oleh Luo Ya dan Li Jing
Sejak 24 November, aksi protes dan kerusuhan terus terjadi di Honiara, ibu kota Kepulauan Solomon. Para pengunjuk rasa terutama yang datang dari Malaita, pulau terpadat di negara itu, mengepung gedung Capitol, membakar, menjarah toko-toko warga etnis Tionghoa lokal, dan berbaris menuju Kedutaan Besar Tiongkok untuk Kepulauan Solomon.
Atas permintaan pemerintah Kepulauan Solomon, Australia dan Papua Nugini mengirimkan polisi militer ke sana untuk membantu menjaga ketertiban, dan situasi berangsur-angsur kembali tenang.
Mengenai insiden konflik ini, para pengunjuk rasa menghubungkan penyebabnya dengan pemutusan hubungan diplomatik pemerintah Kepulauan Solomon dengan Taiwan untuk beralih menjalin hubungan diplomatik dengan RRT. Kementerian Luar Negeri komunis Tiongkok mengklaim bahwa pembentukan hubungan diplomatik antara RRT dengan Kepulauan Solomon telah mendapat “dukungan” dari rakyat Solomon.
Selain itu, ketika memberitakan tentang konflik yang terjadi di Kepulauan Solomon, media resmi Partai Komunis Tiongkok berulang kali mempermasalahkan hubungan yang terjalin negara itu dengan Australia, Taiwan, dan Amerika Serikat, dan menyinggung bahwa konflik Solomon didalangi oleh Amerika Serikat dan Australia.
Feng Chongyi, seorang profesor di University of Technology Sydney mengatakan kepada media ‘Epoch Times’ bahwa upaya PKT menjadikan Kepulauan Solomon sebagai “limbah” yang kemudian disiramkan ke Australia dan sekutunya Amerika Serikat adalah tindakan yang tidak berdasar. Tentu ada alasan lain di balik insiden di Kepulauan Solomon itu.
“Perdana Menteri Manasseh Sogavare telah membuat banyak kesalahan dalam urusan dalam dan luar negeri. Para pengunjuk rasa mengaitkan konflik tersebut dengan pemutusan hubungan diplomatik pemerintah negara itu dengan Taiwan dan pembentukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok yang komunis. Ini adalah salah satu alasannya, Tetapi di balik itu ada alasan lain berupa ekonomi negara itu yang merosot dan epidemi”, kata Feng Chongyi.
Profesor Lu Ye-chung dari Department of Diplomacy, National Chengchi University berpendapat pertimbangan yang diutamakan Australia adalah stabilitas regional. Mereka memberi bantuan dalam rangka pemulihan ketertiban lokal sebagai pertimbangan yang paling penting. Bagi Australia, wilayah Pasifik Selatan adalah halaman belakang mereka, tentunya mereka sama sekali tidak berharap bahwa sistem yang tidak stabil muncul di Pasifik Selatan”.
Kepada media ‘Epoch Times’ Lu Ye-chung mengatakan : “Kerusuhan atau protes yang terjadi di Chinatown, menurutnya, itu sangat erat kaitannya dengan distribusi pendapatan ekonomi lokal yang kurang adil. Situasi ekonomi lokal mungkin menjadi pemicu utama insiden”.
Dalam sebuah wawancara dengan Australian Broadcasting Corporation (ABC), Perdana Menteri Kepulauan Solomon yang pro-Beijing Manasseh Sogavare membantah ketidakpuasan para pengunjuk rasa terhadap pemerintahannya, termasuk konflik rasial dan masalah kemiskinan. Dia mengatakan bahwa negara-negara yang saat ini mempengaruhi Malaita adalah negara-negara yang tidak ingin menjalin hubungan dengan RRT.
Menanggapi tuduhan Manasseh Sogavare, pemimpin oposisi Matthew Wale percaya bahwa “bodoh” jika pemimpin menyalahkan kerusuhan pada kekuatan asing. Dia mengatakan : “Saya tidak berpikir ada pihak lain di belakang layar yang melakukan penghasutan, itu semua urusan dalam negeri kita”.
Cendekiawan: Kerusuhan di Kepulauan Solomon Mirip dengan Insiden Anti-Tionghoa di Asia Tenggara
Sebagian alasan terjadinya kerusuhan di Solomon adalah ketidakpuasan publik terhadap pemerintah Sogavare dan permusuhan lama antara Malaita, provinsi terpadat di Salomo dengan pemerintah pusat.
Masyarakat Malaita percaya bahwa distribusi sumber daya yang tidak merata dan kurangnya dukungan ekonomi, membuat Malaita menjadi salah satu provinsi yang paling tidak berkembang di negara kepulauan itu.
Media Australia ‘Brisbane Times’ memberitakan bahwa dampak ekonomi dari wabah COVID-19 tahun lalu, telah meningkatkan ketegangan antara etnis Tionghoa dengan warga setempat di ibu kota Solomon, Honiara juga di Malaita.
Lapangan kerja di Kepulauan Solomon memang terbatas, dan kaum mudanya berpendapat bahwa pemerintah mereka telah dibelenggu oleh kelompok kepentingan asing dan gagal menyediakan layanan sosial bagi rakyat. Ketimpangan antara elit politik dan mayoritas warga semakin melebar. Hal ini membuat warga sipil merasa tidak puas.
Selain itu, penduduk Malaita telah lama mengeluh bahwa rakyat di pulau-pulau mereka, telah diabaikan suaranya oleh pemerintah pusat, ketika Sogavare tiba-tiba mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taipei ke Beijing pada tahun 2019. Itu juga mempertebal ketidakpuasan.
 Lu Ye-chung menegaskan, dalam beberapa tahun terakhir, PKT terus menyusup ke wilayah ini dan bersaing dengan Australia untuk mendapatkan pengaruh di wilayah tersebut.
Atas permintaan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Australia mengirim polisi militer untuk membantu memulihkan ketertiban di daerah tersebut. Hal ini telah menyebabkan ketidakpuasan dari pemerintah Tiongkok.
Para pengunjuk rasa Kepulauan Solomon menuntut Perdana Menteri Manasseh Sogavare mengundurkan diri. Jika Sogavare dipaksa mundur, maka pemerintah baru dapat membangun kembali hubungan diplomatik dengan Republik Tiongkok (Taiwan) dan mengasingkan Republik Rakyat Tiongkok. Ini adalah situasi yang tidak diinginkan oleh Beijing.
Lu menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, modal Tiongkok telah masuk ke Kepulauan Solomon. Setelah pemerintah menjalin hubungan diplomatik dengan rezim Beijing, Beijing dapat mengendalikan ekonomi lokal, menyebabkan penduduk setempat tidak puas terhadap para etnis Tionghoa di sana.
Situasi ini agak mirip dengan insiden anti-Tionghoa yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara pada tahun-tahun antara 1950 hingga 1960. Di mana pada saat itu, PKT gencar mendukung gerakan komunis di Asia Tenggara yang menunjang pemberontakan revolusioner partai komunis di negara-negara itu. Pada akhirnya, etnis Tionghoa lokal yang menjadi kambing hitam”. (sin)