan gejala jangka-panjang.
Sebagian besar virus menyebabkan penyakit jangka-pendek yang sembuh, setelah tubuh sempat mengembangkan antibodi-antibodi, yang tampaknya menjadi kasus bagi sebagian besar orang yang terjangkit COVID-19.
Lalu, mengapa beberapa orang meninggal dunia setelah dua hingga tiga minggu menderita COVID-19, ketika sistem kekebalan mereka telah membersihkan virus tersebut dari tubuh mereka?
Dan, mengapa beberapa orang—–dikenal sebagai “long hauler” (mengalami gejala berkepanjangan)–—memiliki kerusakan banyak organ dalam jangka-panjang yang sepertinya tidak ada hubungannya dengan virus itu sendiri?
Kita tahu bahwa tidak ada dua orang yang memiliki respon imun yang sama. Dengan COVID-19, kita juga melihat bahwa orang-orang yang sakit parah memiliki kadar sitokin yang menyebabkan peradangan yang lebih tinggi dalam darah mereka. Ini adalah “badai sitokin” di mana media mematok sebagai sebuah penjelasan untuk penyakit menular yang parah.
Bagaimana Antibodi Menciptakan Penyakit yang Parah
Tetapi, sitokin yang meningkat adalah hanya sebagian gambaran. Para peneliti juga sudah lama mencurigai sebuah aspek autoimun pada penyakit COVID-19 yang parah.
Sebuah artikel di Nature pada bulan Januari mencatat bahwa, persentase yang sangat tinggi dari orang-orang yang menderita penyakit parah akibat COVID-19 memiliki antibodi auto-imun. Antibodi-antibodi ini menargetkan sistem kekebalan itu sendiri, serta pembuluh darah, jantung, dan otak.
Sejak COVID-19 pertama kali diidentifikasi, kita telah melihat respon auto-imun memperburuk efek penyakit tersebut, dengan meningkatkan peradangan dan kelainan kekebalan tubuh, dan kadang meningkatkan aktivitas virus itu sendiri.
Para peneliti Tiongkok tidak menyatakan bagaimanaantibodi itu merusak jaringan-jaringan, tetapi peneliti auto-imunitas telah lama memahami bahwa protein tertentu yang diikuti antibodi kita ketika antibodi menargetkan sebuah virus yang kadang ditemukan di sel-sel tubuh kita sendiri.
“Peniruan molekuler” ini mungkin hanya sebagian yang cocok, tetapi bahkan hal tersebut dapat cukup untuk menyebabkan antibodi-antibodi yang sebaliknya membantu menyerang sel-sel yang sehat pada kita.
Rancangan Vaksin COVID-19
Temuan dari pra-cetak ini memiliki maksud yang mendalam terhadap rancangan vaksin. Agar sebuah vaksin menjadi seaman dan seefektif mungkin, vaksin tersebut harus menjadi vaksin yang merangsang antibodi yang menetralkan patogen tetapi tidak mengikat jaringan-jaringan apapun di dalam tubuh, sehingga orang-orang yang menerima vaksin tersebut akan aman dari efek autoimun.
Sayangnya, tampaknya para ilmuwan industri tidak mempertimbangkan peniruan molekuler ketika merancang vaksin COVID-19.
Protein lonjakan yang membuat SARS-CoV-2 sangat menular ke manusia adalah target yang diperhatikan para pembuat vaksin, saat merancang vaksin mereka. Para pembuat vaksin yakin bahwa protein lonjakan itu sendiri, selain virus, adalah tidak berbahaya. Jika protein yang diisolasi bukanlah agen penyakit, membuat tubuh membuat protein untuk waktu yang singkat akan aman.
Tetapi, seperti yang digarisbawahi oleh penelitian baru dari Tiongkok, mungkin ada setidaknya tiga masalah dengan pendekatan ini.
Masalah yang Berpotensi Muncul dengan Vaksin Protein Lonjakan COVID-19
Pertama, protein lonjakan itu sendiri adalah tidak berbahaya, seperti sejak ditemukan. Kenyataannya, menurut ilmu pengetahuan yang diterbitkan oleh sebuah tim peneliti internasional pada bulan Maret di jurnal Circulation Research, protein lonjakan dapat merusak sel-sel endotel paru, sama seperti yang terikat pada antibodi-antibodi di penelitian Tiongkok, serta sel-sel endotel yang melapisi pembuluh darah seluruh tubuh.
“Jika anda menyingkirkan kemampuan replikasi virus, virus itu masih memiliki sebuah efek yang merusak pada sel-sel pembuluh darah,” kata Dr. Uri Manor, rekan penulis penelitian ini dan seorang peneliti di Institut Salk untuk Penelitian Biologis di La Jolla, California, dalam sebuah wawancara untuk Salk.edu.
Dalam paragraf pertama siaran pers itu, Salk.edu menegaskan dalam tanda kurung bahwa protein lonjakan “berperilaku sangat berbeda dari protein-protein lonjakan yang dikodekan dengan aman di dalam vaksin.” Namun, baik penelitian itu sendiri maupun siaran pers tidak menawarkan bukti apa pun untuk membenarkan klaim ini. Pada saat yang sama, kita melihat bahwa banyak efek samping yang dilaporkan setelah vaksinasi, termasuk pembekuan darah dan stroke, adalah kejadian vaskular serupa dengan kejadian yang terkait dengan penyakit itu sendiri.
Kedua, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian baru ini, antibodi yang dihasilkan untuk menetralkan protein lonjakan mungkin sangat beracun bagi sel-sel manusia, terutama jika sel-sel itu sudah rusak.
Akhirnya, data para peneliti Hangzhou menyatakan bahwa, satu hal yang dapat mencegah efek buruk dari antibodi patogen adalah ketika juga ada antibodi non-patogen bersama antibodi patogen, melakukan pekerjaan antibodi tersebut secara normal.
Tetapi apakah vaksinseperti yang telah diformulasikan benar-benar dapat memicu produksi antibodi-antibodi non-patogen yang sehat, adalah masih tetap menjadi sebuah pertanyaan terbuka.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa antibodi terhadap bagian lain dari virus dapat melawan potensi bahaya yang diakibatkan antibodi anti-lonjakan, Itu adalah sebuah temuan penting. Tetapi tidak ada virus dalam vaksin mRNA. Jadi, adalah sangat tidak mungkin vaksin ini dapat menghasilkan antibodi yang cukup bermanfaat untuk membantu,” jelas O’Toole.
Kesimpulan
Saat kita mempelajari lebih lanjut mengenai kemampuan SARS-CoV-2 untuk membahayakan manusia, ada semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa vaksin juga dapat menyebabkan bahaya.
Dalam ketergesaan kita untuk menemukan sebuah cara untuk mencegah COVID-19 yang parah, tanpa disadari kita mungkin melakukan lebih banyak kerusakan daripada kebaikan. Mungkin bertahun-tahun sebelum kita tahu sepenuhnya dari kerusakan tersebut. Mana yang lebih buruk, penyakit atau pencegahannya? Hanya waktu yang akan memberitahukannya. (Vv)
Jennifer Margulis, Ph.D., adalah jurnalis pemenang penghargaan dan penulis Your Baby, Your Way: Mengambil Tanggung Jawab atas Keputusan Kehamilan, Melahirkan, dan Mengasuh Anak Anda untuk Keluarga yang Lebih Bahagia dan Lebih Sehat. Seorang penerima beasiswa Fulbright dan ibu dari empat anak, dia telah bekerja pada kampanye kelangsungan hidup anak di Afrika Barat, menganjurkan untuk mengakhiri perbudakan anak di Pakistan di TV prime-time di Prancis, dan mengajar sastra pasca-kolonial kepada siswa non-tradisional di dalam -kota Atlanta. Pelajari lebih lanjut tentang dia di JenniferMargulis.net