oleh Anders Corr
Banyak pengamat situasi Ukraina sedang membandingkan situasi Ukraina dengan Taiwan. Kedua negara itu memiliki kedaulatan yang ditolak oleh negara-negara adidaya nuklir terdekat. Kedua negara itu adalah negara-negara demokrasi yang relatif baru. Dan kedua negara itu menghadapi musuh yang tidak hanya otoriter, tetapi secara ideologis demikian.
Xi Jinping dan Vladimir Putin sama-sama mengklaim percaya, secara salah, bahwa bentuk kediktatoran personalistik mereka sendiri lebih unggul daripada apa pun yang dilakukan oleh para pemilih kedua negara ini dapat memutuskan.
Pemerintah Taiwan mendorong kembali perbandingannya dengan Ukraina, mengklaim bahwa membandingkan kedua negara itu adalah ketakutan atau perang kognitif.
Mungkin benar demikian, oleh sebagian orang.
Menurut Reuters, juru bicara Kabinet pemerintah Taiwan, Lo Ping-cheng, mengatakan bahwa “di semua bidang,” Ukraina dan Taiwan “tidak dapat dibandingkan.” Ia melanjutkan, “ada yang menggunakan kesempatan invasi Ukraina ini untuk memanipulasi apa yang disebut (topik) ‘Ukraina hari ini, Taiwan besok,’ yang berupaya menghubungkan situasi Ukraina secara tidak tepat dengan Taiwan, mengganggu moral rakyat Taiwan. Hal ini tidak disarankan.”
Lo Ping-cheng mengatakan bahwa Taiwan adalah penting secara geopolitik dan merupakan suatu unsur penting dari rantai pasokan teknologi-tinggi global. Taiwan memang membuat semikonduktor terbaik, tapi Ukraina juga memiliki ekspor teknologi-tinggi, termasuk teknologi mesin jet dan rudal.
Lo Ping-cheng juga mengatakan bahwa Taiwan memiliki penghalang maritim alami di Selat Taiwan, lebar 100 mil pada titik tersempitnya. Tetapi Selat Taiwan tidak akan memberikan perlindungan untuk melawan Angkatan Udara Tiongkok, atau sejumlah besar rudal yang dimiliki oleh Pasukan Roket Tentara Pembebasan Rakyat yang telah dibangun dan dikerahkan tepat di seberang perairan dari semua bagian terpadat di Taiwan, termasuk ibukota Taipei.
Kenyataannya adalah bahwa Taiwan tidak siap untuk berperang dengan Tiongkok, karena secara tidak bijaksana mengandalkan setidaknya sebagian pada perlindungan Amerika Serikat, bahkan setelah tahun 1979, ketika Amerika Serikat hampir membatalkan kedaulatan Taiwan dan hubungan perjanjian pertahanan timbal-balik tahun 1955 untuk meningkatkan hubungan perdagangan Amerika Serikat dengan Tiongkok.
Tidak seperti Taiwan, Amerika Serikat dan Inggris memang menjamin integritas teritorial Ukraina dalam sebuah kesepakatan tahun 1994. Tetapi bahkan Ukraina diserbu tanpa kedua sekutu itu mengerahkan pasukan.
Sebaliknya, Amerika Serikat dan Inggris memastikan pasukan dan para diplomat sebagian besar berada di luar negeri sebelum invasi dimulai, jadi pasukan dan para diplomat tersebut tidak akan ditarik ke dalam sebuah perang eksistensial dengan sebuah tenaga nuklir.
Seperti Rusia, Tiongkok adalah kekuatan nuklir yang agresif di mana Amerika Serikat dan sekutu tidak ingin terseret ke dalam sebuah perang eksistensial.
Jadi, Taiwan harus memperkirakan perlakuan yang sama seperti Ukraina–—atau lebih buruk, mengingat Amerika Serikat tidak mengakui kedaulatan Taiwan–—dalam kasus sebuah invasi. Dikatakan demikian bukanlah ketakutan atau perang kognitif melawan Taiwan. Ini adalah sebuah peringatan untuk lebih mempersiapkan.
Tak ada cara untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi suatu konflik militer dengan sebuah kekuatan senjata nuklir daripada untuk memperoleh senjata-senjata nuklir sendiri. Maka konflik tersebut tidak mulai di tempat pertama. “Perdamaian melalui kekuatan (nuklir)” ini telah menjadi strategi Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis sejak 1940-an hingga 1950-an. Itu adalah kenyataan di mana Rusia dan Tiongkok memaksa negara-negara yang lebih kecil seperti Ukraina, Jepang, Australia, Polandia, Jerman, dan Taiwan saat ini.
Ian Easton, penulis “The Chinese Invasion Threat: Taiwan’s Defense and American Strategy in Asia” menulis dalam sebuah email mengenai kegagalan pencegahan oleh Amerika Serikat di Ukraina, dan apa artinya ini bagi Taiwan.
“Untuk Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, invasi Rusia ke Ukraina adalah sebuah bencana kebijakan luar negeri dengan konsekuensi besar,” tulis Ian Easton.
“Kita sedang menyaksikan fondasi-fondasi tatanan dunia liberal terbuka. Sampai Kamis lalu [24 Februari], gagasan mengenai sebuah kekuatan besar yang bertempur untuk mendapatkan kembali wilayah atau status yang hilang dengan menyerang sebuah negara tetangga yang demokratis yang lebih kecil dan damai tampak tidak masuk akal. Tentu saja, hal tersebut tidak mustahil, tetapi tampaknya sangat abstrak dan sangat tidak mungkin. Tidak seorang pun yang melihat sesuatu seperti itu untuk waktu yang lama sehingga hampir semua orang dipastikan berdamai.”
Jika Rusia tidak mundur dari Ukraina, jika Moskow benar-benar berhasil merampas negara berdaulat lainnya, hal ini mengirimkan sebuah sinyal ke Tiongkok bahwa Tiongkok dapat melakukan hal yang sama di Taiwan.
“Pemerintah Taiwan sedang menarik kesimpulannya sendiri mengenai apakah perlu untuk menjamin kelangsungan hidup di dunia baru perang antar negara ini,” tulis Ian Easton.
“Bagian dari hal tersebut adalah terlibat dalam pendidikan masyarakat untuk meyakinkan rakyat, sementara juga memberdayakan rakyat dengan pengetahuan mengenai ancaman dan bagaimana untuk bersiap-siap,” ungkapnya.
Sementara Taiwan tampaknya melakukan sebuah pekerjaan yang sangat baik untuk pendidikan masyarakat, Taiwan telah terjadi selama bertahun-tahun mengabaikan memberdayakan rakyat dengan pengetahuan mengenai ancaman dan bagaimana untuk bersiap-siap. Proposal-proposal baru sudah muncul mengenai bagaimana memperkuat pencegahan oleh militer Taiwan.
“Saya tidak akan terkejut melihat para pemimpin di Taiwan memperdebatkan kembali ke wajib militer nasional dan kebutuhan akan pencegah asli Taiwan yang jauh lebih kuat, bahkan mungkin senjata-senjata nuklir,” tulis Ian Easton.
“Setidaknya, militer Taiwan cenderung menginginkan kemampuan untuk menyerang Beijing dengan rudal-rudal jarak jauh, dan militer Taiwan akan menginginkan kapal-kapal selam dan ranjau-ranjau yang dapat memblokade Shanghai.”
Kegagalan untuk mencapai tingkat pencegahan ini, terlalu terlambat untuk berhasil, harus dianggap melalaikan tugas. Kesalahan tersebut terletak pada Washington, seperti halnya Taipei. Ini tidak lebih jelas dari pada kebijakan ambiguitas strategis Amerika Serikat, di mana Amerika Serikat mengisyaratkan bahwa pihaknya akan membela Taiwan secara militer, tetapi tidak berkomitmen.
“Saat ini kebijakan ambiguitas strategis Washington terlihat kuno dan sangat berbahaya,” tulis Ian Easton.
“Pemerintah Amerika Serikat mengetahui sebuah invasi ke Ukraina akan terjadi, tetapi tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya. Banyak orang yang sekarang percaya Tiongkok akan berusaha menginvasi Taiwan di beberapa titik dalam lima tahun ke depan. Tetapi, sejauh ini, hampir tidak ada yang dilakukan untuk menginvasi Taiwan. Washington memutuskan untuk tidak akan belajar mengulangi pengalamannya dari kegagalannya menangani invasi di Ukraina dan menerapkan pengalaman pahit itu untuk pertahanan Taiwan. Semoga, pelajaran yang benar akan dipelajari, dan reformasi-reformasi akan terjadi sebelum terlalu terlambat,” jelasnya. (Vv)