Jessica Mao
Tajamnya perlambatan ekonomi Tiongkok, Korea Selatan khawatir bahwa industri ekspornya — termasuk semikonduktor, baja, dan industri besar lainnya yang sangat bergantung pada pasar Tiongkok — akan mengalami kemunduran besar.
Data yang dirilis oleh Asosiasi Perdagangan Internasional Korea (KITA) pada 18 Januari mengungkapkan bahwa ekspor Korea Selatan ke Tiongkok pada 2021 berjumlah 162,9 miliar dollar AS, menyumbang sekitar 25 persen dari total ekspornya. Di antara mereka, ekspor semikonduktor ke Tiongkok saja menyumbang 39,3 persen dari total ekspor semikonduktor Korea Selatan.
Lebih dari 80 persen ekspor Korea Selatan ke Tiongkok adalah barang setengah jadi. Karena prospek sektor real estat Tiongkok tidak pasti, industri mesin dan baja Korea Selatan kemungkinan akan terpengaruh. Permintaan yang lebih lemah di Tiongkok juga dapat membebani ekspor peralatan rumah tangga dan kosmetik Korea Selatan.
Petrokimia, ekspor utama Korea Selatan, juga akan terpukul. Kantor Berita Yonhap mengutip sumber dari Asosiasi Petrokimia Korea, mengatakan bahwa Tiongkok adalah pasar ekspor terbesar produk minyak bumi; dan dengan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang kurang momentum, petrokimia Korea Selatan dan industri terkait akan sangat terpengaruh.
Di antara 10 sektor ekspor utama Korea Selatan ke Tiongkok, semikonduktor menyumbang 30,8 persen, diikuti oleh resin sintetis (6,1 persen), display panel datar (4,8 persen), dan produk minyak bumi (4,2 persen).
Sumber tersebut mengatakan bahwa industri petrokimia Korea Selatan sudah dalam situasi yang sulit, karena permintaan domestik dan asing yang menyusut dan kenaikan harga minyak, yang mengakibatkan kelebihan pasokan; dan ekonomi Tiongkok yang lemah akan menempatkan industri dalam kesulitan yang lebih besar.
Menurut perkiraan oleh Institut Riset Hyundai, jika tingkat pertumbuhan ekonomi Tiongkok turun 1 poin persentase, tingkat pertumbuhan ekonomi Korea Selatan akan turun 0,5 poin persentase.
“Ini menunjukkan betapa ketergantungan ekonomi kita pada Tiongkok,” tulis The Korea Times mengomentari ramalan itu dalam editorial yang diterbitkan pada 19 Januari.
Menurut artikel itu, industri Korea Selatan membutuhkan 1.850 bahan mentah dan komoditas, yang lebih dari 80 persennya berasal dari Tiongkok. Prospek ekonomi Tiongkok yang suram dapat menjadi bencana bagi ekonomi global, dan Korea Selatan mungkin lebih rentan terhadap kelemahan ekonomi Tiongkok daripada negara lain mana pun di dunia.
Pada 20 Januari 2020, Harian Ekonomi Korea juga menerbitkan sebuah artikel tentang kekhawatiran yang berkembang dari ketergantungan besar sektor industri pada Tiongkok. Ini mencatat bahwa tidak hanya baja, petrokimia, dan alat berat, tetapi juga industri mutakhir bernilai tambah tinggi, seperti semikonduktor, monitor, dan baterai, telah memperoleh beberapa basis produksi di Tiongkok.
“Dengan kata lain, semua industri besar dalam negeri terlibat. Krisis di Tiongkok kemungkinan akan ditransfer ke Korea Selatan,” bunyi artikel itu.
Alasan untuk Mengurangi Ketergantungan pada Tiongkok
Pakar Korea Selatan telah meminta pihak berwenang untuk menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mengubah struktur ekspornya.
Taekyu Lee, seorang peneliti senior di Institut Riset Ekonomi Korea Selatan (KERI), baru-baru ini mengatakan kepada Kantor Berita Yonhap bahwa perusahaan Korea Selatan telah mengurangi ukuran produksi mereka di Tiongkok, karena kenaikan biaya tenaga kerja dan kondisi yang kurang menguntungkan bagi perusahaan penanaman modal asing dalam beberapa tahun terakhir. Untuk mengatasi risiko struktural ekspor, Korea Selatan perlu mengurangi ketergantungannya pada Tiongkok untuk ekspor.
The Korea Times juga menyarankan dalam editorialnya bahwa perusahaan Korea Selatan mengembangkan cara-cara konkret untuk mengurangi ketergantungan mereka yang berlebihan pada pasar Tiongkok.
“Korea Selatan harus mendiversifikasi sumber impor bahan mentah dan komponennya sambil menjajaki pasar ekspor di seluruh dunia,” katanya.
Lu Tianming, seorang komentator politik, kepada The Epoch Times edisi bahasa Mandarin mengatakan bahwa, ekonomi Korea Selatan terlalu bergantung pada Tiongkok, dan Korea Selatan harus mendiversifikasi risikonya dan mengurangi ketergantungannya pada Tiongkok pada sisi penawaran dan permintaan.
Lu mengatakan bahwa contoh paling jelas dari ketergantungan berlebihan pada Tiongkok dapat dilihat pada impor Korea Selatan.
“Beberapa produk akan sangat terpengaruh jika Tiongkok memotong pasokan, seperti AdBlue sebelumnya, cairan es lumer, dan lain sebagainya,” katanya.
“Tetapi bahkan jika tidak ada pemutusan pasokan, inflasi Tiongkok dan kenaikan harga akan berdampak pada Korea Selatan, karena banyak bahan baku dan produk setengah jadi Korea Selatan sangat bergantung pada Tiongkok, dan variasi serta proporsi produk yang diimpor dari Tiongkok sangat besar.”
Selain itu, Korea Selatan sangat bergantung pada ekspor Tiongkok. Sekitar 25 persen adalah proporsi yang sangat besar, dan sekarang kekurangan ini terlihat.
Dia berkata bahwa Korea Selatan tidak punya pilihan selain mengembangkan pasar ekspor di tempat lain.
“Ketergantungan ini sangat tinggi. Seperti kata pepatah, sangat berbahaya menaruh semua telur Anda dalam satu keranjang. Jadi sangat penting untuk mendiversifikasi risiko, baik di sisi penawaran maupun permintaan, untuk mengurangi ketergantungan ini pada Tiongkok, dan ini akan lebih bermanfaat bagi pembangunan jangka panjang Korea Selatan.”
Lu juga menyebutkan bahwa bergantung pada rezim komunis yang tidak etis dan jahat, seperti Partai Komunis Tiongkok (PKT), merupakan risiko tambahan bagi Korea Selatan.
“Dengan meningkatnya ketegangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat, dan kedua negara bersaing untuk Korea Selatan, rezim Tiongkok, jika kalah, akan mengambil keuntungan dari ketergantungan ekonomi Selatan dan mengancam negara, yang telah dilakukan,” kata Lu.
Ekonomi Tiongkok Menghadapi Periode Paling Sulit
Desember 2021, pejabat Tiongkok secara terbuka mengakui bahwa ekonominya telah memasuki resesi yang sangat dalam.
Menteri Keuangan, Liu Kun, membuat pernyataan publik yang langka pada akhir 2021, mengatakan bahwa dia ingin mempraktikkan tujuan menjalani kehidupan yang lebih terbatas.
Selama Konferensi Kerja Ekonomi Pusat tahunan pada 8-10 Desember 2022 lalu, PKT mengakui bahwa perkembangan ekonominya menghadapi tekanan tiga kali lipat dari menyusutnya permintaan, guncangan pasokan, dan melemahnya ekspektasi.
Profesor Li Daokui dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Tsinghua mengatakan dalam sebuah pidato di awal Desember, bahwa dalam beberapa tahun ke depan, ekonomi Tiongkok mungkin berada dalam “periode paling sulit” dibandingkan dengan 40 tahun terakhir. (Yud)