oleh Xiao Jing
Menurut data deret waktu yang dikumpulkan oleh data frekuensi tinggi (High-frequency data), bahwa invasi Rusia ke Ukraina telah memicu money outflow jumlah besar dari daratan Tiongkok yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan para investor di daratan Tiongkok mengalami penurunan drastis di tengah konflik geopolitik dan ketidakpastian
Analis dari Institute of International Finance (IIF) setelah mengumpulkan data harian mengatakan, telah terjadi pergeseran arus modal yang “sangat tidak normal” di pasar negara berkembang di seluruh dunia pada akhir bulan Februari tahun ini. Banyak investor di daratan Tiongkok menarik diri dari pasar.
“Skala dan intensitas keluarnya modal dari daratan Tiongkok sangat luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya, terutama karena kita tidak melihat ada arus keluar serupa yang terjadi pada pasar negara berkembang lainnya”, kata Robin Brooks, seorang kepala ekonom di IIF.
Dalam laporan yang ditulis oleh Robin Brooks bersama rekannya pada 24 Maret disebutkan : Arus keluar modal secara besar-besaran dari pasar di Tiongkok ini justru terjadi bertepatan dengan di saat-saat Rusia melakukan invasi ke Ukraina. Hal ini menunjukkan bahwa investor asing mungkin menggunakan pandangan lain untuk melihat Tiongkok. Namun demikian, terlalu dini bagi kami untuk menarik kesimpulan pasti tentang apa alasan sebenarnya.
Para ekonom mengatakan bahwa Rusia mungkin akan melihat keuntungan finansialnya yang dapat diperoleh selama lebih dari satu dekade, menguap akibat sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, ditambah lagi dengan perusahaan-perusahaan asing yang terpaksa memutuskan hubungannya dengan Rusia.
Analisis IIF sebelumnya menyebutkan bahwa, pertumbuhan ekonomi Rusia tahun ini (2022)dihadapkan pada kontraksi sekitar 15% akibat sanksi dari banyak negara gara-gara invasi ke Ukraina. Kontraksi ekonomi bisa mencapai 2 kali lebih dalam dari resesi Rusia selama krisis keuangan global.
Meskipun IIF tidak mengharapkan resesi menyebar luas di pasar negara berkembang, tetapi efek limpahan perang tidak dipungkiri telah membuat para pengamat pasar di Tiongkok khawatir.
Bloomberg mengutip 1 set data resmi yang menunjukkan bahwa bulan lalu, investor asing telah menjual obligasi pemerintah Tiongkok senilai USD. 5,5 miliar. Ini tercatat sebagai arus keluar modal bulanan terbesar yang terjadi di Tiongkok. Pengamat pasar keuangan menduga bahwa Moskow mungkin menjual oblogasi pemerintah Tiongkok untuk mengumpulkan dana karena cadangan devisa bank sentral Rusia yang disimpan dalam euro dan dolar AS telah dibekukan oleh sanksi.
Beberapa pihak khawatir bahwa kemungkinan sikap Tiongkok yang pro-Rusia dapat memicu babak baru sanksi Barat terhadap Moskow.
Pada 11 Maret, SEC (Securities and Exchange Commission), atau Komisi Sekuritas dan Bursa AS mewajibkan 5 perusahaan daratan Tiongkok yang go-public di AS untuk segera menyerahkan laporan hasil audit kepada regulator tepat waktu, jika tidak, maka regulator akan memaksa penghentian transaksi di bursa efek AS. Berita tersebut telah memicu para investor di AS dan Hongkong untuk menjual seluruh saham perusahaan Tiongkok yang bersangkutan.
Beijing selain tidak menggunakan pengaruhnya terhadap Moskow untuk mendorong percepatan gencatan senjata, sebaliknya, menolak untuk mengutuk agresi Rusia, menolak untuk menjatuhkan sanksi apa pun terhadap Rusia, bahkan berjanji untuk membangun hubungan perdagangan yang normal dengan Moskow dan secara aktif melepaskan retorika pro-Rusia di dalam negeri. Meskipun Beijing telah berulang kali mengklaim bahwa PKT bersikap “menjaga netralitas”.
“Tiongkok tidak boleh memberikan dukungan ekonomi atau militer kepada Rusia guna keperluan invasi”, kata Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg dalam konferensi pers pada 24 Maret. Sehari sebelumnya, Jens menuduh Beijing secara terang-terangan menyebarkan kebohongan dan informasi yang salah.
Pada hari yang sama, Gedung Putih memperingatkan Beijing untuk tidak menggunakan peluang bisnis yang diciptakan oleh sanksi untuk memberikan bantuan ekonomi kepada Rusia. Sebelumnya, duta besar Tiongkok untuk Rusia, Zhang Hanhui mendesak pengusaha Tiongkok di Moskow untuk tidak menyia-nyiakan waktu dan segera mengisi kesenjangan yang timbul dalam ekonomi Rusia.
Presiden AS Joe Biden memperingatkan Xi Jinping pekan lalu tentang adanya konsekuensi jika Beijing memberikan bantuan material kepada Rusia selama konflik.
“Pada tahap ini, terlalu dini untuk berpendapat apakah perang mendorong arus keluar modal besar-besaran dari daratan Tiongkok, atau karena ada faktor lainnya”, kata Robin Brooks. Penyebaran gelombang baru virus komunis Tiongkok (COVID-19) di daratan Tiongkok serta tindakan keras yang diterapkan regulasi di Beijing, semua ini telah menimbulkan kekhawatiran dan kepanikan di kalangan investor. (sin)