Terisolasi Bersama-Sama: Isolasionisme Baru Rusia dan Tiongkok

James R.Gorrie

Pergantian ke dalam kedua negara menantang multilateralisme NATO

Terlepas dari hasil perang di Ukraina, satu hasil yang sudah terungkap adalah meningkatnya isolasionisme di Rusia dan Tiongkok. 

Rusia dan Tiongkok sendiri semakin terisolasi dari sebagian besar dunia—terutama dengan Barat––ke level yang belum pernah kita lihat dalam beberapa dekade.

Mengapa demikian?

Apa artinya dalam waktu dekat?

Meskipun adalah tidak bijaksana untuk menarik kesimpulan yang tegas dari dua negara yang berbeda itu bahwa berbagi kesamaan tertentu, beberapa kesamaan tidak boleh diabaikan.

Jawaban sederhananya adalah bahwa sebagai masyarakat otoriter, Rusia dan Tiongkok tidak dapat mentolerir kritik maupun gangguan politik yang muncul dengan warganegara bebas menyuarakan pendapat. Tidak mengherankan, aliran bebas dari gagasan-gagasan dan hak-hak atas privasi adalah sebagian besar tidak ada.

Dapat dikatakan, sampai saat ini, baik Rusia maupun Tiongkok telah sangat terhubung dengan Barat. Tetapi hal tersebut berubah dengan cepat.

Sebuah Kisah Dua Ekonomi

Dalam kasus Rusia, isolasi Rusia sebagian besar tidak disengaja. Tentu saja, keputusan untuk menyerang Ukraina sepenuhnya sukarela, tetapi konsekuensinya adalah tidak.

Tindakan Moskow secara politik dan keuangan telah mengasingkan Moskow dari Barat.

Sanksi berat dan eksodus massal bisnis Barat telah meninggalkan ekonomi Rusia yang sudah lemah ke dalam sebuah keadaan bencana. Rubel hampir tidak berharga dan ekonomi Rusia, yang sebagian besar didasarkan pada energi dan ekspor senjata, hampir tidak bertahan. Rusia bertahan dengan penjualan minyak dan gas hingga bantuan keuangan Barat dan Tiongkok.

Di sisi lain, Tiongkok dengan aliansinya yang mendalam dengan Rusia, telah memilih untuk mengisolasi diri dari Barat. Tetapi penarikan seperti itu melibatkan lebih banyak lagi proses yang rumit.

Tidak seperti Rusia, Tiongkok adalah pusat manufaktur dunia dan pemimpin keuangan global, dengan suatu kehadiran ekonomi besar-besaran di setiap benua. Tetapi, Tiongkok masih bergantung pada pasar Barat untuk produknya dan layanannya. Memisahkan diri dari tatanan ekonomi yang ada tidak akan mudah.

Namun, secara diplomatis dan secara militer, seiring dengan berkembangnya kekuatannya, rezim Tiongkok telah mengadopsi suatu nada yang lebih agresif terhadap Barat dan tetangga regionalnya. 

Dan, dengan dukungan penuh Partai Komunis Tiongkok untuk perang Ukraina oleh Rusia, Barat kurang menyukai Tiongkok sebagai suatu tempat untuk melakukan bisnis.

Tetapi, keberpihakan Beijing dengan Moskow dalam masalah Ukraina hanyalah pelanggaran terbaru dalam suatu daftar yang telah berlangsung puluhan tahun. Perlakuan Tiongkok terhadap orang-orang asing dan perusahaan asing, misalnya, semakin meremehkan dan kasar. 

Beberapa dekade melakukan spionase industri dan pencurian kekayaan intelektual terhadap perusahaan Barat, serta merilis virus Partai Komunis Tiongkok pada dunia–—yang menyebabkan kematian hampir 6 juta orang–—juga tidak membantu.

Beijing tampaknya baik-baik saja dengan hal itu, dan untuk alasan yang bagus. Seperti semua rezim otoriter, Partai Komunis Tiongkok rentan terhadap gagasan-gagasan yang bertentangan dengan versi realitas resminya.

Itulah suatu alasan utama mengapa mengisolasi Tiongkok dari pengaruh Barat diaktifkan pada agenda Partai Komunis Tiongkok. Ketika ekonomi Tiongkok terus-menerus berjuang dan hidup menjadi lebih sulit bagi orang-orang, kerusuhan sipil akan meningkat. 

Kekurangan terakhir Partai Komunis Tiongkok adalah ketidakpuasan di dalam negeri Tiongkok yang meluas, dapat berubah menjadi  gelombang besar anti-Partai Komunis Tiongkok. Partai Komunis Tiongkok ingin mempertahankan dan menumbuhkan kekuatan dan kendalinya. 

Mengisolasi Tiongkok dari Barat akan membantu Partai Komunis Tiongkok melakukan kedua hal tersebut.

Singkatnya, diktator-diktator membenci tantangan terhadap otoritas mereka.

Apa Arti Ini dalam Waktu Dekat?

Baik Moskow maupun Beijing tahu bahwa ada kekuatan dalam persatuan. Contohnya, Rusia memiliki energi dan biji-bijian, tetapi tidak memiliki uang. Di sisi lain, Tiongkok memiliki uang tetapi membutuhkan energi dan biji-bijian. Dalam hal itu, pertunangan Moskow dan Beijing membuat pengertian ekonomi.

Tetapi hal tersebut juga masuk akal secara geopolitik. Kedua negara itu terancam oleh liberalisme dan membenci sistem keuangannya yang tunduk pada sanksi yang keras dan efektif oleh Amerika Serikat. Selanjutnya, kedua negara itu ingin menggulingkan Amerika Serikat dari pengaruh globalnya. Berurusan secara bilateral menghindari gangguan apa pun dari Amerika Serikat.

Persatuan dan Isolasi Menantang NATO

Lebih ke titik geopolitik, persatuan antara Rusia dan Tiongkok, meskipun kadang rumit, adalah lebih mudah daripada isolasi dari Barat. Sedikit kepentingan yang bertentangan  untuk diatasi. Di sisi lain, Tiongkok, mitra kekuatan di aliansi tersebut, memegang kekuasaan lebih dari Rusia. Tetap saja, hal itu memungkinkan kedua  pihak untuk secara erat mengkoordinasikan kebijakan secara sederhana dan bilateral.

Hal itu adalah rute yang jauh lebih sederhana menuju persatuan daripada yang dilakukan negara-negara Barat, khususnya NATO, harus ditempuh. Dengan 30 anggota dan tiga calon negara bagian, mendapatkan suatu konsensus mengenai kebijakan tersebut terbukti adalah sulit.

Hal itu bukan hanya karena tantangan numerik, tetapi juga untuk tantangan yang lain. Jadi, perang di Ukraina menyatukan NATO dan Barat dengan suara bulat kecaman terhadap Rusia dan dukungan terhadap Ukraina.

Memecah-Belah NATO yang Lumpuh

Namun demikian, perang tersebut juga memecah-belah NATO. Kebutuhan dan keinginan untuk tanggapan Barat  terhadap agresi Rusia tidak salah lagi, namun tetap ragu-ragu. 

Kepemimpinan Amerika Serikat dalam menanggapi Vladimir Putin telah terselubung dalam bahasa ketakutan daripada menyelesaikan masalah, yang secara pasif bereaksi terhadap perilaku Rusia, bukannya secara proaktif mencegahnya.

Kurangnya kepemimpinan dari pemimpin yang seharusnya melakukan hal ini menimbulkan keraguan di dalam anggota-anggota NATO—–khususnya Polandia, yang berbatasan dengan Ukraina.

Selanjutnya, niat-niat Rusia untuk memperluas perang dengan menambahkan senjata dan dukungan keuangan dari Tiongkok, serta potensi penambahan 40.000 tentara bayaran Suriah, menyatakan bahwa perluasan perang sudah dimainkan.

Baik Rusia maupun Tiongkok tidak memiliki kekhawatiran akan efeknya terhadap NATO. Sementara itu, NATO mengatakan apa yang tidak akan dilakukannya, tetapi masih belum memutuskan apa yang akan dilakukannya, siapa yang harus melakukannya, dan kapan melakukannya.

Persatuan Rusia dan Tiongkok dalam isolasi mungkin terbukti lebih efektif daripada NATO yang ragu-ragu dan lumpuh. (Vv)

James R. Gorrie adalah penulis “The China Crisis” (Wiley, 2013) dan menulis di blognya, TheBananaRepublican.com. Dia berbasis di California Selatan