ETIndonesia- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras praktik perbudakan modern yang yang terjadi di Rumah Bupati Langkat non aktif, Terbit Rencana Perangin Angin.
Penemuan kerangkeng dan dugaan praktik perbudakan ini berawal dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Terbit Rencana sebagai penerima suap dari kontraktor yang menggarap proyek infrastruktur di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Adapun lokasi dari kerangkeng berada pada lahan belakang rumah Bupati dan praktik tersebut telah berlangsung lebih dari 10 tahun.
Koordinator Badan Pekerja KontraS, Fatia Maulidiyanti menyayangkan sikap institusi lainnya seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Langkat yang seakan mendukung praktik kerangkeng walaupun sudah mengetahui sejak lama.
“Padahal Bupati jelas tidak memiliki otoritas melakukan pembinaan atau rehabilitasi terhadap pengguna narkotika. Hal ini menandakan bahwa institusi lain yang membiarkan praktik tersebut tidak mengerti konsep dasar hak asasi manusia,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (25/01/2022).
Selain itu, sampai saat ini belum ada jaminan keamanan dan informasi secara pasti mengenai kondisi puluhan korban yang menempati kerangkeng tersebut. Sejauh ini juga belum ada pihak manapun yang berhasil menjalin komunikasi dan meminta keterangan korban maupun keluarganya.
Sementara itu, berdasarkan temuan Migrant Care, setidaknya ada dua kompleks penjara sebagai tempat tinggal para pekerja. Praktik semacam ini dapat dipastikan sebagai bentuk perbudakan modern (modern slavery) yang merupakan kejahatan lintas batas dan sangat memprihatinkan.
Selain perbudakan, para korban juga mengalami bentuk pelanggaran HAM dan tindakan tidak manusiawi lainnya seperti tempat tinggal yang tidak layak, pembatasan ruang gerak, perampasan kemerdekaan seseorang, tindakan penyiksaan, upah yang tidak layak, makanan yang tidak layak dan dihalanginya akses informasi dengan pihak luar.
“Kami menilai bahwa kejahatan ini tidak hanya dilakukan oleh Bupati Langkat, melainkan melibatkan banyak pihak baik yang dilakukan secara sengaja maupun dalam bentuk pembiaran. Sehingga kuat dugaan bahwa praktik ini dilakukan secara terencana mengingat jumlah korban cukup banyak yakni sebanyak 40 orang,” ujarnya.
Atas dasar tersebut, Fatia menilai bahwa rangkaian tersebut merupakan kejahatan terstruktur dan pelanggaran serius terhadap kemanusiaan.
Oleh karena itu, Fatia menyerukan :
Pertama, Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi dan membongkar secara tuntas praktik pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat;
Kedua, LPSK RI untuk segera menjamin hak atas rasa aman dengan melakukan perlindungan terhadap para korban. Selain itu LPSK juga harus segera melakukan pemulihan efektif (effective remedies) bagi para korban perbudakan baik secara fisik maupun psikologis;
Ketiga, Kepolisian Republik Indonesia dalam hal ini Polda Sumatera Utara untuk mengusut secara tuntas dan berkeadilan dengan menangkap seluruh pelaku yang terlibat dalam praktik perbudakan di rumah Bupati Langkat tersebut. (asr)