oleh Xu Jian
Meskipun Korea Utara dan Tiongkok memiliki hubungan ekonomi dan diplomatik yang erat, tetapi selama pemerintahan Kim Jong-un, kobaran sentimen anti-Tiongkok dari masyarakat Korea Utara justru membesar
Dalam laporan Financial Times pada 12 Desember disebutkan bahwa para analis umumnya berpendapat, ketergantungan Pyongyang terhadap Beijing menjadi gangguan terbesar bagi kelangsungan hidup jangka panjang rezim, karena itu mereka menganggap pemerintah komunis Tiongkok lebih merupakan ancaman daripada Amerika Serikat.
Korea Utara menganggap Tiongkok sebagai ancaman keamanan nasional terbesar
CNN sebelumnya pernah melaporkan bahwa ekonomi Korea Utara hampir seluruhnya bergantung pada Tionmgkok. Sejak Perang Korea pada tahun 1950-an, kedua negara Asia itu disebut sebagai sekutu, karena Korea Utara semakin terisolasi dari dunia luar, dan Tiongkok yang sama-sama menganut komunisme telah menjadi mitra dagang terbesarnya.
Andrei Lankov, pakar urusan Korea Utara dari Universitas Nasional Seoul, Korea Selatan mengatakan: “Mereka yang berpendapat bahwa Pyongyang dan Beijing telah mencapai ‘persatuan ideologis’ adalah sama sekali tidak berdasar”.
“Setiap pejabat kontra intelijen Korea Utara akan memberitahu Anda bahwa Beijing adalah ancaman keamanan domestik terbesar bagi Korea Utara, karena ia dapat merusak (Korea Utara) dari dalam”, kata Andrei Lankov.
Menurut analisis Financial Times, gara-gara apa yang dikobarkan Mao Zedong “Mendukung Korea Utara untuk Melawan Agresi AS” tahun 1950-an itu, kedua negara tersebut jadi saling bertolak belakang. Kemudian penyusupan yang terus menerus dilakukan oleh Beijing ke Korea Utara membuat dinasti Kim menjadi semakin takut.
Analis memberikan contoh: Korea Utara telah menghapus sejarah Kim Il-sung, pendiri dinasti Kim yang sebelumnya pernah menjadi anggota Partai Komunis Tiongkok. Jadi sejarah hanya menyebutkan bahwa Partai Komunis Tiongkok cuma berpartisipasi dalam perang, ketika menyinggung soal Perang Korea (antara Utara dengan Selatan) yang berkobar sejak tahun 1950 hingga 1953.
Menurut catatan sejarah, Di bawah arahan Komite Provinsi Manchuria dari Partai Komunis Tiongkok, Kim Il-sung ikut bergabung dalam organisasi ‘Tentara Gabungan Anti-Jepang Timur Laut Tiongkok’. Namun, Partai Komunis Tiongkok kemudian melakukan pembersihan besar-besaran terhadap para kader dan tentara organisasi tersebut yang beretnis Korea Utara. Hal ini membuat Kim Il-sung sakit hati dan membenci Partai Komunis Tiongkok. Usai Perang Korea, giliran Kim Il-sung melenyapkan semua orang yang dekat dengan Partai Komunis Tiongkok. Karena itu Beijing memutuskan untuk menarik kembali sisa pasukan Tiongkok di Korea Utara pada akhir era 50-an.
PKT adalah musuh bebuyutan Korea Utara
“Orang Korea Utara memiliki pepatah yang berbunyi: “Jepang adalah musuh ratusan tahun, tetapi Tiongkok adalah musuh ribuan tahun”. kata Sun Yun, direktur Program Tiongkok di think tank Stimson Center, Washington DC.
Selama Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet, hubungan antara Korea Utara dengan Partai Komunis Tiongkok juga tegang. Korea Utara justru memanfaatkan kontradiksi yang terjadi antara Tiongkok dengan Uni Soviet untuk memperoleh keuntungan. Namun, pada saat itu, Beijing justru menyediakan tempat berlindung bagi pejabat senior Korea Utara yang membelot dan melatih mereka agar bisa menjadi pemimpin rezim Korea Utara di kemudian hari.
Pada tahun 2013, Kim Jong-un mengeksekusi pamannya, Jang Sung-taek, yang dekat dengan pejabat PKT. Pada tahun 2017, saudara tiri Kim Jong-un yang dibina PKT dibunuh di Bandara Kuala Lumpur. Ini semua memiliki alasan yang berkaitan dengan sejarah hubungan kedua negara itu.
Financial Times melaporkan bahwa bagi Pyongyang, Beijing yang telah menormalisasi hubungannya dengan Korea Selatan pada tahun 1992, tetapi tidak membantu Korea Utara mendapatkan pengakuan dari Amerika Serikat, dipandang sebagai pengkhianatan besar terhadap Pyongyang. John Delury, seorang profesor di Universitas Yonsei, Seoul yang melakukan penelitian Tiongkok mengatakan: “Demi kepentingan Partai Komunis Tiongkok, begitu mudahnya Korea Utara disingkirkan”.
Sejak saat itu, Korea Utara bermusuhan dengan Beijing dengan mengembangkan senjata nuklir dan membatasi pengaruh PKT di perbatasannya. Misalnya, banyak usaha patungan kedua negara ditutup.
Pada tahun 2012, pejabat Korea Utara menyita fasilitas penambangan bijih besi yang dibangun oleh perusahaan Tiongkok di barat daya Korea Utara dan mendeportasi semua pekerja yang didatangkan dari daratan Tiongkok.
Sedangkan Jembatan Persahabatan Tiongkok – Korea Utara yang melintas di atas Sungai Yalu, menghubungkan Kota Dandong, Tiongkok dan Kota Sinui, Korea Utara, yang didanai Tiongkok dan dibangun pada tahun 2013 itu sampai sekarang masih dibiarkan “menganggur”, lantaran tidak dihubungkan dengan jaringan jalan utama di Kota Sinui.
“Bagi Korea Utara, membuka hubungan ekonominya dengan Beijing akan sama artinya dengan menyerahkan kunci dinasti Kim”, kata John Delury. Ketika Pyongyang memutuskan untuk memasang jaringan telepon seluler dasar, ia memilih perusahaan Mesir. “Soal terjadi perang, Korea Utara lebih takut menghadapi Amerika Serikat, tetapi soal subversi atau kudeta, Korea Utara lebih takut menghadapi Tiongkok (PKT)”, katanya.
Kontak Kim Jong-un dengan mantan Presiden AS Trump soal senjata nuklir beberapa tahun lalu benar-benar membuat rezim Beijing khawatir. Karena rezim Beijing takut Korea Utara terlepas dari kendalinya.
Sun Yun, direktur Program Tiongkok di think tank Stimson Center, Washington DC. mengatakan: “Sejauh menyangkut kelangsungan hidup rezim Kim Jong-un, persaingan antara AS dengan Tiongkok lebih menguntungkan Kim Jong-un, karena Beijing tidak akan meninggalkannya”. “Tapi rezim Beijing hanya bersedia membayar harga terendah, dengan standar asalkan rakyat Korea Utara tidak mati kelaparan, tetapi tidak mungkin membuat mereka kenyang”. (sin)