oleh Li Yun
Konferensi Tingkat Menteri Kedelapan dari Forum Kerja Sama Tiongkok – Afrika diselenggarakan di Senegal dari 29 hingga 30 November. Dalam pidato lewat video, Presiden Tiongkok Xi Jinping berjanji untuk menyediakan 1 miliar dosis vaksin ke Afrika.
Xi Jinping juga menyatakan bahwa pemerintah Tiongkok akan membantu Afrika membangun atau meningkatkan fasilitas 10 sekolah, membuka kesempatan kerja bagi siswa siswi Afrika, membantu Afrika dalam pemberantasan kemiskinan dan mengembangkan ekonominya.
Forum Kerjasama Tiongkok – Afrika dibentuk pada bulan Oktober 2000, dan 53 dari 54 negara di Afrika menjadi anggota forum tersebut.
Media Prancis ‘Le Monde’ pada 26 November menerbitkan laporan berjudul ‘Afrika dan Tiongkok — Saat-Saat Kekecewaan’. Dengan mengutip ucapan yang diberikan para ahli, laporan tersebut menyebutkan bahwa Forum Kerjasama Tiongkok – Afrika kali ini membunyikan alarm untuk mengakhiri harapan. Negara-negara Afrika sekarang secara bertahap menemukan bahwa dana yang disediakan oleh pemerintah Tiongkok itu harus dibayar dengan mahal oleh negara di Afrika.
Artikel tersebut menyebutkan bahwa dari tahun 2002 hingga 2020, Tiongkok telah menggantikan status Amerika Serikat sebagai mitra dagang terbesar Afrika. Satu dari setiap tiga proyek konstruksi Tiongkok di luar negeri berada di Benua Afrika. Namun, karena efek terbatas dari rencana industri, pertukaran perdagangan yang tidak seimbang, jebakan utang, korupsi kelompok elit, dan tidak dihargainya hak-hak buruh oleh perusahaan Tiongkok, ketidakpuasan Afrika terus meningkat.
Laporan itu juga menyebutkan bahwa dalam kontrak kerja sama yang ditandatangani oleh Kongo dengan Beijing lebih dari 10 tahun lalu mengenai ‘Infrastruktur ditukar dengan mineral’, ternyata banyak proyek infrastruktur yang dijanjikan oleh pihak Tiongkok tidak pernah terwujud, termasuk membangun 31 gedung untuk rumah sakit dan 2 universitas.
Lan Shu, seorang komentator di AS mengatakan : “Tidak hanya negara-negara Afrika, tetapi banyak negara di seluruh komunitas internasional, terutama negara-negara demokratis, tidak lagi menggantungkan harapan kepada pemerintah Tiongkok. Kredibilitas Beijing terus menurun. Hal ini diakibatkan oleh Beijing telah melakukan terlalu banyak perbuatan buruk, ia sendiri merasa berhasil mengambil keuntungan dari orang lain, tetapi semua perilakunya terlihat di mata semua negara di dunia”.
Di sisi lain, Kantor Informasi Dewan Negara Tiongkok pada 26 November merilis buku putih berjudul “Kerjasama Tiongkok – Afrika di Era Baru” masih menekankan solidaritas dan kerjasama dengan negara-negara Afrika masih kokoh.
Kolumnis Epoch Times Wang He menjelaskan bahwa bantuan yang diberikan pemerintah Tiongkok kepada negara di Afrika pada dasarnya memiliki beberapa pertimbangan.
“Pertama adalah pertimbangan di bidang politik. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, suara negara-negara Afrika sangat penting bagi Beijing. Yang kedua adalah pertimbangan di bidang ekonomi. Beijing sesungguhnya telah memperlakukan Afrika sebagai koloni dalam pembangunan. Oleh karena itu, perilaku ini sering disebut sebagai neokolonialisme. Meskipun skala ekonomi antara Tiongkok dan negara Afrika telah tumbuh secara substansial, tetapi defisit menjadi perhatian utama negara-negara Afrika, dan defisit ini ternyata merupakan masalah yang tidak dapat diatasi”, kata Wang He.
Wang He mengungkapkan bahwa Beijing juga menganggap Afrika sebagai basis pasokan bahan mentah dan basis pembuangan produk Tiongkok.
Wang He mengatakan : “Kemudian pertumbuhan ekonomi Afrika sendiri, karena perilaku dumping ekspor Tiongkok di sektor manufaktur, menimbulkan dampak yang sangat mendalam di Afrika. Kemiskinan Afrika sendiri memiliki banyak faktor, salah satunya adalah karena pertukaran ekonomi antara Tiongkok dengan Afrika telah menimbulkan efek negatif bagi negara Afrika”.
Wang He juga menunjukkan bahwa Inisiatif One Belt One Road Tiongkok merupakan jalur untuk korupsi. Pembangunan fasilitas infrastruktur berskala besar di Afrika dan pemberian pinjaman dalam jumlah besar, kurangnya transparasi menyebabkan korupsi merajalela. Hal mana telah menciptakan jebakan utang yang sangat dalam bagi negara-negara Afrika.
Lewat Inisiatif One Belt One Road, Afrika telah menjadi mitra utama dari strategi ekspansi regional pemerintah Tiongkok. Setidaknya 46 negara di Benua Afrika telah menandatangani Perjanjian One Belt One Road dengan pemerintah Tiongkok. Saat ini, sudah ada 3.800 lebih perusahaan Tiongkok yang telah berinvestasi di negara-negara Afrika.
Lan Shu juga menunjukkan, saat ini banyak negara sudah sadar tentang klaim yang digembar-gemborkan Beijing bahwa Inisiatif One Belt One Road bertujuan untuk memberikan bantuan ekonomi kepada negara lain melalui pembangunan infrastruktur seperti jembatan, jalan, dan bandara sebenarnya adalah untuk memecahkan masalah kelebihan kapasitas produksi dalam negeri Tiongkok.
Lan Shu mengatakan : “Setelah jembatan selesai dibangun, jalanan berhasil ditingkatkan, ternyata negara-negara ini tidak mengalami peningkatan lapangan kerja buat rakyatnya, bahkan tidak membawa lebih banyak pertumbuhan ekonomi. Yang terlihat hanya jalan lebih bagus, lebih lebar, jembatan untuk penyeberangan bertambah, bandara lebih mentereng. Pihak Tiongkok membawa sendiri perusahaan, tenaga kerja, peralatan, meterial, teknologi mereka sendiri. Usai proyek mereka angkat kaki, tinggallah negara-negara ini memikul hutang besar kepada Tiongkok”.
Pusat Studi Afrika – Tiongkok dari Universitas Johns Hopkins di Amerika Serikat memperkirakan bahwa antara tahun 2000 hingga 2019, lembaga keuangan Tiongkok telah menandatangani 1.141 perjanjian utang dengan negara-negara Afrika dengan dana pinjaman total sebesar USD. 153 miliar.
Tiga tahun lalu, ketika Forum Kerjasama Tiongkok – Afrika diadakan, beberapa pengamat telah menyebutkan bahwa investasi dan pinjaman pemerintah Tiongkok di Afrika tidak lain adalah menciptakan jebakan utang yang sulit bagi negara-negara kecil Afrika untuk membayar kembali utang mereka yang besar. (sin)