HELEN LONDON – VISION TIMES
Di era Dinasti Qing di Tiongkok, Suzhou merupakan kota dagang yang luas dan terpadat dengan dimana pemiliknya adalah para pekerja keras dan pedagang yang giat.
Di saat itu, Huaiqong merupakan pusat di mana banyak orang yang tinggal di sana menjalankan bisnisnya, mewariskannya dari ayah ke anak secara turun-temurun. Mereka mengajari keturunan mereka bukan hanya prinsip bisnis, tetapi juga prinsip kehidupan untuk mengamankan masa depan keluarga.
Seorang penduduk lansia asli Huaiqing yang tinggal di Suzhou terlibat dalam jual beli antara Suzhou dan Huaiqing, melanjutkan bisnis yang ditinggalkan sang ayah kepadanya. Seiring bertambahnya usia, dia membawa putranya ke Suzhou untuk belajar keterampilan bisnis sehingga pada gilirannya dia dapat mewariskan bisnis itu kepadanya.
Sayangnya, putranya masih muda, kuat, dan sembrono. Ketika sang putra pertama kali datang ke Suzhou, dia gagal menahan diri dan terpikat dengan seorang pelacur. Mengabaikan standar moral tradisional keluarganya, putranya berlama-lama di distrik lampu merah sepanjang hari dan tetap tak peduli.
Pedagang itu mengetahuinya, tetapi dia tidak segera memarahi putranya. Meskipun putranya menghabiskan banyak uang, pedagang itu tak menghentikannya. Setengah tahun kemudian, mereka menjual semua stok mereka dan mendistribusikannya ke toko-toko. Setelah mengumpulkan pembayaran dari masing-masing toko, mereka akan kembali ke kampung halaman.
Sang ayah memberi tahu putranya, ”Aku akan memberimu uang. Kamu bisa gunakan uang ini untuk merawat gadis yang kamu senangi, membelikan pakaian, makanan, dan apa pun yang dia inginkan sehingga dia bisa menerimamu sepenuh hati dan hanya akan memperhatikanmu dan menahan diri untuk tidak mengeluh tentangmu di masa depan.”
Pemuda itu berpikir bahwa sang ayah menyalahkannya karena menghabiskan terlalu banyak uang, sehingga dia menundukkan kepalanya. Sang ayah berkata, ”Bukannya aku sangat menghargai uang. Tapi ini agar kamu bisa mempelajari bakat menjadi pelamar yang tepat. ”
Kemudian, dia langsung memberikan ratusan tael perak kepada putranya. Putranya mengambil uang itu untuk membelikan pakaian untuk kekasihnya, seorang pelacur bermarga Su.
Kemudian, dia mempersiapkan segala sesuatu dengan baik untuk keluarga- nya, tinggal bersamanya selama tiga malam, dan memberi tahunya apa yang dikatakan sang ayah kepadanya. Su bertanya: “Kapan kamu akan kembali?” Pemuda itu menjawab: “Mungkin setengah tahun kemudian.”
Su berkata lagi: “Hari ini aku sudah mendapatkanmu, dan agar aku tidak menerima pengunjung lain, jika kamu memberiku seratus tael perak lagi, aku akan tinggal di rumah dan tidak akan pernah bertemu laki- laki lain. Aku akan menunggumu sampai kamu kembali.” Pemuda itu setuju.
Setelah sampai di rumah, sang ayah bertanya kepadanya: “Apakah uangnya cukup?”
Dia berkata: “Cukup dengan seratus tael perak.”
Sambil memberinya uang, sang ayah berkata: “Dalam lima hari, kita akan berangkat ke Huaiqing. Kamu bisa menghabiskan beberapa malam lagi dengannya. Kemudian, setelah aku berkemas, kita pulang bersama.”
Pemuda itu pergi ke rumah Su, memberinya uang, dan memberitahunya kapan dia pergi. Su menangis, tampak enggan berpisah dengannya, dan memberinya makan malam perpisahan. Lima hari kemudian, mereka berpisah dengan berurai air mata.
Ayah mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan yang penting kepada putranya. Sudah waktunya untuk pergi. Sang pengusaha Huaiqing telah menaiki perahu yang berlabuh di tepi sungai. Segera setelah putranya tiba, kapal itu berlayar. Setelah perahu melewati Zhenjiang dan melintasi Jinshan, pengusaha itu membuka sebuah koper kecil, mengeluarkan sepotong pakaian tua yang lusuh dan sepasang sepatu berlubang di dalamnya, meminta putranya untuk mengenakannya, dan memerintahkannya kembali untuk mengunjungi Su.
Melihat pakaian dan sepatu usang seperti itu, putranya tercengang dan ragu-ragu. Akhirnya, sang ayah memberi tahu dia, ”Aku tidak mengusirmu atau mempermalukanmu karena kamu menghabiskan terlalu banyak uang. Dengan melakukan apa yang aku katakan sekarang, kamu akan mengetahui jalan dunia dan hati manusia.” Kapal berlabuh di pantai.
Putranya tidak punya pilihan selain turun dan pergi ke daratan. Sang ayah berkata: “Setelah melihat wanita itu, beri tahu dia bahwa kapal yang kita naiki karam dan tenggelam di Sungai Yangtze karena badai. Untungnya, perahu tetangga menyelamatkanmu, tapi semua barang pribadimu lenyap, dan sulit untuk memastikan apakah ayahmu masih hidup atau tidak.”
Ayahnya mengirimnya kembali untuk memberi tahu kekasihnya bahwa dia telah kehilangan segalanya akibat kapal karam di Sungai Yangtze.
Mengikuti nasihat ayahnya, pemuda itu datang lagi ke rumah Su. Tetapi ketika melihatnya begitu lusuh, penjaga pintu tidak mengizinkannya masuk. Jadi mereka bertengkar satu sama lain. Mendengar suaranya, Su senang dan mengira dia tidak pulang bersama ayahnya tetapi tinggal di Suzhou untuk menjaga gudang mereka.
Jadi dia membiarkannya masuk. Namun, setelah melihatnya berpakaian jelek, wajah Su tiba-tiba berubah. Pemuda itu menjelaskan kepadanya bahwa harta miliknya hilang ketika perahu tenggelam dalam badai, tetapi dia tidak mau mendengarkan dan memerintah- kan penjaga pintu untuk mengusirnya segera
Sayangnya, dia tidak punya pilihan selain pergi ke pemilik toko yang pernah berurusan dengannya di masa lalu untuk meminta bantuan. Tetapi melihat dia begitu menyedihkan, pemilik toko mengusirnya.
Pada saat itu, pemilik toko lain berjalan ke arahnya dari arah berlawanan. Memperhatikan wajah yang familiar tetapi tidak memiliki persahabatan dekat dengannya, pria itu berkata: “Aku belum melihatmu selama beberapa hari, mengapa kamu terlihat begitu tertekan?”
Dia bercerita tentang kapal karam karena badai. Pemilik toko membawanya kembali ke tokonya, memberinya pakaian baru, makanan enak, dan sejumlah uang, dan mendesaknya untuk kembali mencari ayahnya.
Setelah pemuda itu kembali ke rumah, dia memberi tahu ayahnya dari lubuk hatinya: “Ayah! Aku sudah menyadari ketidakstabilan dunia. Wanita itu mencintaiku karena dia menginginkan uangku. Si pemilik toko berbaik hati denganku karena barang dagang- anku dapat menghasilkan uang untuk mereka. Sekarang, aku akan membuka lembaran baru. Pepatah kuno mengatakan: ‘Seorang teman yang setia dalam suka dan duka sungguh-sungguh seorang teman.’ Itu benar. Aku tahu bagaimana berperilaku mulai sekarang.”
Setelah kembali ke Huaiqing kali ini, ayahnya memberi tahu dia: “Aku semakin tua dan tidak dapat melakukan perjalanan jauh dari rumah. Mulai sekarang, kamu bisa mandiri berbisnis untuk keluarga.”
Sang ayah memintanya untuk mengirimkan barang ke Suzhou untuk dijual lagi. Kali ini pemuda itu mendistribusikan barang dagangannya langsung ke pengecer yang telah membantu- nya dan tidak pernah pergi ke toko yang telah mengusirnya.
Belakangan, Su mengetahui kisahnya ten- tang kapal karam yang menjadi ujian baginya. Dia merasa sangat menyesal. Sejak itu, pemu- da itu tidak pernah menyerah pada godaan seksual. Atas dedikasi pada bisnisnya, dia akhirnya menjadi hartawan yang sangat kaya.
Pemilik toko yang membantunya memberi pakaian, makanan, dan uang ketika dia membutuhkan juga perlahan-lahan menjadi kaya.
Sebelum mencapai kesuksesan yang signifikan, orang harus menempa diri melalui banyak pengalaman di masyarakat. Tentang mendisiplinkan anak-anak, mengapa orang selalu mengadopsi pendekatan yang keras dan melarang? Aturan yang ketat dapat mencegah seorang anak melakukan kesalahan untuk sementara, tetapi tidak secara permanen. Jika orang-orang muda dapat dibimbing sesuai dengan kodrat mereka sendiri, diizinkan untuk menemukan yang benar dan yang salah bagi diri mereka sendiri, mereka akan benar- benar tetap tak tergoyahkan. (eva)