oleh Antonio Graceffo
Tingkat pertumbuhan PDB Tiongkok tahun ini diperkirakan akan turun di bawah 5%, mencapai batas bawah yang dapat diterima untuk Beijing. Partai Komunis Tiongkok adalah biang kerok dari kerusakan ekonomi tersebut.
Dana Moneter Internasional (IMF) pada 25 Januari menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun 2022 menjadi 4,8 %, dan memperingatkan bahwa industri lain juga merasakan dampak runtuhnya pasar perumahan Tiongkok.
Sektor real estat Tiongkok yang nyaris runtuh, ditambah lagi dengan kebijakan nol kasus infeksi yang dicanangkan oleh Beijing, mengurangi mobilitas tenaga kerja dan mengurangi lapangan kerja.
Faktor-faktor ini akan langsung berdampak pada menurunnya konsumsi swasta, yang tentunya juga mempengaruhi sebagian besar jenis bisnis lainnya. Akibatnya, Bank Dunia menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun 2022 menjadi 5,1%, sedangkan Fitch Ratings menurunkannya menjadi 4,8%, dan Goldman Sachs memperkirakan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah lagi yakni sebesar 4,3%.
Prospek pertumbuhan yang lebih lambat memiliki implikasi politik yang besar bagi pemimpin Tiongkok Xi Jinping, karena 5 % telah lama dianggap sebagai tingkat pertumbuhan minimum yang dapat diterima untuk partai tersebut.
Bagi dunia, pelambanan pertumbuhan ekonomi Tiongkok berarti pertumbuhan global yang juga ikut melamban.
IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat di tengah ekspektasi Federal Reserve akan menaikkan suku bunga untuk mengekang inflasi. Kebijakan moneter ketat adalah langkah logis yang diambil Amerika Serikat.
Setelah dua tahun melepas pinjaman, membelanjakan, dan memotong suku bunga selama pandemi, The Fed akhirnya mengambil langkah mengurangi pertumbuhan demi mempertahankan keberlanjutan.
Sebaliknya, Beijing berjuang mati-matian untuk menggapai pertumbuhan. Dengan demikian, People’s Bank of China adalah salah satu dari sedikit bank sentral yang memangkas suku bunga.
Akibatnya, pemerintah Tiongkok sedang melemahkan nilai Renminbi, membuat Tiongkok kurang menarik bagi investasi asing. Namun, pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini diperkirakan tidak akan mampu melampaui ambang batas 5%.
Sejauh ini, anggaran pengeluaran yang diusulkan pemerintah Biden belum diloloskan. Ini kabar baik karena utang AS, seperti utang Tiongkok dan negara global lainnya, meningkat tajam akibat suntikan stimulus selama 2 tahun terakhir akibat epidemi. Di sisi lain, Tiongkok diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran pemerintah.
Tiongkok saat ini sedang menghadapi kekurangan tenaga kerja, gangguan rantai pasokan, pembatasan COVID-19 yang terus berlangsung, masalah transportasi, dan inflasi dari kenaikan biaya energi. Tahun lalu, upaya Beijing untuk mengurangi polusi merugikan aktivitas industri sambil menaikkan biaya listrik. Masalah-masalah ini telah memicu inflasi harga ex-pabrik, yang berarti menaikkan biaya produksi barang.
Tindakan keras yang dilakukan otoritas terhadap industri teknologi belakangan ini telah menghambat inovasi, menghambat investasi, menurunkan nilai kekayaan, menjatuhkan harga saham, dan mengurangi lapangan pekerjaan.
Berbagai industri, dari bank hingga perusahaan konstruksi, merasakan cengkeraman Beijing di sektor real estat.
Dalam satu tindakan keras seperti itu, Beijing juga menggebuk industri bimbingan pendidikan, yang secara langsung menghilangkan jutaan kesempatan kerja. Pada saat yang sama, pembatasan industri hiburan menyebabkan hilangnya pekerjaan di industri streaming.
Kebijakan Xi Jinping untuk mengontrol sektor swasta telah mempersulit kaum muda untuk mendapatkan pekerjaan, membuat para pencari kerja beralih untuk mengikuti ujian pegawai negeri, sehingga angkanya menjadi naik sebanyak 40%.
Jika semua orang muda ini dapat menemukan pekerjaan di pemerintah, itu akan membengkakkan anggaran untuk sektor publik dan mendongkrak utang publik Tiongkok yang sudah mencapai sekitar 300% dari PDB.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok di masa mendatang juga akan terancam oleh tingkat kelahiran yang terus menurun, yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah angkatan kerja.
Untuk memulihkan pertumbuhan, Beijing harus menempatkan lulusan perguruan tinggi saat ini di angkatan kerja sambil mendorong keluarga untuk memiliki lebih banyak anak.
Namun, pengangguran kaum muda juga menjadi faktor lain yang mencegah keluarga memiliki lebih banyak anak. Ini adalah sebuah lingkaran setan.
Selain kebijakan ekonomi Xi Jinping yang bersifat merusak, meningkatnya ketegangan di Ukraina menyebabkan naiknya harga energi global. Meskipun mungkin akan terjadi inflasi berskala besar, tetapi sulit untuk mengukur pemulihan ekonomi masa depan dan tingkat pertumbuhan PDB AS dan Tiongkok.
Kesehatan ekonomi bergantung pada kebijakan penanganan COVID-19 dan respons pemerintah terhadap varian COVID di masa mendatang.
Untuk saat ini, Washington kemungkinan akan menaikkan suku bunga, yang akan membantu mengekang inflasi. Selain itu, kebijakan COVID AS tampaknya mulai melonggar, yang memungkinkan pasar kembali normal secara bertahap. Hal ini menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi Amerika harus lebih cepat dan lancar daripada Tiongkok.
Di sisi lain, pemerintah Tiongkok memangkas suku bunga, mendorong utang, dan terus merealisasikan kebijakan nol kasus infeksi telah sangat membatasi pertumbuhan ekonomi. (Sin)
Dr Antonio Graceffo pernah tinggal di Asia selama lebih dari dua puluh tahun. Ia lulus dari Shanghai Sport University dan meraih gelar MBA dari Shanghai Jiaotong University. Antonio Graceffo adalah seorang profesor ekonomi dan analis ekonomi Tiongkok yang menulis untuk berbagai media internasional. Buku-bukunya tentang Tiongkok termasuk ‘Beyond the Belt and Road : China’s Global Economic Expansion’, dan ‘A Short Course on the Chinese Economy’.