oleh Li Lan
Selama periode paling sibuk dalam setahun bagi industri manufaktur mengejar target produksi, justru banyak pemerintah daerah di daratan Tiongkok menerapkan langkah-langkah pembatasan penggunaan listrik secara ketat. Hal mana menyebabkan menurunnya PDB di sejumlah provinsi besar seperti Jiangsu, Zhejiang, dan Guangdong.
Jadi, apa tujuan dari langkah pemerintah komunis Tiongkok menerapkan langkah pembatasan penggunaan listrik berskala besar ini ? Mari simak analisisnya.
Pemerintah komunis Tiongkok berulang kali berjanji kepada dunia bahwa emisi karbon dioksida daratan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 dan menjadi netral karbon pada tahun 2060, serta merumuskan beberapa rencana khusus untuk ini.
Namun, laporan target pengendalian konsumsi energi untuk paruh pertama tahun ini yang dikeluarkan oleh Komisi Pembangunan dan Reformasi komunis Tiongkok pada bulan Agustus menunjukkan, bahwa lebih dari belasan provinsi dan wilayah tidak memenuhi target yang ditentukan. Sehingga pemadaman listrik mulai diterapkan pada awal hingga akhir bulan September atau sampai pertengahan bulan Oktober.
Saat ini, daratan Tiongkok merupakan penghasil karbon dioksida terbesar yang menyumbang sekitar 28% dari emisi dunia, atau sekitar total emisi karbon Uni Eropa, Amerika Serikat dan India.
Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 akan diadakan pada November mendatang. Apakah langkah yang diterapkan Beijing ini adalah untuk memenuhi janjinya kepada dunia ?
Komentator Heng He mengatakan : “Menjadi pemain di dunia dalam masalah netralitas karbon itu yang dianggap lebih penting oleh komunis Tiongkok, tetapi bukan sesungguhnya ingin mencapai tujuan netralitas karbon. Tentu saja, negara-negara maju di dunia sekarang sedang berkonsentrasi dalam membahas masalah netralitas karbon dan sejenisnya. Rupanya Beijing juga tidak mau ketinggalan dan harus mengikuti tren.
Heng He juga menjelaskan, selain itu, sebelum Olimpiade Musim Dingin, pemerintah komunis Tiongkok ingin menunjukkan sesuatu yang dapat diakui oleh Barat untuk menghindari kena boikot karena hak asasi manusia. Ini mungkin merupakan kartu truf yang bisa digunakan sebagai sarana dalam tawar-menawar antara pemerintah komunis Tiongkok dengan Barat”.
Langkah pembatasan penggunaan listrik yang ketat tanpa didahului peringatan, telah berpengaruh cukup signifikan terhadap kota-kota industri besar di sebagian besar provinsi seperti Jiangsu, Zhejiang dan Guangdong. Di sana pabrik semen, baja, semikonduktor, dan elektronik semuanya berhenti berproduksi.
Su Tzu-yun, Direktur Lembaga Penelitian Strategi dan Sumber Daya Pertahanan Nasional Taiwan mengatakan : “Beberapa kawasan industri di Jiangsu pada dasarnya sudah tidak dapat mengirim keluar hasil produksi mereka. Ini akan menyebabkan kekacauan di seluruh rantai pasokan, yaitu, seluruh pasokan, produksi, dan pengiriman akan kacau balau”.
Ren Zhongdao, seorang peneliti di European Tianjun Political and Economic Think Tank mengatakan : “Guangdong dan Zhejiang adalah provinsi perdagangan luar negeri utama. Pembatasan dalam pemakaian listrik telah menyebabkan penangguhan pekerjaan dan produksi. Ini merupakan pukulan bagi Tiongkok yang mengandalkan pertumbuhan ekonominya melalui ekspor dan perdagangan luar negeri. Terutama menjelang akhir tahun, ada banyak festival di luar negeri, dan para importir biasanya akan menyiapkan barang sebelumnya. Dengan adanya kelambatan karena output pabrik di Tiongkok tidak dapat mengimbangi, tentu akan menjadi pukulan bagi ekonomi daratan Tiongkok”.
Batubara menyumbang 58% dari struktur energi Tiongkok, dan pembangkit listrik termal menyumbang 70%. Pembatasan pemakaian listrik berskala besar jelas memberikan pukulan bagi kehidupan penduduk dan produksi perusahaan. Apa yang menyebabkan pemerintah melakukan hal ini ?
Ren Zhongdao mengatakan : “Komunis Tiongkok memberlakukan sanksi terhadap Australia dengan tidak mengimpor batubara termal Australia yang memiliki nilai kalor yang relatif tinggi dan secara khusus digunakan untuk pembangkit listrik. Saat ini, baik harga maupun pasokan batubara di Tiongkok sangat ketat. Harga listrik termal per kilowatt per jam adalah lebih dari RMB. 0,40, tetapi biaya pembangkitan listrik telah mencapai hampir RMB. 0,60, yang berarti bahwa setiap kilowatt per jam listrik akan kehilangan lebih dari RMB. 0,1 lebih”.
Bagi Su Tzu-yun, alasan yang paling kritis adalah bahwa karena terlalu optimisnya para birokrat (dalam hal pasokan dan permintaan listrik) atau akibat penipuan berantai. (sin)