oleh Lin Yan
Partai Komunis Tiongkok (PKT) sudah sejak lama berupaya untuk secara ketat mengendalikan informasi terkait kegiatan mereka. Bahkan sampai sekarang pun bukannya semakin kendur tetapi semakin ketat.
Selama tahun lalu, tampak PKT semakin tidak percaya diri, yang dapat dilihat dari kasus-kasus seperti otoritas Beijing membatasi publikasi mengenai informasi penggunaan batu bara, Mahkamah Agung Tiongkok memutuskan untuk menghapus catatan hukuman para pembangkang politik dalam database, dan penurunan jumlah wisatawan asing yang masuk dan keluar daratan Tiongkok menurun sampai 50 kali lipat selama periode yang sama.Â
Sampai tahun ini, Kementerian Pendidikan Tiongkok menghentikan hampir 300 proyek kerja sama dengan universitas asing.
Perkembangan terakhir adalah bahwa dengan penerapan undang-undang keamanan data yang baru diumumkan oleh otoritas Beijing, perusahaan dan investor asing semakin merasakan kesulitan dalam memperoleh informasi dalam negeri Tiongkok. Termasuk laporan-laporan mengenai persediaan umum dan informasi keuangan. Bahkan, beberapa pemasok yang menyediakan lokasi kapal di perairan Tiongkok. Kini, telah berhenti berbagi informasi dengan pelanggan asing.
“Selama Ini Tiongkok Sebuah Kotak Hitam Besar, Tetapi Kini Menjadi Semakin Gelap”
Stephen Nagy, seorang profesor senior di Institut Politik dan Studi Internasional di International Christian University, mengatakan kepada Wall Street Journal (WSJ) : “Selama ini Tiongkok adalah sebuah kotak hitam”.
Dia mengatakan bahwa hilangnya saluran informasi akan membuat lebih sulit bagi orang asing untuk memahami apa yang terjadi di Tiongkok, “Kotak hitam ini menjadi semakin gelap”, katanya.
WSJ melaporkan bahwa pebisnis dan analis politik percaya bahwa tuntutan untuk meningkatkan kerahasiaan itu bukanlah hasil dari sebuah kebijakan Tiongkok, tetapi kombinasi dari berbagai faktor, seperti respons terhadap pandemi, peningkatan perhatian terhadap keamanan data, dan lingkungan politik PKT yang skeptis terhadap dunia.
Kontrol perbatasan yang ketat terkait dengan epidemi COVID-19, termasuk pembatalan penerbangan dan karantina penumpang selama berminggu-minggu, telah menyebabkan penurunan tajam dalam komunikasi tatap muka antara warga negara Tiongkok dengan dunia, dan mengintensifkan pemisahan (decoupling) mereka dengan dunia luar.
Menurut data yang dipublikasikan oleh Administrasi Penerbangan Sipil Tiongkok, maskapai penerbangan hanya mengangkut sekitar 1 juta orang penumpang masuk dan keluar daratan Tiongkok dalam 8 bulan pertama tahun 2021, sementara hampir 50 juta diangkut pada periode yang sama pada 2019 (sebelum pandemi).
WSJ melaporkan bahwa beberapa warga Tiongkok yang ingin bepergian ke luar negeri mengatakan bahwa pihak berwenang menolak untuk memperbarui paspor mereka, atau mereka “dibawa ke kamar untuk diajak bincang-bincang” oleh petugas imigrasi di bandara yang mencoba untuk mencegah atau memperingatkan warga Tiongkok agar tidak pergi ke luar negeri, dengan mengatakan bahwa pemerintah telah menginstruksikan mereka untuk meminimalkan perjalanan ke luar negeri.
Informasi Sensitif Didefinisikan Secara Samar-samar, Semua Pihak Ingin Mencari Aman
Undang-undang tentang keamanan data yang mulai berlaku pada 1 September menetapkan, hampir semua kegiatan terkait data harus diawasi oleh pemerintah Tiongkok, termasuk pengumpulan, penyimpanan, penggunaan, dan pendistribusiannya.
WSJ mengutip ungkapan dari Jonathan Crompton, seorang pengacara Hongkong di Reynolds Porter Chamberlain LLP melaporkan bahwa sejak pengesahan undang-undang tersebut, perusahaan daratan Tiongkok menjadi semakin enggan untuk bekerja sama dengan perusahaan multinasional yang mencakup berbagi informasi mengenai data keuangan, perawatan kesehatan, transportasi umum, area strategis seperti infrastruktur dan lainnya.
Kuncinya adalah bahwa pihak berwenang tidak jelas tentang definisi informasi sensitif, sehingga membuat perusahaan Tiongkok berusaha cari aman. Karena mereka tidak tahu data mana yang boleh dan tidak boleh dibagikan kepada mitra asing.
Seorang eksekutif perusahaan teknologi besar Amerika Serikat membenarkan bahwa, perusahaan Tiongkok yang memasok kobalt dan lithium semakin enggan untuk berbagi informasi dengan pelanggan luar negeri, bahkan berapa banyak persediaan yang mereka miliki di gudang, atau berapa banyak persediaan yang akan didaur ulang dan detail lainnya juga tidak lagi diberikan. Hal ini jelas mempersulit perusahaan asing untuk merencanakan produksi dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan.
Basis Data Komersial Tidak Lagi Terbuka untuk IP Luar Negeri
Salah satu database investasi dan pembiayaan Tiongkok yang paling banyak dikunjungi, Zero2ipo Holdings Inc., telah berhenti menjual datanya ke pelanggan luar negeri dan hanya terbuka untuk pengguna dalam negeri dan penggunaan internal.
Steve Dickinson, seorang pengacara di Harris Bricken Law Firm di Amerika Serikat mengatakan bahwa, salah satu kliennya yang perusahaan Amerika meminta perusahaan Tiongkok untuk memberikan laporan keuangan yang diaudit untuk menentukan apakah itu memenuhi ketentuan pada segi kredibilitasnya, tetapi mendapat penolakan dari perusahaan Tiongkok tersebut. Alasannya, bahwa ketentuan yang digariskan kebijakan Beijing tidak mengizinkan mereka untuk mengungkapkan laporan keuangan kepada pihak asing. Pada akhirnya, pelanggan Amerika tersebut terpaksa melakukan kerja sama dengan perusahaan Tiongkok tanpa dilengkapi informasi keuangan pihak bersangkutan.
Steve Dickinson mengatakan bahwa kurangnya data telah meningkatkan risiko tertipu bagi perusahaan asing yang berbisnis di Tiongkok.
Dia menegaskan dari pengalamannya sendiri, bahwa ketika orang yang berada di kantornya di Tiongkok ingin mengunjungi situs atau bermaksud mendapatkan informasi tentang merek dagang Tiongkok, database perusahaan, atau situs Tiongkok lainnya, maka ia juga akan menghadapi kesulitan yang sama. Akibatnya, ia hanya bisa menyewa tim lokal di Tiongkok untuk mendapatkannya, walaupun akurasinya patut dipertanyakan.
Pertukaran Akademik Internasional Menara Gading (Ivory tower) Menyusut Secara Signifikan
Perubahan di dunia akademis bahkan lebih luar biasa, karena akademisi pernah dianggap sebagai mercusuar kontak antara Tiongkok dengan Barat.
Selain terus-menerus menutup jalur akses para sarjana Barat ke database penelitian Tiongkok, universitas-universitas Tiongkok juga semakin membatasi kontak dan pertukaran akademis dengan dunia luar.
Menurut data terakhir yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan pada bulan Agustus tahun ini, pihaknya telah menghentikan 286 proyek kerja sama pendidikan dengan universitas asing pada tahun 2018 dan 2019, dengan alasan bahwa beberapa di antara proyek tersebut tidak memenuhi standar pengajaran dan bimbingan Kementerian Pendidikan.
Menurut versi yang diarsipkan dari situs web resmi pada September, negara-negara yang paling banyak terkena penghentian proyek kerja sama pendidikan adalah Inggris, Rusia, dan Amerika Serikat. Ilmu komputer, bioteknologi, ekonomi internasional, dan perdagangan adalah kurikulum yang paling terpengaruh.
Baru-baru ini, universitas Tiongkok telah menerapkan prosedur screening yang lebih ketat bagi para sarjana di bidang hubungan internasional dan studi sejarah Tiongkok. Ketika mereka ini ingin bepergian ke luar negeri atau berpartisipasi dalam konferensi akademik dengan para sarjana asing, maka mereka harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang.
Dalam Kongres Rakyat Nasional yang diselenggarakan pada bulan Maret tahun ini, mantan Dekan Akademi Hubungan Internasional Universitas Peking, Jia Qingguo mengatakan bahwa dengan memperhatikan “berbagai pertimbangan”, beberapa departemen pemerintah telah memperkuat kontrol akademik, seperti beberapa universitas hanya mengizinkan peneliti untuk berkomunikasi dengan warga negara asing dihadapan paling tidak seorang kolega yang hadir.
Melonggarkan Pembatasan Visa Bagi Jurnalis Asing Tidak Setara, Jurnalis Asing di Tiongkok Sering Dilecehkan
Sejak awal epidemi bulan Januari 2020, Xi Jinping sudah tidak melakukan kunjungan ke luar negeri. Dalam konferensi videonya dengan Joe Biden bulan November lalu, Xi menyatakan setuju untuk melonggarkan pembatasan visa bagi jurnalis asing.
Sebuah survei yang dirilis oleh China Foreign Correspondents Club yang berbasis di Beijing menemukan bahwa hampir 40% jurnalis asing di daratan Tiongkok mengatakan, pada tahun 2020. mereka sering kali harus menghadapi pelecehan, interogasi atau ditahan usai berbicara dengan jurnalis Tiongkok. Proporsi ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2019 (25%).
Dalam dua tahun terakhir, ada belasan jurnalis Amerika Serikat telah diusir dari daratan Tiongkok oleh pihak berwenang Tiongkok dengan alasan visa dan lainnya. Pemerintahan Trump akhirnya juga memberikan batasan melalui kuota terhadap jurnalis media resmi Tiongkok, untuk meliput berita bisnis di AS sebagai balasan atas tindakan pemerintah Tiongkok.
Pihak Berwenang Menghapus Vonis Hukuman Para Pembangkang yang Dijatuhkan Pengadilan dari Basis Data Resmi
Sebelum Partai Komunis Tiongkok merayakan HUT ke-100, mereka sudah secara sistematis menghapus atau menyembunyikan vonis hukuman terhadap para pembangkang. Pemerintah asing dan organisasi berita, sering mengunjungi database ini untuk memverifikasi tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan PKT.
Menurut laporan yang diberikan oleh ‘Dui Hua Foundation’, sebuah yayasan berbasis di San Francisco yang membela para tahanan politik dan agama Tiongkok, bahwa pada waktu yang hampir bersamaan, database yang dimiliki pihak berwenang yang dikelola oleh Jaringan Dokumen Penghakiman Tiongkok — Pihak berwenang Tiongkok telah membersihkan ribuan dokumen politik, dokumen-dokumen pengadilan untuk kasus sensitif yang “membahayakan keamanan nasional”, “kejahatan terkait agama X” dan peninjauan kembali hukuman mati.
John Kamm, pendiri dan ketua ‘Dui Hua Foundation’ mengatakan kepada WSJ bahwa pemerintah Tiongkok menolak masyarakat umum mengakses dokumen-dokumen ini, mungkin untuk mencegah pejabat dan aktivis asing memperolehnya kemudian menekan pemerintah Tiongkok untuk melepaskan pada tahanan politik dan tahanan hati nurani.
John Kamm mengatakan : “Tingkat pengungkapan kasus politik sensitif sekarang nol persen”.
“Tanpa Legitimasi Pemerintah, Bagaimana Timbul Percaya Diri Terhadap Sistem ?”
Terkait dengan perkembangan ekonomi di masa mendatang, Huang Qifan, mantan walikota Chongqing dalam pidatonya di International Financial Forum (IFF) yang diadakan di Nansha, Guangzhou pada 4 Desember mengatakan, bahwa ekonomi Tiongkok akan lebih bergantung pada pasar domestik, dan Tiongkok akan memulai pola pembangunan baru yang berdasarkan pada sirkulasi internal. Dia menekankan bahwa sirkulasi internal bukan “involusi” (involution)atau “tang ping” (keengganan untuk bekerja keras).
Ada banyak tanda yang menunjukkan bahwa ketika ekonomi Tiongkok semakin matang, jalur promosi untuk rakyat tingkat bawah nyaris terhenti. Lebih banyak peluang itu diraih oleh golongan atas dan anak-anak para elit yang terhubung secara politik. Sedangkan anak-anak dari keluarga miskin atau pedesaan lebih sulit untuk maju.
Perdana Menteri Li Keqiang mengakui secara terbuka, bahwa lebih dari 600 juta orang penduduk Tiongkok memiliki pendapatan bulanan rata-rata kurang dari USD. 140,- (setara dengan IDR. 2.000.000,-), dan mereka menyita sekitar 40% dari populasi negara itu. Pendapatan bulanan ini masih lebih rendah sekitar USD. 40,- dari rata-rata pengeluaran bulanan untuk hidup di pedesaan Tiongkok pada tahun 2020.
Tang Qing, seorang komentator di New York mengatakan bahwa kasus “tang ping” dan “involusi” telah menjadi mentalitas yang non-kekerasan dan non-kooperatif dari warga Tiongkok. Semangat partai yang berumur seabad telah punah.
“PKT tidak memiliki legitimasi kekuasaan akibat kekuasaannya diperoleh melalui kudeta pemerintahan Chiang Kai-shek (Republik Tiongkok). Sekarang mereka bertahan dengan mengandalkan terjaganya stabilitas. bagaimana timbul percaya diri terhadap sistem ?” Dia mengatakan : “Tanpa rasa percaya diri, mustahil untuk membuka diri terhadap dunia luar”. (sin)