oleh Zheng Gusheng
Perjanjian pinjaman yang berlaku untuk proyek-proyek One Belt One Road (OBOR) yang disponsori oleh pemerintah Tiongkok dituduh menggali jebakan utang bagi negara-negara penerimanya. Uganda, sebuah negara Afrika, menuntut pihak Beijing untuk mengubah ketentuan dalam pembiayaan bandara internasional negara tersebut untuk mencegah berpindahnya hak kendali atas bandara mereka ke tangan pemerintah Tiongkok.
Media Uganda ‘Monitor’ dalam lapornya menyebutkan bahwa, parlemen Uganda dalam penelitian terhadap perjanjian OBOR tentang pembiayaan proyek pengembangan Bandara Internasional Entebbe pada bulan lalu menyimpulkan bahwa pihak Tiongkok memberlakukan persyaratan yang keras, termasuk kemungkinan penyitaan bandara jika terjadi kelalaian dalam pembayaran kembali utangnya. Hal ini menimbulkan kemarahan masyarakat Uganda.
Menurut laporan itu, Otoritas Penerbangan Sipil Uganda memberikan sebanyak 13 tanda yang menunjukkan bahwa perjanjian pinjaman untuk pembiayaan perluasan bandara sebagai ‘tidak adil dan mengikis kedaulatan Uganda’.
Dalam perjanjian tersebut, pemerintah Uganda dapat menyetujui untuk mengesampingkan kekebalan kedaulatan atas aset bandara. Oleh karena itu, jika suatu saat nanti pemerintah Uganda tidak mampu membayar kembali pinjaman, maka pemerintah Tiongkok berhak untuk mengambil tindakan hukum, berupa mengambil alih hak kendali, manajemen atas bandara yang dibiayai.
Pada Maret 2019, Uganda mengirim 11 orang delegasi ke Beijing untuk memohon kepada Exim Bank of China untuk merundingkan kembali ketentuan perjanjian, tetapi ditolak oleh eksekutif Bank Ekspor-Impor Tiongkok. Pihak Exim Bank mengklaim bahwa setiap upaya untuk membuat perubahan akan menyebabkan “preseden buruk”.
Uganda berpartisipasi dalam inisiatif OBOR yang “mencekik leher”. Pada tahun 2015, parlemen negara itu memberi wewenang kepada pemerintah untuk meminjam USD. 200 juta dari Bank Ekspor-Impor Tiongkok dengan tingkat bunga 2% untuk memperluas Bandara Internasional Entebbe. Jangka waktu pembayaran pinjaman adalah 20 tahun, termasuk masa tenggang 7 tahun untuk pembayaran bunga. Masa tenggang akan berakhir tahun depan.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa Bank Ekspor-Impor Tiongkok pernah membekukan dana yang diberikan kepada perusahaan konstruksi Tiongkok yang mengontrak proyek tersebut, menyebabkan proyek tersebut terhenti selama hampir setahun. Proyek perluasan berjalan lambat, sehingga Uganda berisiko gagal membayar utangnya.
Pada Senin (29/11/2021) juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Wang Wenbin, membantah hal ini dalam konferensi pers reguler. Wang Wenbin mengklaim tentang pembekuan dana, pengambilalihan proyek atau aset oleh lembaga keuangan Tiongkok itu “murni ucapan yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki dasar”.
Faktanya, banyak pinjaman yang disalurkan bank pemerintah Tiongkok kepada negara-negara di sepanjang jalur OBOR, memiliki klausul tertentu yang membahayakan kedaulatan negara itu. Jika negara peminjam tidak mampu membayar utangnya, mungkin harus menggunakan pelabuhan strategis dan sumber daya mineral untuk membayar utangnya.
Juga telah dilaporkan sebelumnya bahwa pelabuhan Mombasa di Kenya, mungkin telah jatuh ke tangan pemerintah Tiongkok karena ketidakmampuan negara tersebut membayar utangnya untuk proyek OBOR yang diikuti. Mulanya pada awal tahun ini, pemerintah Kenya membantah kejadian itu dan berjanji tidak akan menyerahkan pelabuhan Mombasa kepada Beijing meskipun terjadi penunggakan pembayarannya.
Pemerintah Sri Lanka setuju pada tahun 2017 untuk menyewakan pelabuhan mereka Hambantota kepada sebuah perusahaan yang dipimpin oleh China Merchants Port Holdings Co., Ltd. untuk masa sewa selama 99 tahun dengan imbalan satu perjanjian senilai USD. 1,1 miliar.
Media Uganda melaporkan bahwa, semakin banyak negara Afrika yang meminjam dari Tiongkok baru menyadari setelah fakta, bahwa mereka tidak akan dapat membayar kembali hutang mereka kecuali mereka meminjam kembali atau membujuk pihak Tiongkok untuk merestrukturisasi kontrak pinjaman. Dan, ketika Beijing memperlambat pinjamannya ke negara-negara Afrika, negara-negara Afrika juga mulai menyadari bahwa jebakan kontrak pinjaman dapat menyebabkan hilangnya kedaulatan. (sin)