Raphael dan Dialog Antara Iman dan Nalar

Elizabeth Lev

Pada hari-hari tenang sebelum pandemi, setiap hari puluhan ribu pengunjung memadati Museum Vatikan untuk mengagumi seni Renaisans yang luar biasa. Rute panjang area pamer melalui aula yang luas akan membawa pengunjung ke apartemen Paus Julius II yang penuh sesak, di mana Raphael Sanzio mendekorasi dinding apartemen itu mulai dari tahun 1509 hingga 1514. 

Di sana, banyak turis yang telah kelelahan hanya akan mengambil foto singkat Plato dan Aristoteles di lukisan dinding berjudul Mazhab Athena atau “School of Athens” (juga gambar di tiket masuk), lalu berjejal menuju jalan keluar, dengan polosnya tidak menyadari bahwa mereka telah berada di hadapan dialog visual terbesar antara iman dan akal dalam sejarah Seni Barat.

Stanza della Segnatura, juga dikenal sebagai ruang tahta Paus Julius II, adalah tempat Raphael naik daun ke panggung seni Romawi. Kamar itu berada di jantung apartemen baru yang dipesan oleh Paus Julius II setelah pemilihannya pada 1503.

Sebagai pelindung (patron) seni yang berpengalaman, Paus Julius II telah mempertimbangkan banyak seniman sebelum membuat pilihan mengejutkan pada Raphael yang  relatif tidak dikenal untuk mendekorasi ruang di mana ia akan menerima para pemimpin negara seperti raja Italia tengah, serta subjek spiritualnya sebagai penguasa Western Christendom (Hierarki Kristen Barat). (Reformasi Protestan tidak akan dimulai sampai empat tahun setelah kematiannya.)

Raphael dianggap telah secara visual membangkitkan  kebajikan akan  kebijaksanaan, yang dianggap selama era Renaisans sebagai kualitas yang paling diinginkan pada diri para penguasa. Dengan bantuan gagasan dari asisten Paus Julius II, yakni Tommaso Inghirami, Raphael menciptakan cornice  (cetakan dekoratif di dinding ruangan tepat di bawah langit-langit.) visual kebijaksanaan di sekitar Keuskupan.

Dinding-dindingnya menggambarkan empat mata pelajaran utama pada zaman itu: hukum, filsafat, seni, dan teologi.

Dindingnya luar biasa untuk dilihat, tetapi yang memikat Paus Julius II dan   istananya adalah dua lukisan dinding besar yang saling  berhadapan  di  seberang  ruangan.  

Mereka menggambarkan teologi dengan kedok “Perdebatan” (Disputation), dan filsafat yang diwakili oleh “Mazhab Athena”. Nama-nama yang berbeda  ini  tidak  diberikan  oleh  Raphael,  yang akan   mengenal karya-karya itu   sebagai   alegori  Filsafat dan Teologi. Sebaliknya, itu adalah karya   Giorgio   Vasari,  seorang pelukis   yang beralih  menjadi  sejarawan, menulis 30 tahun setelah karya itu selesai dibuat.

Raphael, baik filsuf maupun teolog, melukis para pemikir, pengkhotbah, dan ilmuwan yang diusulkan oleh Tommaso, tetapi bukan pemeran karakter, yang digunakan dalam banyak karya lain, yang melambungkan artis itu pada ketenaran. Cara baru Raphael menempatkan para tokohnya di ruang bergambar yang memberi makna dan kecemerlangan pada karya tersebut.

“Sekolah Athena.” Fresco, 1509. Stanza della Segnatura, Palazzi Pontifici. Vatikan, Tahta Suci, Kota Vatikan. (Domain publik)

Teologi dan Filsafat

Mengamati lukisan teologi ini, orang melihat bahwa garis yang berbeda dapat dilacak dari Tuhan di puncak, di tengah awan emas, turun ke Kristus dengan tangan terbuka, lalu ke merpati Roh Kudus yang terbungkus dalam lingkaran emas, dan akhirnya ditambatkan oleh monstran (wadah terbuka atau transparan di mana Hosti yang telah dikonsekrasi dibuka untuk dihormati, biasanya pada Gereja Katolik Roma) di atas altar yang memegang Hosti yang disucikan. Sumbu vertikal yang dominan ini menggambarkan finalitas teologi, yang mempelajari hal-hal tentang Tuhan, sebagai kebaikan tertinggi.

Lukisan “Mazhab Athena”, sebaliknya dibelah dua oleh garis horizontal yang ditentukan oleh sosok yang berlari dari kiri dan yang lain bergegas keluar panggung di kanan, menggarisbawahi relevansi filsafat dalam memahami hal-hal di dunia ini.

Pengaturan yang  berbeda dari dua karya menarik perbedaan lain. Para filsuf dipentaskan dalam struktur arkade yang megah, yang mengingatkan pada Basilika Maxentius yang sangat besar di Forum Romawi, model untuk Basilika Santo Petrus yang baru, yang saat itu sedang dibangun oleh kerabat Raphael, Bramante. Arsitektur berfungsi sebagai metafora yang sangat baik untuk filsafat. 

Sebagaimana orang dahulu mengajarkan manusia untuk mendominasi dan mengatur tubuh ruangnya melalui arsitektur, maka mereka menciptakan filsafat sebagai sarana untuk mengatur tubuh pengetahuan mereka. Ruang terbatas dan terstruktur, meskipun terbuka ke arah pemirsa.

Ironisnya, untuk kota yang memiliki lebih dari 500 gereja, lukisan teologi hampir tidak memiliki kerangka arsitektur. Ada sedikit konstruksi di sebelah kiri dan beberapa blok di sebelah kanan, tetapi struktur pekerjaannya terdiri dari orang-orang. Sosok-sosok mengalir di sisi-sisinya seperti lorong-lorong gereja; para nabi dan rasul yang duduk membentuk setengah lingkaran menyerupai apse, dan Yesus, yang dibalut warna putih, muncul sebagai altar. 

Di belakang monstran, lanskap membentang ke cakrawala yang tampaknya tak berujung. Undangan visual dari gambar tersebut mendorong pemirsa untuk mengikuti jejak orang-orang kudus dan para nabi untuk menembus lebih jauh ke dalam misteri iman. Kedua latar tersebut membandingkan perkembangan filsafat manusia dengan sifat Keilahian dari teologi, yang bergantung pada wahyu Tuhan.

Inovasi Raphael

Namun, aspek paling inovatif dari kedua karya tersebut adalah penempatan figur Raphael. Dia mengisi kedua sisi dengan hampir 60 tokoh—suatu prestasi yang luar biasa. Sebelumnya, kelompok-kelompok besar hanya diatur dalam barisan yang menyerupai foto dari buku tahunan sekolah menengah, tetapi Raphael membuat koreografi setiap sosok untuk mengatur mata melalui fresco ke titik puncaknya.

Dalam lukisan “Disputation”, para tokoh yang ada di tepi luar didorong ke ruang penonton. Seorang anak laki-laki yang penasaran mencondongkan tubuh ke langkan, sementara di sisi yang berlawanan seorang pria menunjuk ke bukunya. Dia adalah simbol bid’ah yang mencoba memajukan ide-idenya sendiri. Para sosok berikutnya berputar, berlutut, meraih, dan menunjuk, tak terhindarkan mengarahkan mata ke altar di mana seorang lelaki tua menunjukkan dengan tegas ke atas.

Di sisi lain, lukisan filsafat dimahkotai dengan tiga kubah melengkung dalam perspektif sempurna, mengarahkan pandangan dari puncak karya ke pusatnya. Dibingkai oleh lengkungan pusat, Plato dan Aristoteles dimasukkan ke dalam karya, hampir seperti batu yang dijatuhkan ke air yang tenang. Dampak pemikiran mereka bergejolak di antara para pemikir terkenal yang berkumpul di puncak (termasuk Socrates dalam jubah zaitun menghitung proposisi di jari-jarinya).

Sosok-sosok itu mengarahkan pandangan ke bawah, di mana para filsuf menumpahkan tangga dan tampak menyatu ke dalam aliran pemikiran yang terpisah. Euclid menggerakkan kompasnya, dikelilingi oleh murid-murid yang sibuk. Di sebelah kiri, Pythagoras menjelaskan teoremanya kepada orang muda, tua, dan bahkan orang asing—pria bersorban adalah penghargaan bagi para intelektual Islam dari Mazhab Cordoba.

Penggambaran Raphael tentang filsafat muncul sebagai banjir pengetahuan, yang meningkat sepanjang zaman, ditransmisikan oleh guru kepada siswa ke zaman kita sendiri. Bangga dengan pencapaian ini, Raphael menyisipkan potret dirinya sendiri di paling kanan terlibat dalam diskusi dengan Ptolemy dan Strabo, mungkin berbicara tentang teknik perspektifnya.  Raphael, menatap  penonton,   dimahkotai dengan topi hitam, tampan dan menawan, tidak seperti saingannya Michelangelo yang tampil di tengah komposisi dalam sepatu bot dan baju berwarna lavender.

Usia  Michelangelo   delapan   tahun   lebih tua  dari  Raphael,  dan  sudah  bekerja  di  Kapel Sistina  ketika  seniman  yang  lebih  muda  ini memulai tugasnya. Raphael menambahkan sosok Michelangelo ke lukisan dinding yang sudah jadi dan menampilkan si pendiam Florentine itu sebagai Si Gelap Herakleitos. 

Mungkin maksud Raphael pada karakterisasi itu sebagai backhanded compliment (celaan lewat pujian), karena sosok berpakaian lusuh muncul sebagai gambaran kesendirian yang melankolis.

Dalam dialog yang menawan ini, Raphael menorehkan pada batu pualam berwarna ini berupa lukisan dinding tentang visi Kristen tentang hubungan antara iman dan akal. Bukan antagonis, tetapi mitra pelengkap, satu disiplin adalah untuk mengungkapkan keajaiban dunia fana dan yang lainnya untuk mendapatkan wawasan tentang alam spiritual. Bahkan saat ini, Raphael dengan keanggunan, pesona, dan kreativitasnya yang berani mengajak pemirsa untuk bergabung dalam dialog abadi yang dipandu oleh keindahan ini. (yud)

Elizabeth Lev adalah sejarawan seni kelahiran Amerika yang mengajar, memberi kuliah, dan membimbing di Roma