Antonio Graceffo
Utang publik Tiongkok sudah mencapai 270 persen dari Produk Domestik Bruto, dan pinjaman non-berkinerja telah mencapai USD 466,9 miliar. Selain yang sudah ada tantangan ekonomi, raksasa real estat Evergrande Group memberi isyarat terkait pihaknya mungkin gagal melakukan pembayaran yang terutang kepada para kreditur.
Pengembang terbesar kedua di Tiongkok tersebut menghadapi sebuah krisis likuiditas, karena perdagangan obligasi Evergrande di dalam negeri telah ditangguhkan.
Tanpa akses pendanaan, Evergrande tidak akan mungkin membayar pemasok, menyelesaikan proyek-proyek, atau meningkatkan pendapatan, lebih cenderung mengakibatkan gagal bayar utang-”, ”suatu kemungkinan yang dapat mengirim riak-riak ke seluruh ekonomi Tiongkok.
Evergrande menghasilkan USD 110 miliar dalam penjualan tahun lalu dan memiliki aset-aset sebesar USD 355 miliar. Pada Juni, Evergrande gagal membayar beberapa surat berharga dan pemerintah membekukan sebuah rekening bank sebesar USD 20 juta. Kini Evergrande memiliki total kewajiban utang yang harus dibayar sebesar USD 305 miliar atau lebih dari Rp 4.000 triliun menjadikan Evergrande adalah pengembang real estate yang paling banyak dililit utang di dunia.
Evergrande juga adalah penerbit obligasi dolar terbesar di Asia. Evergrande berutang kepada 128 bank dan berutang lebih dari 121 lembaga non-perbankan. Akibatnya, harga saham Evergrande turun 90 persen selama 14 bulan terakhir sementara obligasi Evergrande diperdagangkan pada 60 hingga 70 persen yang tidak normal.
Evergrande menyumbang 4 persen total utang bunga-tinggi real estat Tiongkok. Utang Evergrande adalah sangat besar sehingga Evergrande dapat menimbulkan sebuah risiko sistemik terhadap sistem perbankan Tiongkok. Pembayaran yang terlambat atau gagal bayar oleh Evergrande dapat menyebabkan sebuah reaksi berantai dari gagal bayar di seluruh lembaga.
Sebuah aksi jual Evergrande dapat menurunkan harga-harga, menabrak para pengembang yang memiliki terlalu banyak utang dan tidak sanggup membayar utang tersebut. Pihak-pihak berwenang khawatir bahwa ancaman ini mengacaukan seluruh sektor real estat, yang merupakan sekitar 30 persen ekonomi Tiongkok.
Selain itu, Evergrande memiliki implikasi untuk pasar tenaga kerja. Evergrande mempekerjakan 200.000 orang secara teratur dan 3,8 juta pekerja per tahun pada sebuah proyek dasar. Setelah 18 bulan lockdown COVID-19, Tiongkok membutuhkan lebih banyak pekerjaan, bukan lebih sedikit pekerjaan.
Evergrande diperkirakan tidak mampu memenuhi pembayaran angsuran pokok dan bunga yang jatuh tempo minggu depan.
The People’s Bank of China (PBOC) dan Komisi Regulasi Perbankan dan Asuransi Tiongkok, memperingatkan para eksekutif Evergrande untuk mengurangi risiko utang Evergrande. Beijing menginstruksikan pihak berwenang di Provinsi Guangdong untuk berkoordinasi dengan calon pembeli aset Evergrande yang potensial.
Sementara itu, para regulator telah menandatangani sebuah proposal untuk membiarkan Evergrande bernegosiasi ulang tenggat waktu pembayaran, yang akan memberikan sebuah penangguhan hukuman sementara.
Evergrande bukanlah satu-satunya masalah di pasar utang Tiongkok. Pada pertengahan tahun, gagal utang Tiongkok di dalam dan luar negeri telah mencapai lebih dari USD 25 miliar, jumlah yang hampir sama dengan tahun sebelumnya. Perusahaan real estate menyumbang sekitar 30 persen dari kegagalan membayar utang ini. Beberapa pelaku yang lebih besar adalah China Fortune Land Development dan Sichuan Languang Development.
Selanjutnya, sektor transportasi, pariwisata, dan ritel terpukul akibat lockdown pandemi, sehingga meningkatkan gagal bayar utang di sektor tersebut. Beberapa perusahaan yang terkait dengan negara juga menderita gagal bayar utang, seperti Yongcheng Coal Electricity Holding Group dan Tsinghua Unigroup.
Selain itu, China Huarong Asset Management, sebuah perusahaan yang mayoritas adalah milik negara, gagal merilis hasil tahun 2020 tepat waktu. Antara perusahaan utama dan anak perusahaannya, China Huarong Asset Management memiliki sisa utang sebesar USD 39 miliar terutang, yang pada akhirnya menyebabkan kerugian sebesar USD 5,9 miliar untuk tahun 2020.
Selama beberapa tahun terakhir, rasio utang perusahaan Tiongkok terhadap Produk Domestik Bruto terus meningkat. Pada tahun 2017, mencapai rasio tersebut rekor 160 persen, naik dari 101 persen 10 tahun-tahun sebelumnya. Pemimpin Tiongkok Xi Jinping menjadikan rasio tersebut sebagai sebuah prioritas untuk mengendalikan utang, khususnya di sektor kegiatan perantara keuangan Tiongkok senilai USD 10 triliun.
Pembiayaan kendaraan oleh pemerintah daerah gagal bayar pada banyak pinjaman trust dalam sistem perbankan kegiatan perantara keuangan, tetapi tidak pada sebuah obligasi publik. Sejauh tahun ini, 915 juta pembiayaan kendaraan oleh pemerintah daerah mengalami gagal bayar. Ini disebut utang tersembunyi dari pemerintah daerah menjadi begitu luas sehingga Beijing mengidentifikasinya sebagai sebuah masalah keamanan nasional.
Kepercayaan investor terguncang, baik perusahaan swasta ataupun perusahaan terkait-negara, yang pernah dianggap sebagai sebagai investasi yang aman mengalami gagal bayar. Bahaya tersebut adalah para investor, karena takut menular, mungkin panik dan mulai melakukan aksi jual utang baik dan buruk, sehingga menurunkan harga pasar.
Runtuhnya Evergrande dapat menyebabkan kekacauan ekonomi yang meluas dan bahkan kerusuhan sipil. Masa depan Evergrande dan ekonomi Tiongkok tergantung pada apakah pihak berwenang pusat akan mengizinkan Evergrande untuk gagal bayar, meninggalkan kreditur Evergrande dalam posisi yang sulit, atau jika Komunis Tiongkok akan melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas. (Vv)
Antonio Graceffo, Ph.D., telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Dia adalah lulusan dari Shanghai University of Sport dan memegang MBA dari Shanghai Jiaotong University. Antonio bekerja sebagai profesor ekonomi dan analis ekonomi Tiongkok, menulis untuk berbagai media internasional. Beberapa bukunya tentang Tiongkok termasuk “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” dan “A Short Course on the Chinese Economy