oleh Su Guanmi
Seorang dokter Taiwan meninggal dunia di Amerika Serikat setelah menerima suntikan vaksin dosis ketiga buatan BNT Pfizer. Apakah penyebab kematiannya ada kaitannya dengan vaksin booster tersebut masih perlu diklarifikasi melalui otopsi. Namun demikian, baik Israel, Amerika Serikat maupun negara-negara lain telah mulai memberikan suntikan booster, meskipun kontroversi sedang terjadi
Dokter tiba-tiba meninggal dunia setelah suntikan vaksin booster, penyebab menunggu hasil otopsi
Wang Wei-sheng, mantan direktur Departemen Penyakit Menular di Rumah Sakit Mackay di Taiwan, yang berimigrasi ke Amerika Serikat, mulai merasa tidak enak badan setelah menerima dosis ketiga vaksin BNT Pfizer di Amerika Serikat pada 2 September. Dua minggu kemudian, yakni 16 September, Wang Wei-sheng ditemukan keluarga telah meninggal dunia di atas kursi sofa di rumahnya.
Karena Wang Wei-sheng sendiri tidak memiliki penyakit kronis, keluarganya menduga bahwa penyebab kematiannya berkaitan dengan vaksin. Namun, Wang Wei-sheng tidak memiliki asuransi di Amerika Serikat, dan dokter forensik enggan melakukan otopsi. Saat ini, anggota keluarganya sedang mengumpulkan dana untuk membiayai otopsi, berharap penyebab kematiannya dapat segera mendapatkan klarifikasi.
Dalam wawancara dengan media Taiwan, Vincent Yi-feng Su, dokter spesialis paru-paru dan sistem pernapasan Taiwan mengatakan bahwa kondisi miokarditis mungkin sudah muncul setelah Wang Wei-sheng mendapat suntikan vaksin dosis ketiga pada awal bulan September, tetapi tidak membaik, sampai akhirnya menyebabkan masalah di jantung. Dia menjelaskan bahwa efek samping dari vaksin juga dapat bertahan untuk waktu yang lama, dan itu baru dapat diketahui secara pasti melalui penyelidikan lanjutan.
Vaksin mRNA seperti vaksin BNT Pfizer dan vaksin Moderna dapat menyebabkan efek samping seperti miokarditis dan perikarditis. Di waktu lalu sudah ada orang yang meninggal karena hal ini. Komisi keamanan Badan Obat Eropa (EMA) menyatakan bahwa efek samping tersebut terutama terjadi dalam 14 hari setelah vaksinasi.
Pemberian dosis ketiga sebelum waktunya dapat meningkatkan risiko miokarditis dan efek samping sindrom Guillain-Barré
Semakin banyak tanda yang menunjukkan bahwa kekuatan perlindungan dari vaksin COVID-19 turun secara signifikan setelah 4 sampai 6 bulan vaksinasi. Israel sejak bulan Agustus telah memimpin dalam pemberian dosis ketiga vaksin Pfizer, yang kemudian diikuti oleh Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara lain.
Namun, apakah perlu suntikan booster ? Masih kontroversial.
Sejumlah pakar internasional menerbitkan laporan penelitian mereka melalui jurnal khusus medis ‘The Lancet’, yang menjelaskan bahwa vaksin yang beredar saat ini masih memiliki efek perlindungan yang baik pada pencegahan penyakit parah dan kematian. Oleh karena itu, tidak perlu mengintensifkan suntikan untuk masyarakat umum.
Penulis artikel tersebut termasuk Marion Gruber, direktur Office of Vaccine Research and Review (OVRR) FDA, dan Phil Krause, wakil direktur, serta beberapa ilmuwan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Laporan hasil studi yang diterbitkan pada 13 September ini menekankan bahwa karena bukti ilmiah untuk mendukung suntikan vaksin booster belum mencukupi, jadi masih terlalu dini untuk mendorong masyarakat umum menerima vaksin booster, yang mungkin saja akan meningkatkan risiko gejala miokarditis (peradangan pada jantung), sindrom Guillain-Barre (komplikasi neurologis terkait dengan vaksin COVID-19 vektor adenovirus) dan efek samping langka lainnya yang ditimbulkan vaksin.
Suntikan dosis ketiga saat ini didasarkan pada laporan yang dikumpulkan oleh Israel pada sepekan setelah penyuntikan. Penelitian ini dianggap terlalu singkat untuk periode pengamatan.
Para ahli seperti FDA menjelaskan bahwa efek perlindungan dalam jangka pendek tidak selalu berarti manfaat jangka panjang. Selain itu, efek samping vaksin mRNA dosis kedua seperti Pfizer dan Moderna biasanya lebih serius daripada dosis pertama. Para ahli khawatir jika booster dosis ketiga memiliki efek samping yang lebih serius, hal itu dapat semakin mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap vaksin.
Zheng Yuanyu, seorang dokter di Klinik Shangwen, Taiwan mengatakan bahwa ada penelitian yang menemukan : Karena antibodi pasien transplantasi organ sangat lemah, jadi perlu suntikan vaksin dosis ketiga untuk menghasilkan antibodi penetralisir. Sama halnya, efek samping vaksin yang menimbulkan gejala miokarditis dan sindrom Guillain-Barré juga dapat dikarenakan suntikan booster ini.
Alih-alih memberikan dosis ketiga, penelitian ini menyarankan bahwa bukannya lebih baik mengarahkan sasaran pada pengembangan vaksin untuk mengatasi varian virus yang mungkin lebih efektif dalam memerangi epidemi. Strategi ini juga yang diadopsi dalam pengembangan vaksin influenza.
Artikel di ‘The Lancet’ yang ditulis oleh 2 orang pimpinan OVRR yang sudah mengabdi selama belasan tahun, tidak diakui sebagai pandangan FDA. Menurut New York Times, mereka tidak setuju dengan pemerintahan Biden yang mendorong masyarakat menerima penyuntikan booster sebelum ilmuwan federal meninjau keseluruhan bukti dan membuat rekomendasi. Konflik ini menyebabkan Dr. Marion Gruber dan Dr. Phil Krause mengambil putusan mengundurkan diri pada musim gugur ini.
Dr. Lin Xiaoxu, mantan direktur laboratorium Departemen Virologi Institut Penelitian Angkatan Darat AS, mengatakan bahwa keputusan tergesa-gesa untuk memberikan vaksin di masa lalu telah memberikan pelajaran bagi dunia. Misalnya, selama Perang Teluk, untuk mencegah organisasi teroris menggunakan antraks sebagai senjata biokimia, Amerika Serikat segera mengembangkan vaksin antraks bagi militer AS untuk melawannya. Namun, hal itu mengakibatkan tentara yang divaksin secara bertahap menunjukkan gejala multi gangguan organ, yang kemudian dinamakan Sindrom Perang Teluk.
Vaksin dalam mencegah penyakit parah masih cukup efektif, tetapi perlu mempertimbangkan metode lain untuk mencegah terinfeksi
Segera setelah artikel penelitian diterbitkan di ‘The Lancet’, Sheena Cruickshank, seorang profesor biomedis dari University of Manchester, Inggris juga menulis sebuah artikel di situs pertukaran akademik ‘The Conversation’ yang intinya menyebutkan bahwa saat ini belum perlu untuk menerima suntikan vaksin ketiga.
Sheena mengungkapkan bahwa perlindungan kekebalan yang diberikan oleh vaksin terdiri dari 3 bagian, yakni antibodi, sel T dan memori kekebalan. Antibodi hanyalah salah satu ukuran respon imun yang efektif. Tetapi Limfosit T pembunuh virus dan memori kekebalan adalah 2 komponen inti lainnya. Memori kekebalan dapat mengaktifkan sistem kekebalan diri untuk secara otomatis mengenali dan dengan cepat menghasilkan limfosit T dan merangsang sel B yang menghasilkan antibodi.
Seiring berjalannya waktu, antibodi tubuh menurun, yang tidak cukup untuk sepenuhnya mencegah infeksi, tetapi sel T dan memori kekebalan tidak menurun atau melemah, dan mereka masih cukup untuk membunuh virus yang menyerang.
Oleh karena itu, tujuan utama dari vaksinasi COVID-19 adalah untuk mencegah infeksi virus yang menyebabkan penyakit parah atau kematian.
Sheena secara terus terang mengatakan bahwa, masih belum diketahui dengan pasti apakah dosis booster yang diluncurkan oleh Inggris dan pemerintah lainnya cukup untuk memberikan perlindungan jangka panjang atau bahkan lebih tinggi bagi orang-orang yang paling rentan terinfeksi.
Selain itu, vaksinasi hanyalah salah satu tindakan pencegahan epidemi, dan masih ada metode pencegahan epidemi lainnya, seperti memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga ventilasi untuk melindungi diri sendiri, dan lainnya.
Dong Yuhong, seorang ahli virologi dan penyakit menular Eropa dan kepala ilmuwan dari sebuah perusahaan bioteknologi juga mengatakan bahwa saat ini, vaksin mungkin bukan solusi akhir untuk mencegah penyebaran epidemi. Orang harus memikirkan apakah ada cara lain untuk melindungi diri mereka sendiri selain melalui vaksinasi. Misalnya bagaimana cara meningkatkan kekebalan tubuh sendiri untuk melawan virus. (sin)