Eva Fu
Di sebuah jalan yang basah karena hujan, di depan kantor sebuah kantor para pejabat lingkungan di kota metropolitan Shanghai di Tiongkok, sebuah permohonan menyayat hati oleh seorang wanita yang berlutut karena suaminya sekarat menghadapi udara yang dingin.
“Saya mohon anda untuk melakukan beberapa perbuatan baik,” pinta wanita itu sambil menangis.
“Saya mohon selamatkan suami saya,” tambahnya.
Mengenakan jaket berwarna kuning kecoklatan dan celana hitam, wanita tersebut dalam posisi bersujud sampai ke lantai, mengabaikan dingin dan basah. Ia berulang kali menundukkan kepalanya begitu rendah hingga hampir menyentuh semen.
Suami wanita itu menderita kanker stadium akhir. Tetapi tidak ada ambulans yang disediakan untuk mengantar suami wanita itu ke rumah sakit, begitu juga tidak ada fasilitas medis yang membawa suami wanita itu– — untuk satu-satunya alasan bahwa pasangan itu tinggal di sebuah kompleks perumahan yang ditutup di bawah kebijakan “toleransi nol” terhadap virus tersebut oleh rezim Tiongkok.
Tiga bulan setelah sebuah kota di Tiongkok menjadi sebuah pusat badai online karena lockdown yang kejam, hingga menunda perawatan medis yang sangat dibutuhkan untuk orang sakit dan menyebabkan beberapa wanita hamil keguguran, adegan ketidakberdayaan yang serupa muncul di internet Tiongkok saat Tiongkok menghadapi konon gelombang COVID terburuk sejak kedaruratan pertama COVID dua tahun lalu.
Tiongkok sekarang melaporkan ribuan kasus setiap hari, sebuah pertumbuhan yang eksplosif dibandingkan dengan kelompok infeksi dalam dua digit yang dicatat sepanjang 2021. Tetapi bahkan hal ini cenderung sebuah keremehan, menurut beberapa ahli dan penduduk setempat, mengingat praktik penindasan informasi oleh rezim komunis Tiongkok yang merusak citra rezim komunis Tiongkok. Kasus infeksi sekarang tercatat di setiap provinsi, sehingga mendorong sebuah rantai tanggapan dari birokrasi Partai Komunis Tiongkok sebagai bagian kebijakan “dinamis COVID-nol”: pemecatan para pejabat setempat, Test COVID-19 secara massal, me-lockdown kota, dan mengkarantina siapa pun yang dianggap dekat dengan seorang kontak COVID.
Salah satu faktor yang selalu diabaikan dalam pedoman ini adalah korban manusia.
Pada 11 Maret, di hari yang sama Changchun, ibukota Provinsi Jilin di timur laut Tiongkok, dikarantina, seorang gadis berusia 4 tahun tewas karena radang tenggorokan akut saat menunggu perawatan yang tertunda. Pasalnya, keluarga yang beranggotakan empat orang itu tidak dapat menunjukkan bukti bahwa semuanya adalah bebas-virus.
Pada 19 Maret, Changchun memulai uji coba tiga hari dari 4,5 juta penduduknya yang juga akan melarang siapa pun, kecuali pekerja medis, meninggalkan rumahnya masing-masing.
“Pemerintah tampaknya memperlakukan ini sebagai sebuah lelucon. Pemerintah membuat pengumuman secara tiba-tiba tanpa mengetahui apa langkah selanjutnya,”
Qin Jun, seorang penduduk setempat Changchun, mengatakan kepada The Epoch Times.
Amarah
Di distrik Nanshan di Shenzhen, pusat teknologi di selatan, Tiongkok, seorang pria berusia 30 tahunan meninggal setelah berminggu-minggu lockdown, menurut tetangganya. Waktu dan penyebab kematiannya tidak diketahui. Para penduduknya hanya menyadari ada sesuatu yang salah setelah mendeteksi bau busuk keluar dari apartemen pria tersebut.
“Tidak ada yang tahu bagaimana pria tersebut meninggal. Ada yang mengatakan bahwa pria tersebut mati kelaparan. Ada yang lain mengatakan bahwa pria tersebut bunuh diri,” kata Lin Nan (nama samaran) kepada The Epoch Times.
Lin Nan mengatakan bahwa ada seorang pria tinggal di gedung yang sama telah berupaya bunuh diri tetapi berhasil dicegah oleh orang-orang di dekatnya.
Kekesalan para penduduk terhadap para pejabat setempat akhirnya memicu pertikaian awal pekan ini, kata Lin Nan.
Seorang petugas kesehatan telah memberitahukan kepada para penduduk, saat melakukan uji virus di suatu pagi, bahwa mereka layak untuk disegel di dalam dan bahwa mereka “lebih baik tidak keluar selama beberapa bulan atau bahkan satu tahun,” kata Lin Nan. Sebagai tanggapan, para penduduk yang marah merobohkan sebuah stan pos pemeriksaan dan pagar logam yang memisahkan kompleks perumahan dari dunia luar, dan meminta para pejabat distrik untuk meniadakan lockdown.
Para penduduk yang melakukan unjuk rasa dibubarkan di malam hari setelah tiga mobil polisi datang untuk membubarkan massa. Sekretaris Partai Komunis Tiongkok setempat, yang menghindari pertemuan dengan para penduduk pada hari sebelumnya, juga muncul saat itu, mengancam akan menangkap semua penduduk jika mereka terus “berteriak,” kata Lin Nan.
The Epoch Times tidak dapat menghubungi kantor lingkungan distrik melalui telepon pada 24 Maret.
“Saya hanya ingin bertanya, ‘Kapan lockdown akan berakhir?’ kata Lin Nan.
Penegakan yang Agresif
Di tengah meningkatnya keluhan, rezim Tiongkok bereaksi secara agresif untuk menghukum siapa saja yang melanggar aturannya.
Ibukota Tiongkok, Beijing, telah menuntut hampir 150 orang sejak 7 Maret, karena pelanggaran terkait COVID seperti gagal memindai kode kesehatan mereka di aplikasi seluler, yang memasuki Beijing dengan cara memanjat pagar atau menggunakan hasill tes virus palsu.
Kota Nantong di Provinsi Jiangsu di tenggara Tiongkok mengerahkan 90.000 pekerja untuk mendatangi dari pintu ke pintu, untuk mengumpulkan informasi kesehatan penduduk setempat.
Sementara itu, sensor Tiongkok terus memantau ruang internet secara real time untuk menyembunyikan informasi apa pun yang dianggap berbahaya bagi upaya mengendalikan wabah, kadang-kadang meminta bantuan dari para penduduk di bawah karantina.
Kekhawatiran akan Makanan
Lin, dari Shenzhen, prihatin dengan dua anaknya yang masih kecil, anak yang satu berusia tiga bulan dan anak yang lainnya lebih dari 1 tahun. Pemerintah setempat hanya mengirim pasokan makanan lima kali sejak 23 Februari, ketika distrik tersebut memberlakukan karantina, demikian Lin mengatakan.
Dalam satu kelompok, mereka menerima sebuah kotak berisi enam paket mie instan, yang hampir tidak cukup untuk keluarganya yang beranggotakan dari tujuh orang.
Para pejabat setempat telah menolak permintaan Lin untuk sesuatu yang lebih bergizi, seperti daging, mengatakan mereka “tidak punya waktu.”
Anak Lin yang berusia 1 tahun memiliki berat sekitar 9,9 kg sebelum dikarantina. Sekarang berat anak itu hanya 8,2 kg. Balita itu “sangat kurus,” kata Lin.
Lebih jauh ke utara, ketakutan akan lockdown di Shanghai telah memicu sebuah gelombang kepanikan baru untuk membeli baik secara online maupun di toko.
Sebuah video viral di media sosial konon menunjukkan sekelompok penduduk setempat mengosongkan keranjang produk segar dari pasar-pasar makanan setempat, menjelang tengah malam. Beberapa anak muda yang paham teknologi, sementara itu, menunggu lewat tengah malam untuk mengambil pesanan di aplikasi online toko, yang sering kehabisan dalam hitungan detik.
Tanggapan Resmi
Shanghai membantah telah memberlakukan lockdown meskipun baru-baru ini muncul penyewa dalam waktu singkat untuk mengubah apartemen mereka menjadi hotel karantina.
Hingga Kamis, 39 rumah sakit telah menutup beberapa operasi untuk “bekerja sama dengan penyelidikan wabah,” menurut para pejabat kesehatan kota Shanghai.
Sebuah video baru-baru ini beredar di internet Tiongkok, menunjukkan orang-orang berpakaian kostum hazmat putih menutup sebuah pintu apartemen sebelum menyegelnya dengan kabel logam, sementara dua pria berdiri mengawasi dari dalam pintu apartemen itu.
Masih menjadi sebuah pertanyaan berapa lama rezim Tiongkok akan melanjutkan kebijakan COVID-zero saat memerangi varian Omicron yang sangat menular, ketika sebagian besar negara telah memilih untuk hidup berdampingan dengan virus tersebut dan mencabut pembatasan.
Sementara pemimpin Tiongkok, Xi Jinping minggu lalu menyerukan pengendalian wabah dengan “biaya sekecil mungkin,” para pejabat tinggi belum menunjukkan tanda bergeser dari metode pengendalian habis-habisan.
Tetapi Zhang Wenhong, seorang dokter penyakit menular terkemuka yang berbasis di Shanghai, mengungkapkan sentimen yang berbeda pada Rabu.
“Pertempuran itu adalah sulit,” tulis Zhang Wenhong di Weibo pribadinya, seorang situs mikroblog Tiongkok yang populer. Sementara sebagian besar mengikuti pedoman resmi, ia mengakui mengendalikan wabah tersebut menjadi “sebuah proses jangka panjang.”
“Kita tidak dapat memiliki pola pikir untuk membunuh virus tersebut tidak peduli apakah kita dapat hidup atau tidak, Hidup harus terus berjalan.” kata Zhang Wenhong. (Vv)