Naseem S. Miller
Saat pandemi COVID-19 memasuki tahun ketiga, para peneliti sedang mempelajari lebih lanjut mengenai efek jangka panjang dari infeksi tersebut dan mengenai kumpulan gejala serta komplikasi yang biasa disebut long COVID.
Sesak napas, kelelahan dan “kabut otak” adalah gejala-gejala long COVID yang paling umum. Bagi sebagian orang, gejala-gejala ini menetap setelah terinfeksi Coronavirus. Bagi orang-orang yang lain, komplikasi-komplikasi baru muncul berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian.
Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, seperti berapa lama long COVID berlangsung, siapa yang lebih cenderung menderita long COVID dan mengapa. Dan masih belum ada konsensus di dalam masyarakat medis mengenai definisi, diagnosis, dan pengobatan long COVID.
“Saya pikir kita masih belum memahaminya dengan sempurna,” kata Dr. Amesh Adalja, seorang sarjana senior di Pusat Keamanan Kesehatan Universitas Johns Hopkins, yang penelitiannya berfokus pada penyakit menular yang muncul, kesiapsiagaan pandemi dan keamanan hayati.
Di bawah ini kami telah membahas beberapa pertanyaan penting mengenai long COVID dan merangkum beberapa penelitian yang dapat digunakan para jurnalis untuk mendukung pemberitaannya. Perlu diingat bahwa pengetahuan dan penelitian di bidang ini berkembang dengan pesat, dan kami akan memperbarui bagian ini secara berkala saat analisis-analisis baru terungkap.
Apa itu Long COVID?
Tidak ada definisi universal untuk long COVID.
Pusat Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit AS (CDC) mengatakan bahwa long COVID adalah berbagai masalah kesehatan fisik dan mental yang baru, yang kambuh, atau yang berkelanjutan yang dapat dialami orang-orang empat minggu atau lebih setelah pertama kali terinfeksi SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19.
Orang-orang dengan long COVID biasanya menderita kombinasi gejala, yang antara lain mencakup sesak napas, kelelahan, kesulitan berkonsentrasi atau berpikir (“kabut otak”), nyeri kepala, masalah-masalah tidur, pusing, ruam dan nyeri sendi atau nyeri otot. Beberapa orang yang menderita infeksi COVID-19 yang parah juga dapat menderita kondisi autoimun. Orang-orang lain mungkin mengalami komplikasi yang mempengaruhi jantung, paru-paru, ginjal atau kulit mereka.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki pandangan yang lebih luas untuk gejala-gejala yang dapat dianggap gejala-gejala long COVID. Bukannya empat minggu menurut Pusat Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit, Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan long COVID terjadi “biasanya 3 bulan sejak awal COVID-19 dengan gejala yang berlangsung selama minimal 2 bulan dan tidak dapat dijelaskan dengan sebuah diagnosis alternatif.” Gejala-gejala ini mungkin telah bertahan sejak penyakit awal, hilang dan muncul kembali, atau menjadi penyakit baru.
Mulai Juli 2021, long COVID dapat dianggap sebagai suatu kelumpuhan di bawah Undang-Undang Penyandang Kelumpuhan Amerika Serikat, menurut Kementerian Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat.
Apakah Istilah “Long COVID” Adalah Istilah yang Tepat?
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menggunakan istilah umum “kondisi pasca-COVID.” CDC juga mencantumkan istilah lain yang digunakan untuk kondisi tersebut, termasuk long COVID, long-haul COVID, COVID-19 pasca-akut, COVID jangka panjang, COVID kronis, sindrom COVID pasca-akut.
Para ilmuwan menggunakan istilah umum sequala pasca-akut dari infeksi SARS-CoV-2, atau PASC. Long COVID berada di bawah istilah ini; begitu juga sindrom peradangan multisistem pada anak-anak (MIS-C) dan orang dewasa (MIS-A), yang merupakan suatu respons imun yang jarang tetapi parah terhadap infeksi COVID-19.
Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan, “Kondisi pasca COVID-19, juga dikenal sebagai ‘long COVID,’ mengacu secara kolektif pada kumpulan gejala jangka panjang yang dialami beberapa orang setelah mereka menderita COVID-19. Orang-orang yang mengalami kondisi pasca COVID-19 kadang menyebut dirinya sebagai ‘long-hauler.’”
Associated Press Stylebook menganjurkan “long-haul COVID-19” atau “long COVID-19.” “Kami tidak menggunakan istilah medis,” kata Associated Press Stylebook, yang mengacu pada sequala pasca-akut dari infeksi SARS-CoV-2. New York Times menggunakan istilah “long Covid.”
Apa Perbedaan Antara Long COVID dengan Sindrom Pasca Unit Perawatan Intensif?
Pasien yang menghabiskan waktu di Unit Perawatan Intensif dapat mengembangkan post-intensive care syndrome (PICS) atau sindrom pasca perawatan intensif, yang dapat mencakup kelemahan yang parah, masalah dengan pemikiran dan penilaian serta post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca-trauma, menurut CDC. Sindrom pasca perawatan intensif adalah sebuah diagnosis medis yang mapan yang sudah ada jauh sebelum COVID-19.
“Adalah sangat penting untuk memisahkan long COVID panjang dari kondisi-kondisi seperti sindrom pasca perawatan intensif, karena siapa pun yang dirawat di unit perawatan intensif dengan menggunakan sebuah ventilator tidak akan pulih [dengan cepat],” kata Dr. Amesh Adalja.
Bagian penelitian saat ini difokuskan pada membedakan kondisi yang hanya hasil dari infeksi COVID-19 dari orang-orang yang dihasilkan dari rawat inap di rumah sakit dan perawatan lain untuk penyakit yang parah akibat infeksi tersebut.
“Beberapa gejala yang dapat terjadi setelah dirawat di rumah sakit adalah mirip dengan beberapa gejala yang mungkin dialami oleh orang-orang yang awalnya menderita gejala ringan atau tanpa gejala selama beberapa minggu setelah COVID-19,” menurut CDC.
“Mungkin sulit untuk mengetahui apakah gejala-gejala itu disebabkan oleh efek rawat inap di rumah sakit, efek virus jangka panjang, atau kombinasi keduanya.”
Siapa yang Menderita Long COVID?
Long COVID dapat terjadi pada orang-orang yang sedang sakit berat, sedang sakit ringan atau tidak memiliki gejala.
“Sementara pasien yang berusia lebih tua dan pasien yang memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya mungkin memiliki peningkatan risiko penyakit yang parah, orang-orang muda, termasuk orang-orang yang sehat secara fisik sebelum infeksi SARS-CoV-2, juga telah melaporkan gejala yang berlangsung beberapa bulan setelah penyakit akut,” menurut CDC.
Pada September 2021, Institut Kesehatan Nasional mengumumkan pembentukan penelitian nasional untuk “memahami bagaimana orang-orang pulih dari COVID-19 dan mengapa beberapa orang tidak pulih sepenuhnya setelah infeksi virus tersebut yang tampaknya telah sembuh.”
Penelitian ini disebut Meneliti COVID untuk Meningkatkan Inisiatif Pemulihan, atau RECOVER Initiative. Proyek tersebut, yang akan mencakup beberapa universitas dan rumah sakit, masih dalam tahap awal dan belum mendaftarkan pasien-pasien.
Seberapa Umum Long COVID?
Kami belum tahu, terutama karena kurangnya penelitian jangka panjang. Perkiraan long COVID sangat bervariasi dalam literatur saat ini, mulai dari 5% hingga 80%, menurut CDC.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, sekitar 10% hingga 20% orang mengalami “efek jangka menengah dan efek jangka panjang” COVID-19 setelah mereka pulih dari penyakit awal.
Menurut Kantor Statistik Nasional Inggris, diperkirakan 1,3 juta orang, atau 2,1% populasi, melaporkan sendiri menderita long COVID. Perkiraan tersebut berdasarkan survei terhadap 305.997 orang selama periode empat minggu yang berakhir pada 2 Januari 2022.
Organisasi Kesehatan Dunia telah mengembangkan kode-kode medis untuk long COVID, yang dapat membantu dokumentasi dan pengawasan kondisi di seluruh dunia.
Long COVID juga dapat terjadi pada anak-anak, tetapi tampaknya lebih jarang dibandingkan orang dewasa. Long COVID juga lebih sering dilaporkan terjadi pada wanita, tetapi para peneliti tidak tahu alasannya.
Bagaimana Diagnosis Long COVID Ditegakkan?
Menegakkan diagnosis long COVID adalah tidak sederhana. Tidak ada uji laboratorium yang dapat secara pasti membedakan long COVID saat ini. Dalam panduannya untuk para dokter, CDC menganjurkan sebuah daftar uji untuk mengevaluasi orang- -orang yang menderita long COVID.
Beberapa pasien yang mengembangkan long COVID lama mungkin tidak pernah memiliki sebuah uji positif untuk infeksi tersebut atau mungkin pernah menerima sebuah uji negatif karena berkurangnya kadar antibodi atau hasil negatif palsu, demikian CDC menjelaskan.
Dr. Amesh Adalja mengatakan ia pertama kali mengesampingkan sindrom pasca perawatan intensif dan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya yang mungkin tidak terdiagnosis. Ia kemudian melihat apakah gejala pasien yang menetap mengganggu aktivitas sehari-hari si pasien. Sebuah contoh adalah seseorang yang dulu mampu naik tangga tetapi sekarang menjadi terengah-engah setelah beberapa langkah. Ia menambahkan bahwa ia tidak menganggap batuk kronis sebagai satu gejala long COVID, karena terjadi setelah banyak infeksi virus dan dapat bertahan selama berminggu-minggu.
“Dan kemudian anda pada akhirnya mendapatkan sebuah diagnosis pengecualian: Tidak, mereka tidak dirawat di Unit Perawatan Intensif. Ya, hal ini [membatasi aktivitas-aktivitas sehari-hari]. Dan tidak, hal ini bukan sesuatu yang disebabkan oleh penyakit lain yang mungkin ada. Dan kemudian anda kembali didiagnosis menderita long COVID,” kata Dr. Amesh Adalja.
CDC mencatat bahwa para dokter tidak boleh hanya mengandalkan hasil laboratorium atau pencitraan untuk menilai pasien-pasien.
“Kurangnya kelainan-kelainan laboratorium atau pencitraan tidak membatalkan keberadaan, keparahan, atau pentingnya gejala-gejala atau kondisi-kondisi pasien,” kata Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
Bagaimana Perawatan Long COVID?
Tidak ada pengobatan tunggal atau obat tunggal untuk long COVID, karena long COVID bukan hanya satu penyakit. Banyak kondisi pasca-COVID dapat membaik melalui pendekatan-
pendekatan mapan yang menatalaksana gejala-gejala, menurut CDC. Misalnya, latihan pernapasan dapat memperbaiki sesak napas.
Di seluruh Amerika Serikat, rumah sakit dan pusat-pusat kesehatan mendirikan klinik untuk para pasien yang menderita long COVID, menyatukan spesialisasi yang berbeda-beda untuk mengatasi kebutuhan pasien. Setidaknya 66 rumah sakit dan sistem kesehatan memiliki klinik pasca-COVID-19, menurut Becker’s Hospital Review.
Banyak kondisi pasca-COVID juga dapat ditatalaksana oleh penyedia perawatan primer, menurut CDC.
“Pada akhirnya, tidak akan menjadi sesuatu yang akan disetujui untuk ‘minum pil ini dan long COVID yang anda derita akan hilang,’” kata Dr. Amesh Adalja.
“Dan saya pikir sampai kami memahami apa yang terjadi pada para pasien itu, akan lebih seperti obat presisi dari satu ukuran cocok untuk semua.
Bagaimana Long COVID Dapat Dicegah?
Lakukan yang terbaik untuk tidak terkena COVID, kata Dr. Amesh Adalja.
Penelitian juga menunjukkan bahwa orang-orang yang sudah divaksinasi cenderung tidak menderita long COVID.
Sebuah pengarahan oleh Badan Keamanan Kesehatan Inggris, yang diterbitkan pada Februari 2022, meneliti 15 penelitian yang melaporkan efektivitas vaksin terhadap long COVID. Pengarahan tersebut menemukan bahwa orang-orang yang sudah divaksinasi lengkap terhadap COVID-19 memiliki risiko lebih rendah untuk menderita long COVID dibandingkan dengan orang-orang yang sudah divaksinasi sebagian atau tidak divaksinasi.
Bagaimana Dibandingkan dengan Penyakit Infeksi Lainnya?
COVID-19 bukanlah penyakit menular pertama yang memiliki efek-efek berkepanjangan.
Setelah flu tahun 1918, beberapa orang mengalami gejala long-haul flu yang disebut Ensefalitis Von Economo, yang oleh mendiang Dr. Oliver Sacks, seorang dokter dan penulis terkenal kemudian menulis mengenai hal ini di dalam bukunya berjudul “Kebangkitan,” yang menjadi sebuah film dengan judul yang sama, kata Dr. Amesh Adalja.
Penyakit lain yang dapat memiliki efek berlama-lama termasuk mononukleosis, atau mono, dan penyakit Lyme. (Vv)
Naseem S. Miller bergabung dengan The Journalist’s Resource pada tahun 2021 setelah bekerja sebagai reporter kesehatan di surat kabar dan publikasi perdagangan medis, yang mencakup berbagai topik mulai dari perawatan kesehatan pemasyarakatan hingga uji klinis. Dia memiliki gelar sarjana di bidang molekuler dan mikrobiologi dan gelar master dalam jurnalisme multimedia