MARTHA ROSENBERG
Dalam rencana strategis 2016 hingga 2020, Institut Nasional Penyalahgunaan Narkoba (NIDA), bagian dari National Institutes of Health (NIH), sebuah lembaga Amerika Serikat, mempromosikan janji “vaksin anti-kecanduan yang bertujuan memunculkan antibodi yang memblokir efek obat tertentu.”
Tentu saja kecanduan adalah masalah besar, dengan kecanduan opioid di peringkat teratas, merenggut lebih dari 140 nyawa orang Amerika per hari, sebagian karena fentanil yang mematikan sedang dijajakan. Kecanduan narkoba lain, termasuk shabu dan, tentu saja, alkohol, juga memiliki konsekuensi yang tragis dan seringkali mematikan.
Pencarian vaksin anti-kecanduan dimulai secara serius ketika Drs. Nora D. Volkow, direktur NIDA, dan Francis S. Collins, direktur NIH saat itu, meminta para ilmuwan dan industri farmasi untuk membantu mengembangkan vaksin khusus terhadap opioid dalam Laporan Khusus Jurnal Kedokteran New England pada 2017. Penelitian untuk perawatan semacam itu terus berlanjut.
Bagaimana tepatnya cara kerja vaksin anti-kecanduan? Menurut Chemical and Engineering News, dalam kasus heroin, vaksin “akan merangsang sistem kekebalan seseorang untuk menghasilkan antibodi yang mengikat heroin.
Antibodi akan memblokir obat melintasi aliran darah ke otak, menghentikan orang tersebut mengalami “fly” dan mencegah kambuh lagi.”
Singkatnya, antibodi ini “akan mematikan narkotika sebelum dapat berakar di tubuh, atau di otak”, menurut The New York Times.
Batasan untuk Vaksin Perilaku
Meskipun banyak suara medis memberi penghargaan terhadap vaksin semacam itu dan berharap vaksin itu segera tersedia, namun sebagian yang lain lebih skeptis.
Beberapa menunjukkan bahwa, seperti halnya pengobatan alkoholisme Antabuse (disulfiram), yang menyebabkan seseorang jatuh sakit jika mereka meminumnya, vaksin membutuhkan motivasi dari orang yang kecanduan—mereka harus mau berhenti.
Vaksin anti-kecanduan kemungkinan akan membutuhkan motivasi yang berkelanjutan, seperti potensi vaksin anti- kokain yang dibahas dalam jurnal Clinical Pharmacology & Therapeutics, yang mungkin memerlukan “enam booster tambahan yang diberikan sekali setiap 3 bulan”, untuk menghasilkan “periode perlindungan berlangsung selama 2 tahun”.
Jika pecandu mendambakan pelarian “fly” yang ditawarkan narkoba dan tidak siap menghadapi dunia tanpanya, maka vaksin hanyalah bagian dari solusi. Nanti- nya pecandu bisa menemukan obat yang berbeda.
Dan masih ada tantangan lainnya. Pecandu mungkin hanya menggunakan lebih banyak obat untuk mengesampingkan efek vaksin, tulis Angela Garcia di Los Angeles Times. Vaksin bahkan mungkin dipaksakan pada pecandu atau anak-anak mereka, papar Angela, merujuk kekhawatiran yang bergema di Jurnal Etika Medis milik BMJ.
Banyak kritikus vaksin merasa tidak nyaman dengan pendekatan biologis terhadap kecanduan yang dianut oleh NIDA, yang dapat mengabaikan akar penyebab kecanduan, yang seringkali kembali ke trauma sebelumnya.
NIDA melihat masalah dalam hal yang kurang pribadi.
“Kami telah mengidentifikasi banyak faktor biologis dan lingkungan [kecanduan], dan mulai mencari variasi genetik yang berkontribusi pada perkembangan dan kemajuan penyakit ini,” Drs. Nora D. Volkow, direktur NIDA, mengatakan pada 2007.
Selebaran yang mempromosikan presentasi Drs. Nora ke Commonwealth Club of California pada 2013 berbunyi bahwa dia percaya “semua kecanduan dapat dihilangkan jika reseptor otak dapat dikendalikan.
” Beberapa orang menganggap komentar seperti Orwellian atau sangat mirip dengan distopia yang lebih halus yang dibayangkan dalam “Brave New World”, novel karya Aldous Huxley.
Jika kecanduan dapat diselesaikan di otak, penyakit sosial lain apa yang tidak diinginkan yang mungkin cenderung akan kita obati? Dan setelah COVID-19, hukuman apa yang mungkin dihadapi seseorang jika dia menolak?
Kecanduan Bukan Sekedar Kondisi Otak, Kata Para Ahli
Model “penyakit otak” NIDA tidak hanya memperkaya pembuat obat psikiatris dan Big Pharma, tetapi juga mengabaikan semua alasan sosial untuk kecanduan narkoba.
“Bahkan vaksin anti-kecanduan yang paling efektif pun tidak dapat menyembuhkan faktor-faktor mendasar yang membuat orang rentan menggunakan narkoba, termasuk kemiskinan, kekerasan, dan kurangnya kesempatan,” tulis Angela Garcia.
“Masalah yang mendasari kausalitas kecanduan, termasuk ketidak- setaraan, keputusasaan, dan keinginan manusia akan kesenangan, tidak dapat diatasi dengan vaksin saja.”
Tentu saja kecanduan narkoba memiliki ciri-ciri penyakit sosial, dan area di mana itu terkonsentrasi mengungkapkan sesuatu tentang budaya kita yang lebih luas dan kondisi sehari-hari di mana orang menemukan diri mereka sendiri. Orang tidak mencari pelarian ke obat-obatan ataupun alkohol tanpa alasan sama sekali, dan beberapa menjadi kecanduan. Kita juga tidak boleh mengabaikan fakta bahwa ketika tuntutan hukum terhadap produsen dan penjual opioid telah berjalan, obat opioid Suboxone adalah penjualan teratas pada 2018 dengan nilai sebesar 859 juta dollar AS.
Kecanduan narkoba jelas bisa menjadi pusat keuntungan industri obat.
Mengobati kecanduan sebagai penyakit otak memiliki risiko lain, menurut editorial di jurnal Addiction. Ini dapat mengurangi pengaruh sosial dan psikologis.
“Menggambarkan kecanduan sebagai ‘penyakit otak’ dapat mengunggulkan pengembangan dan penggunaan intervensi medis yang mahal dan terkadang berisiko, seperti vaksin obat dan stimulasi otak dalam, hingga mengabaikan kebijakan sosial yang terbukti,” tulis editorial tersebut.
“Gagasan bahwa kecanduan adalah ‘penyakit otak’ mungkin juga memberikan pandangan bahwa kita harus mengidentifikasi minoritas orang yang paling rentan dan mengarahkan mereka ke tindakan pencegahan yang berfokus secara individual (misalnya vaksin) daripada menggunakan strategi yang menargetkan seluruh populasi.”
Masalah lain yang baru-baru ini diliput The Epoch Times adalah efek positif yang ditimbulkan oleh keinginan bebas dan efikasi diri (kemampuan untuk mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan) pada banyak hal, mungkin sebagian besar kondisi kesehatan, versus perasaan bahwa tidak ada yang dapat dilakukan.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa rasa efikasi diri seseorang— bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memengaruhi perjalanan hidup melalui pilihan mereka sendiri—merupakan faktor penting dalam pemulihan dari kecanduan.
Jika pecandu percaya seorang profesional medis atau suntikan dapat menyembuhkan kecanduan mereka, hal itu selanjutnya menghilangkan rasa kontrol diri mereka dan dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Culture, Medicine, and Psychiatry pada 2021 sependapat tentang masalah pecandu yang melepaskan tanggung jawab pribadi.
“Sementara pemahaman neurobiologis NIDA tentang kecanduan sangat penting dalam memajukan intervensi dan advokasi farmakoterapi untuk orang- orang yang mengalami penggunaan zat bermasalah, itu tetap dapat diinternalisasi oleh orang-orang seperti Vivian [kasus yang dikutip] yang memahami kekambuhan kronis mereka sebagai ‘hanya bagian dari menjadi pecandu,’” bunyi artikel itu.
Seperti suara-suara lain, artikel di Culture, Medicine, and Psychiatry mencatat bahwa epidemi penggunaan narkoba, tidak ditemukan secara seragam di antara kelompok orang yang berbeda dan dapat dikaitkan dengan “pengalaman kronis perampasan serta penurunan dan dislokasi pascaindustri”.
Pada catatan yang lebih jelas, para peneliti mencatat bahwa NIDA mungkin memperbesar model kecanduan otak dan vaksin yang sangat terbatas dan mengintegrasikan faktor sosial dan lingkungan ke dalam “model biopsikososial” yang lebih yang mengakui “interaksi kompleks antara biologi, perilaku, dan lingkungan”.
“Vaksin anti-kecanduan tidak dimaksudkan untuk digunakan sendiri, juga tidak akan bekerja seperti itu,” sebuah artikel yang diunggah oleh Pusat Perawatan Ketergantungan Texas berbunyi. “Mereka dirancang untuk menjadi bagian dari rencana perawatan komprehensif yang menggabungkan metode perawatan berbasis bukti lainnya dan terapi perilaku seperti terapi perilaku kognitif, terapi 12 langkah, atau sesi konseling individu dan kelompok.”
Akankah Vaksin Anti-Kecanduan Dipasarkan?
Sejauh ini, uji coba manusia dengan vaksin terhadap nikotin dan kokain pada 2008 gagal, kata Ivan Montoya dari NIDA pada 2018. Ini bukan pertanda baik untuk vaksin yang lebih baru.
Namun jika vaksin anti-kecanduan berhasil, masalah lain mungkin muncul. Vaksin COVID-19 telah mengungkapkan kurangnya firewall (tembok api, sistem yang dirancang untuk mencegah akses yang tidak diinginkan dari atau ke dalam suatu jaringan internal) antara pejabat pemerintah dan industri. Drs. Nora secara pribadi telah berkolaborasi dengan lima perusahaan farmasi dalam penelitian yang berupaya membantu menerjemahkan “informasi dasar … ke dalam perawatan yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA).”
Ini tampaknya menjadi konflik kepentingan yang serius. Sementara program pemulihan berbasis agama dan 12 langkah gratis, pencarian perawatan berteknologi tinggi seperti vaksin anti-kecanduan menjanjikan rejeki nomplok yang menguntungkan bagi pembuat obat, yang seharusnya menjadi perhatian kita semua.
Dan mengingat bahwa krisis opioid saat ini dapat secara langsung dikaitkan dengan klaim menyesatkan dari produsen obat ketika mereka memasarkan produk tersebut dan terus-menerus meresepkan produk tersebut, fakta bahwa epidemi sosial yang masif ini dapat menjadi sumber keuntungan utama bagi sebagian dari perusahaan yang sama adalah tidak etis, setidaknya begitu.
Tentu saja kecanduan adalah masalah besar, dengan kecanduan opioid di peringkat teratas, merenggut lebih dari 140 nyawa orang Amerika per hari, sebagian karena fentanil yang mematikan sedang dijajakan. Kecanduan narkoba lain, termasuk shabu dan, tentu saja, alkohol, juga memiliki konsekuensi yang tragis dan seringkali mematikan.
Pencarian vaksin anti-kecanduan dimulai secara serius ketika Drs. Nora D. Volkow, direktur NIDA, dan Francis S. Collins, direktur NIH saat itu, meminta para ilmuwan dan industri farmasi untuk membantu mengembangkan vaksin khusus terhadap opioid dalam Laporan Khusus Jurnal Kedokteran New England pada 2017. Penelitian untuk perawatan semacam itu terus berlanjut.
Bagaimana tepatnya cara kerja vaksin anti-kecanduan? Menurut Chemical and Engineering News, dalam kasus heroin, vaksin “akan merangsang sistem kekebalan seseorang untuk menghasilkan antibodi yang mengikat heroin.
Antibodi akan memblokir obat melintasi aliran darah ke otak, menghentikan orang tersebut mengalami “fly” dan mencegah kambuh lagi.”
Singkatnya, antibodi ini “akan mematikan narkotika sebelum dapat berakar di tubuh, atau di otak”, menurut The New York Times.
Batasan untuk Vaksin Perilaku
Meskipun banyak suara medis memberi penghargaan terhadap vaksin semacam itu dan berharap vaksin itu segera tersedia, namun sebagian yang lain lebih skeptis.
Beberapa menunjukkan bahwa, seperti halnya pengobatan alkoholisme Antabuse (disulfiram), yang menyebabkan seseorang jatuh sakit jika mereka meminumnya, vaksin membutuhkan motivasi dari orang yang kecanduan—mereka harus mau berhenti.
Vaksin anti-kecanduan kemungkinan akan membutuhkan motivasi yang berkelanjutan, seperti potensi vaksin anti- kokain yang dibahas dalam jurnal Clinical Pharmacology & Therapeutics, yang mungkin memerlukan “enam booster tambahan yang diberikan sekali setiap 3 bulan”, untuk menghasilkan “periode perlindungan berlangsung selama 2 tahun”.
Jika pecandu mendambakan pelarian “fly” yang ditawarkan narkoba dan tidak siap menghadapi dunia tanpanya, maka vaksin hanyalah bagian dari solusi. Nanti- nya pecandu bisa menemukan obat yang berbeda.
Dan masih ada tantangan lainnya. Pecandu mungkin hanya menggunakan lebih banyak obat untuk mengesampingkan efek vaksin, tulis Angela Garcia di Los Angeles Times. Vaksin bahkan mungkin dipaksakan pada pecandu atau anak-anak mereka, papar Angela, merujuk kekhawatiran yang bergema di Jurnal Etika Medis milik BMJ.
Banyak kritikus vaksin merasa tidak nyaman dengan pendekatan biologis terhadap kecanduan yang dianut oleh NIDA, yang dapat mengabaikan akar penyebab kecanduan, yang seringkali kembali ke trauma sebelumnya.
NIDA melihat masalah dalam hal yang kurang pribadi.
“Kami telah mengidentifikasi banyak faktor biologis dan lingkungan [kecanduan], dan mulai mencari variasi genetik yang berkontribusi pada perkembangan dan kemajuan penyakit ini,” Drs. Nora D. Volkow, direktur NIDA, mengatakan pada 2007.
Selebaran yang mempromosikan presentasi Drs. Nora ke Commonwealth Club of California pada 2013 berbunyi bahwa dia percaya “semua kecanduan dapat dihilangkan jika reseptor otak dapat dikendalikan.
” Beberapa orang menganggap komentar seperti Orwellian atau sangat mirip dengan distopia yang lebih halus yang dibayangkan dalam “Brave New World”, novel karya Aldous Huxley.
Jika kecanduan dapat diselesaikan di otak, penyakit sosial lain apa yang tidak diinginkan yang mungkin cenderung akan kita obati? Dan setelah COVID-19, hukuman apa yang mungkin dihadapi seseorang jika dia menolak?
Kecanduan Bukan Sekedar Kondisi Otak, Kata Para Ahli
Model “penyakit otak” NIDA tidak hanya memperkaya pembuat obat psikiatris dan Big Pharma, tetapi juga mengabaikan semua alasan sosial untuk kecanduan narkoba.
“Bahkan vaksin anti-kecanduan yang paling efektif pun tidak dapat menyembuhkan faktor-faktor mendasar yang membuat orang rentan menggunakan narkoba, termasuk kemiskinan, kekerasan, dan kurangnya kesempatan,” tulis Angela Garcia.
“Masalah yang mendasari kausalitas kecanduan, termasuk ketidak- setaraan, keputusasaan, dan keinginan manusia akan kesenangan, tidak dapat diatasi dengan vaksin saja.”
Tentu saja kecanduan narkoba memiliki ciri-ciri penyakit sosial, dan area di mana itu terkonsentrasi mengungkapkan sesuatu tentang budaya kita yang lebih luas dan kondisi sehari-hari di mana orang menemukan diri mereka sendiri. Orang tidak mencari pelarian ke obat-obatan ataupun alkohol tanpa alasan sama sekali, dan beberapa menjadi kecanduan. Kita juga tidak boleh mengabaikan fakta bahwa ketika tuntutan hukum terhadap produsen dan penjual opioid telah berjalan, obat opioid Suboxone adalah penjualan teratas pada 2018 dengan nilai sebesar 859 juta dollar AS.
Kecanduan narkoba jelas bisa menjadi pusat keuntungan industri obat.
Mengobati kecanduan sebagai penyakit otak memiliki risiko lain, menurut editorial di jurnal Addiction. Ini dapat mengurangi pengaruh sosial dan psikologis.
“Menggambarkan kecanduan sebagai ‘penyakit otak’ dapat mengunggulkan pengembangan dan penggunaan intervensi medis yang mahal dan terkadang berisiko, seperti vaksin obat dan stimulasi otak dalam, hingga mengabaikan kebijakan sosial yang terbukti,” tulis editorial tersebut.
“Gagasan bahwa kecanduan adalah ‘penyakit otak’ mungkin juga memberikan pandangan bahwa kita harus mengidentifikasi minoritas orang yang paling rentan dan mengarahkan mereka ke tindakan pencegahan yang berfokus secara individual (misalnya vaksin) daripada menggunakan strategi yang menargetkan seluruh populasi.”
Masalah lain yang baru-baru ini diliput The Epoch Times adalah efek positif yang ditimbulkan oleh keinginan bebas dan efikasi diri (kemampuan untuk mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan) pada banyak hal, mungkin sebagian besar kondisi kesehatan, versus perasaan bahwa tidak ada yang dapat dilakukan.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa rasa efikasi diri seseorang— bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memengaruhi perjalanan hidup melalui pilihan mereka sendiri—merupakan faktor penting dalam pemulihan dari kecanduan.
Jika pecandu percaya seorang profesional medis atau suntikan dapat menyembuhkan kecanduan mereka, hal itu selanjutnya menghilangkan rasa kontrol diri mereka dan dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Culture, Medicine, and Psychiatry pada 2021 sependapat tentang masalah pecandu yang melepaskan tanggung jawab pribadi.
“Sementara pemahaman neurobiologis NIDA tentang kecanduan sangat penting dalam memajukan intervensi dan advokasi farmakoterapi untuk orang- orang yang mengalami penggunaan zat bermasalah, itu tetap dapat diinternalisasi oleh orang-orang seperti Vivian [kasus yang dikutip] yang memahami kekambuhan kronis mereka sebagai ‘hanya bagian dari menjadi pecandu,’” bunyi artikel itu.
Seperti suara-suara lain, artikel di Culture, Medicine, and Psychiatry mencatat bahwa epidemi penggunaan narkoba, tidak ditemukan secara seragam di antara kelompok orang yang berbeda dan dapat dikaitkan dengan “pengalaman kronis perampasan serta penurunan dan dislokasi pascaindustri”.
Pada catatan yang lebih jelas, para peneliti mencatat bahwa NIDA mungkin memperbesar model kecanduan otak dan vaksin yang sangat terbatas dan mengintegrasikan faktor sosial dan lingkungan ke dalam “model biopsikososial” yang lebih yang mengakui “interaksi kompleks antara biologi, perilaku, dan lingkungan”.
“Vaksin anti-kecanduan tidak dimaksudkan untuk digunakan sendiri, juga tidak akan bekerja seperti itu,” sebuah artikel yang diunggah oleh Pusat Perawatan Ketergantungan Texas berbunyi. “Mereka dirancang untuk menjadi bagian dari rencana perawatan komprehensif yang menggabungkan metode perawatan berbasis bukti lainnya dan terapi perilaku seperti terapi perilaku kognitif, terapi 12 langkah, atau sesi konseling individu dan kelompok.”
Akankah Vaksin Anti-Kecanduan Dipasarkan?
Sejauh ini, uji coba manusia dengan vaksin terhadap nikotin dan kokain pada 2008 gagal, kata Ivan Montoya dari NIDA pada 2018. Ini bukan pertanda baik untuk vaksin yang lebih baru.
Namun jika vaksin anti-kecanduan berhasil, masalah lain mungkin muncul. Vaksin COVID-19 telah mengungkapkan kurangnya firewall (tembok api, sistem yang dirancang untuk mencegah akses yang tidak diinginkan dari atau ke dalam suatu jaringan internal) antara pejabat pemerintah dan industri. Drs. Nora secara pribadi telah berkolaborasi dengan lima perusahaan farmasi dalam penelitian yang berupaya membantu menerjemahkan “informasi dasar … ke dalam perawatan yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA).”
Ini tampaknya menjadi konflik kepentingan yang serius. Sementara program pemulihan berbasis agama dan 12 langkah gratis, pencarian perawatan berteknologi tinggi seperti vaksin anti-kecanduan menjanjikan rejeki nomplok yang menguntungkan bagi pembuat obat, yang seharusnya menjadi perhatian kita semua.
Dan mengingat bahwa krisis opioid saat ini dapat secara langsung dikaitkan dengan klaim menyesatkan dari produsen obat ketika mereka memasarkan produk tersebut dan terus-menerus meresepkan produk tersebut, fakta bahwa epidemi sosial yang masif ini dapat menjadi sumber keuntungan utama bagi sebagian dari perusahaan yang sama adalah tidak etis, setidaknya begitu. (jen)