Fan Yu
Beberapa kejelasan muncul dari kisah pengembang real estate Evergrande yang memiliki banyak kesulitan sedang berada dalam proses memeriksa masalah untuk mengetahui masalah mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu, dengan cara memilih untuk tidak membayar para pemegang obligasi luar negeri untuk menghemat uang tunai, demi membayar pelanggan dan para pemangku kepentingan di Tiongkok
Setelah berminggu-minggu protes pelanggan, penurunan peringkat kredit, dan desas-desus gagal membayar utang, Evergrande memilih untuk membayar para pemegang obligasi dalam negeri dan diarahkan oleh kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok, untuk menghemat arus uang tunai operasional dan terus membangun rumah bagi para deposan.
Siapa para pemegang obligasi denominasi dolar luar negeri yang diabaikan Evergrande? Tidak lain adalah BlackRock yang ceroboh, HSBC, dan bank investasi UBS Swiss. Atau lebih tepatnya, investor ini dalam kendaraan dana yang mereka miliki akan dirugikan.
Dari sudut pandang Partai Komunis Tiongkok, adalah diperlukan untuk memilih masalah mana yang paling dulu diselesaikan. Evergrande telah terhuyung-huyung di ambang kebangkrutan selama bertahun-tahun. Beban utang Evergrande yang luar biasa besarnya—kewajiban untuk membayar utang lebih dari USD 300 miliar–”tiba-tiba menjadi lebih buruk pada saat tertentu, dan harapan Beijing adalah untuk menatalaksana sebuah restrukturisasi Evergrande yang teratur sebanyak mungkin.
Sudah banyak tulisan mengenai apakah kejatuhan Evergrande akan menyebabkan “momen Lehman” bagi Tiongkok.
Dan hal tersebut adalah sangat mungkin, karena perkembangan terakhir dapat menggoyahkan sebuah pasar properti Tiongkok yang sudah rapuh, yang mana pernah menjadi sebuah pasar terpenting untuk pertumbuhan ekonomi Tiongkok baru-baru ini, serta untuk akumulasi kekayaan “kelas menengah” yang sedang berkembang selama beberapa dekade terakhir di Tiongkok.
Dalam skema besar, Evergrande tidak begitu penting. Beijing selalu tahu Evergrande berada dalam masalah, dan nasib Evergrande ditutupi dengan aman segera setelah Beijing mengumumkan kebijakan “tiga garis merah” yang dipaksakan pada pengembang properti Tiongkok pada Januari 2021 .
Singkatnya, kebijakan tiga garis merah ditujukan untuk memaksa pengurangan utang pengembang properti Tiongkok yang memiliki banyak utang. Beijing menempatkan kriteria ketat terhadap rasio keuangan dan metrik kepada pengembang properti untuk menekan pinjaman yang berlebih. Hal tersebut akan menjadi tantangan bagi pengembang properti Tiongkok, yang semuanya mengembang tingkat utang yang tinggi, untuk memenuhi persyaratan-persyaratan itu.
Pada saat itu, analis UBS menerbitkan sebuah catatan kepada para investor di bulan Januari bahwa kebijakan tersebut akan membuka peluang untuk investor-investor obligasi. Setidaknya UBS menaruh uangnya di tempatnya.
Beijing sedang berusaha untuk memecahkan penyakit lama di dalam sektor propertinya. Dan jika Evergrande runtuh, maka itulah biaya yang harus dibayar untuk memperbaiki pasar properti. Pasar properti Tiongkok memiliki sekitar 80 juta kelebihan pasokan unit rumah dan apartemen perkotaan berada pada kisaran 20-40 kali upah tahunan rata-rata pekerja. Sesuatu tidak boleh dilawan.
Tiongkok berupaya mengarahkan pasar properti menjauh dari model masa lalu. Dan dalam melakukannya–dan untuk menghindari momen Lehman–Beijing perlu memastikan bahwa stabilitas dan kepercayaan secara keseluruhan pada pasar properti tidak runtuh bersama dengan Evergrande.
Diperlukan pengembang properti lain untuk mengambil proyek yang mungkin ditinggalkan Evergrande, bagi pemerintah daerah untuk turun tangan jika perlu untuk mengganti uang deposan di mana Evergrande tidak sanggup, untuk menjaga stabilitas sosial, sementara memastikan pengembang besar lainnya tidak terguling bersama Evergrande. Jadi para pengamat pasar sekarang mengawasi rekan-rekan Evergrande seperti Country Garden, Sunac China Holdings, dan Vanke.
Tetapi retakan tersebut sudah semakin besar. Sebuah kantor pengembang Sunac setempat mengimbau pemerintah kota di Provinsi Zhejiang untuk membantuan kebijakan baru-baru ini,i ketika Sunac berjuang melalui sebuah periode yang memperlambat penjualan, menurut sebuah laporan Financial Times pada tanggal 24 September.
Seseorang dapat merasakan bahwa bos rezim Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping sendiri yang mengendalikan pembentukan kembali ekonomi Tiongkok. Perhatian yang mendalam seperti itu tidak mungkin tanpa diakhiri Xi Jinping dengan tegas. Wakil Perdana Menteri Liu He, penasihat ekonomi Xi Jinping dan negosiator perdagangan utama Tiongkok selama beberapa tahun terakhir, secara efektif telah dikesampingkan.
Liu He dilaporkan harus menahan kritik otodidak gaya Mao Zedong untuk mengizinkan perusahaan ride-hailing Didi Chuxing untuk go public di New York.
Tetapi Xi Jinping perlu menangani masalah dengan hati-hati, untuk menghindari sebuah waktu pertumbuhan yang lama dan stagnan serta risiko reaksi politik. Xi Jinping sudah memiliki sebuah daftar lengkap perubahan peraturan dan sosial yang harus dilakukan, dari tindakan keras terhadap industri teknologi, hingga peraturan yang ketat terhadap permainan video game, hingga komentar sosial Marxis-Maois yang semakin meningkat, dan banyak lagi baru-baru ini, larangan penuh Tiongkok terhadap mata uang kripto. Dikarenakan, upaya tersebut untuk mendesak kendali lebih besar terhadap orang-orang dan market.
Apakah perkembangan terakhir merupakan sebuah tanda bahwa Xi Jinping adalah serius untuk mengubah model pembangunan Tiongkok?
Dan, apakah Xi Jinping memiliki modal politik dan kredit stabilitas sosial yang cukup untuk melakukan semua itu? Itu adalah sebuah tindakan yang sangat berbahaya untuk Xi Jinping, yang berupaya untuk mengamankan sebuah masa jabatan ketiga yang kontroversial sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok tahun depan.
Masih harus dilihat apakah Xi Jinping berhasil melakukannya. Tetapi satu hal adalah pasti, “keajaiban ekonomi” yang didorong oleh real estat Tiongkok dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahunan yang cukup besar telah berakhir. (Vv)