oleh Yi Ru
Biro Statistik Nasional Tiongkok mengumumkan pada 17 Januari bahwa produk domestik bruto (PDB) Tiongkok tahun lalu telah mengalami kenaikan sebesar 8,1%. Namun demikian, secara triwulanan justru menunjukkan adanya penurunan : Triwulan 1 tumbuh 18,3%, Pertumbuhan triwulan 2 turun menjadi 7,9%. Triwulan 3 turun lagi menjadi 4,9%, dan triwulan 4 pertumbuhan tinggal 4%.
Li Hua (nama samaran), seorang pengusaha perhotelan di selatan daratan Tiongkok mengatakan kepada reporter ‘Epoch Times’, bahwa tidak ada seorang pun warga daratan Tiongkok yang mempercayai data pemerintah komunis Tiongkok.
“Rekor terindah sedunia yang diciptakan komunis Tiongkok adalah saat mereka dalam situasi paling miskin, saat PKT baru merebut kekuasaan dan mendirikan RRT. Mereka mengklaim bahwa angka pertumbuhan ekonomi telah mencapai angka yang tertinggi dalam sejarah. Katanya hasil panen gandum berlipat ganda, tetapi justru pada saat itu, jumlah rakyat yang mati kelaparan paling banyak.”
Li Hua juga menyinggung soal jika ekonomi tumbuh baik sebagaimana dikatakan pemerintah, perusahaannya tidak akan gulung tikar.
“Hotel saya tutup bulan lalu karena tidak ada bisnis. Saya tahu bahwa banyak toko yang ditutup dan ganti bos, tetapi bukan ganti bos lalu masalah teratasi. Pertama karena jumlah pengangguran terlalu banyak, mereka mencoba wirausaha karena tidak dapat menemukan pekerjaan. Bahkan jika mereka mengalami kegagalan, mereka juga ingin mencoba. Tingkat kegagalan usaha akibat ganti bos mencapai 70%,” katanya.
Li Hua mengatakan bahwa langkah selanjutnya adalah hidup dengan cara “menggerogoti modal” sambil menunggu dan melihat situasi, tetapi dia sangat bingung terhadap prospek perkembangan di masa depan.
Mengenai pertumbuhan PDB tahunan sebesar 8,1% tahun lalu, pakar keuangan Taiwan Edward Huang mengatakan kepada ‘Epoch Times’ pada 18 Januari, bahwa dunia luar percaya bahwa angka tersebut bukan angka sebenarnya.
“Alasan utama mengapa dunia luar umumnya mempertanyakan angka ini adalah karena situasi usaha di daratan Tiongkok secara keseluruhan sangat tidak kondusif, termasuk kena dampak epidemi, penarikan modal asing, kebijakan pemerintah sendiri untuk menekan industri tertentu. Dan pada kuartal keempat, kebijakan regulasi pihak berwenang menjadi semakin ketat. Selain itu juga terpengaruh oleh gelombang baru epidemi. Saya curiga angka ini dibesarkan,” kata Edward Huang
Edward Huang juga mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan 1 tahun lalu yang 18,3% itu dipengaruhi oleh periode dasar.
“Pada kuartal pertama tahun 2020, epidemi berkecamuk di Tiongkok. Lockdown perkotaan dan bisnis tutup terjadi dari Kota Wuhan sampai ke seluruh negeri, sehingga ekonomi Tiongkok jatuh sampai ke dasar jurang. Karena periode dasar triwulan 1 tahun sebelumnya rendah, maka tingkat pertumbuhan tahunan untuk triwulan 1 tahun lalu jadi tinggi.”
Menurut Biro Statistik Nasional Tiongkok, produk domestik bruto pada triwulan 1 tahun 2020 adalah RMB. 20.650,4 miliar, turun sebesar 6,8% year over year. Data resmi juga menunjukkan, bahwa pertumbuhan triwulan 1 tahun 2020 lebih rendah dari pertumbuhan triwulan 4 tahun 2019.
Frank Tian Xie, profesor tetap di Aiken School of Business University of South Carolina mengatakan kepada ‘Epoch Times’, bahwa otoritas Tiongkok mulai membersihkan dan melanjutkan pekerjaan dan produksi pada kuartal kedua setelah wabah. Mereka berhasil menggaet keuntungan besar melalui pemasokan komoditas Tiongkok ke pasar internasional yang permintaannya cukup tinggi saat epidemi sedang merajalela. Sedangkan sebagian dari pertumbuhan tahun lalu terutama ada hasil sumbangan dari ekspor dan pembangunan infrastruktur.
“Saat ini, tren ekspor juga terus menurun. Karena produksi masing-masing negara di dunia mulai perlahan pulih, termasuk juga persiapan peralihan dari rantai pasokan kian matang, saya pikir permintaan terhadap produk Tiongkok akan melemah. Oleh sebab itu situasi ekspor tidak akan cerah”, kata Frank Tian Xie.
Frank Tian Xie mengatakan bahwa di antara troika pertumbuhan ekonomi (ekspor, investasi, konsumsi), dalam hal investasi di bidang infrastruktur, gelembung di pasar real estat Tiongkok sangat serius. Kasus gagal bayar utang Evergrande telah menunjukkan masalah ini.
Akibat pengetatan pengawasan oleh otoritas sejak bulan September tahun lalu, pasar properti Tiongkok menjadi kian lesu. Raksasa real estat Tiongkok Evergrande Group menjadi fokus perhatian dunia karena krisis utang.
Pada Oktober, efek domino dari kasus Evergrande muncul, dan satu demi satu perusahaan real estat besar juga gagal membayar utang mereka.
Menurut data yang tidak lengkap dari Majalah Time, setidaknya ada 274 perusahaan real estat Tiongkok gulung tikar yang tercatat hingga bulan September tahun lalu. Rata-rata satu perusahaan bangkrut setiap hari.
Selama tahun lalu, setelah pemerintah Tiongkok menghentikan IPO perusahaan Ant Group, kemudian mengambil tindakan untuk membersihkan berbagai raksasa platform online, menindak industri hiburan, pendidikan luar sekolah dan sebagainya, akibatnya banyak orang kehilangan pekerjaan.
Frank Tian Xie mengatakan bahwa tingkat konsumsi saat ini berada dalam situasi sangat lemah, “Di bawah epidemi, meskipun beberapa industri ekspor masih aktif berproduksi, tetapi sebagian besar industri terpaksa mem-PHK sejumlah besar karyawan, industri katering dan jasa tutup, sehingga tingkat pengangguran memuncak. Jadi, kemampuan konsumsi masyarakat sangat lemah.”
Sebuah laporan survei oleh Bank Sentral Tiongkok pada bulan September tahun lalu mengungkapkan bahwa, lebih dari separuh responden mengaku sudah tidak memiliki tabungan dalam dua tahun terakhir.
Laporan survei kuartal ketiga bank sentral tentang penabung di perkotaan yang dirilis pada bulan Oktober tahun lalu menunjukkan bahwa kesediaan investasi dan konsumsi turun.
Mengenai ekonomi Tiongkok tahun ini, Edward Huang mengatakan bahwa pada paruh pertama tahun ini, jika pemerintah Tiongkok gagal dalam mencegah penyebaran Omicron dan terus menerapkan lockdown ketat kota. Maka dapat diperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidak akan membaik.
Edward juga mengatakan bahwa karena Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-20 akan segera diadakan, akibat prioritas tekanan adalah menjaga stabilitas politik, maka tidak menutup kemungkinan akan ada lebih banyak pembatasan terhadap kegiatan ekonomi, sehingga tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi relatif lebih besar tahun ini.”
Frank Tian Xie mengatakan bahwa ekonomi Tiongkok sebenarnya sedang menghadapi krisis yang serius, dan konsumsi yang lesu serta krisis real estate akan membuat ekonomi Tiongkok tahun ini semakin tertekan. “Tahun ini, penutupan pabrik, kebangkrutan usaha kecil, dan pengalihan rantai industri akan terus berlanjut, dan konsumsi akan terus melemah.”
Frank Tian Xie mengatakan bahwa, pemerintah Tiongkok hanya bisa menggunakan cara mengucurkan dana untuk mendukung real estat agar tidak bangkrut sekarang. “Untuk membantu Evergrande melewati kesulitan. Tetapi jumlah utang Evergrande benar-benar besar, dan banyak perusahaan real estat juga sedang menghadapi masalah yang sama. Mungkin saja pemerintah bisa menunda waktu meletusnya gelembung real estat. Tapi gelembung itu cepat atau lambat akan meletus juga”.
Li Hua, pengusaha perhotelan mengatakan : “Tidak ada cara yang baik untuk menyelesaikan masalah yang saya hadapi. Perekonomian Tiongkok tampaknya tidak akan membaik, dan itu akan menyebabkan beberapa konsekuensi yang kejam.” (sin)