Kelemahan Tank-Tank Rusia : Kalah dari Senjata Berteknologi Tinggi dan Medan Berawa-Rawa

oleh Xu Jian – Epochtimes.com

Rusia memulai penyerangan ke Ukraina dengan menurunkan kekuatan tank terbesar di dunia, tetapi kerugiannya juga sangat besar akibat kelemahan dari tank-tank Rusia itu muncul justru di medan perang modern di Ukraina.

Wall Street Journal yang mengutip informasi dari ‘Oryx Blog’, sebuah situs web yang melacak kerugian dari peralatan militer pada 17 Maret melaporkan bahwa, Rusia telah kehilangan lebih dari 230 unit kendaraan lapis baja berat sejak melakukan invasi ke Ukraina pada 24 Februari, banyak dari tank itu hancur, bahkan tidak sedikit yang ditinggal kabur begitu saja oleh tentara Rusia, atau karena ditangkap oleh pasukan Ukraina.

Menurut data yang dikumpulkan oleh pemerintah Ukraina, bahwa pihaknya telah berhasil menghancurkan dan melumpuhkan kendaraan perang sebanyak lebih dari 400 unit selama invasi Rusia ke Ukraina.

Rusia memiliki sekitar 3.000 unit tank berat sebelum perang, sementara Ukraina hanya memiliki sekitar 850 unit tank.

Tank pertama kali memasuki medan perang adalah saat terjadi Perang Dunia I dan memainkan peran sentral dalam Perang Dunia II. Rusia (bekas Uni Soviet) telah mengalahkan Jerman dengan operasi tanknya di salah satu operasi militer paling legendaris pada masanya. Tetapi dalam peperangan modern sekarang ini, keunggulan itu tampaknya telah sirna.

Analis mengatakan bahwa jumlah tank Rusia yang berhasil dihancurkan oleh Ukraina dalam perang singkat yang berlangsung pada beberapa pekan terakhir ini, mungkin merupakan yang terbanyak sejak P.D. II. Selama Perang Dunia II, metode yang paling efektif adalah menggunakan satu tank untuk menghancurkan tank lain.

Namun di medan perang modern hari ini, Ukraina mengandalkan senjata yang lebih kompak dan fleksibel, termasuk drone bersenjata buatan Turki, Rudal Javelin buatan Amerika Serikat, dan rudal anti-tank yang praktis untuk dibawa-bawa oleh pasukan infanteri dalam perlawanan terhadap serangan tank Rusia. Peralatan berteknologi tinggi ini ternyata mampu menimbulkan kerugian besar seperti hancurnya kendaraan lapis baja, dan barisan pemasok di pihak Rusia oleh perlawanan dari segelintir tentara Ukraina. 

Gedung Putih mengatakan pada minggu ini, bahwa AS akan memberi bantuan lagi kepada Ukraina dalam bentuk senjata bernilai sekitar USD. 800 juta, diantara senjata itu termasuk 2.000  rudal Javelin dan 7.000 senjata anti-tank lainnya. Gedung Putih juga mengatakan bahwa AS juga akan memasok 100  drone Switchblade yang sangat mematikan kepada Ukraina.

Selain itu, Ukraina sedang menghadapi ‘Rasputitsa’ (bahasa Rusia, yakni fenomena berlumpur yang biasa terjadi di musim semi dan musim gugur setiap tahun, fenomena ini juga mengacu pada kondisi jalan berlumpur yang disebabkan oleh pencairan salju atau hujan lebat). ‘Rasputitsa’ diperkirakan dapat muncul pada paruh kedua  Maret dan akan berlangsung selama 3 hingga 4 minggu. ‘Rasputitsa’ membuat jalan-jalan berlumpur yang dapat menjebak lajunya kendaraan, bahkan tentara yang paling kuat pun mustahil bisa bergerak maju.

Tentara Rusia terpaksa meninggalkan peralatan dan kendaraan perang mereka dengan berjalan kaki setelah 5 unit tank Rusia terjebak dalam lumpur di wilayah Chernihiv, Ukraina utara dalam beberapa hari terakhir. Menurut laporan, tank itu kemudian disita oleh Pasukan Pertahanan Teritorial Ukraina.

Analis militer Ukraina Mykola Beleskov mengatakan bahwa banyak tank Rusia yang melaju lewat ladang kemudian terjebak di dalamnya, sehingga tank-tank mereka harus ditinggal pergi oleh tentara dengan berjalan kaki. Demikian AFP melaporkan. Para ahli memperkirakan bahwa seiring berjalannya waktu, Putin mungkin akan meninggalkan serangan. Pasalnya, pasukan Rusia akan menghadapi lebih banyak kesulitan setelah pencairan salju besar-besaran yang segera akan tiba.

Wall Street Journal menjelaskan bahwa dalam menghadapi serangan itu, Rusia dapat mengubah taktik serangan agar dapat mengoordinasikan pasukannya dengan lebih baik. “Kinerja mereka (Rusia) dalam operasi bersenjata bersama cukup rendah”, kata penasihat keamanan nasional AS dan pensiunan jenderal H.R. McMaster.