Epochtimes.com
Situasi bahaya sedang menyelimuti Kutub Utara belakangan ini yang bukan disebabkan oleh mencairnya salju atau es kutub utara akibat pemanasan global, melainkan bau mesiu yang timbul dari usaha untuk mengubah Kutub Utara menjadi arena aksi militer internasional.
Pada Maret tahun ini, NATO mengadakan latihan militer “Cold Response 2022” di Norwegia, yang diikuti oleh sekitar 35.000 orang tentara dari 28 negara. Ini adalah latihan militer terbesar NATO di Kutub Utara selama dalam 30 tahun terakhir. Berbeda dengan Rusia, NATO tidak memiliki rencana baru untuk penempatan secara permanen kekuatan bersenjata atau pangkalan militer di Kutub Utara.
Pekka Toveri, seorang pensiunan Mayor Jenderal Finlandia mengatakan aktivitas Barat di Kutub Utara sangat moderat. Namun, Rusia menggunakan latihan NATO untuk menyalahkan Barat atas masalah tersebut.
Rusia adalah negara terbesar dari 7 negara yang berada di sekitar Kutub Utara, dan wilayah ini menyediakan 20% dari PDB Rusia.
Selama dekade terakhir, Kremlin telah mengubah bekas pangkalan Soviet yang ditutup, membentuk rantai puluhan pos pertahanan dari Laut Barents sampai ke Alaska, dan masih terus membangun instalasi militer baru di sana. Barat melihat Rusia telah membangun sebuah komando militer baru bersama 4 unit brigade di Kutub Utara, memperbarui lapangan terbang dan pelabuhan laut dalam, meluncurkan serangan militer tiruan ke negara-negara Nordik, mengganggu GPS dan radar selama latihan militer NATO.
Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri AS mengatakan, Rusia telah meningkatkan aktivitas militernya di Kutub Utara selama beberapa waktu belakangan ini, dan situasinya semakin buruk. Hanya beberapa hari setelah Nikolay Korchunov, pejabat tinggi yang bertanggung jawab atas urusan Arktik di Kementerian Luar Negeri Rusia, berpidato pada 22 Mei tentang Kutub Utara menjadi arena internasional untuk operasi militer, Rusia meluncurkan senjata hipersonik. Sebelum berakhirnya tahun ini, Rusia berencana melakukan 19 kali uji coba senjata baru. Perilaku agresif dan tak terduga Rusia, terutama sejak perang Rusia – Ukraina telah menimbulkan kekhawatiran tentang aktivitas Rusia di Kutub Utara.
Perang Rusia – Ukraina telah membawa hubungan antara Moskow dan Barat ke titik beku selama beberapa dekade terakhir. Ada alasan untuk orang bertanya-tanya apakah Kutub Utara akan menjadi hotspot militer berikutnya. Finlandia dan Swedia telah mendaftar untuk bergabung dengan NATO saat Rusia memperluas pangkalan, menguji senjata, dan meningkatkan penempatan pasukannya di Kutub Utara. Jika diterima, posisi Rusia di Kutub Utara akan semakin terisolasi, menjadikannya satu-satunya negara non-NATO di kawasan itu.
Menurut Mathieu Boulegue, seorang peneliti tentang Rusia dan Eurasia di Royal Institute of International Affairs, seiring dengan terisolasinya Rusia, maka risiko kecelakaan nuklir di Kutub Utara meningkat.
Lihat saja daftar panjang aset nuklir Rusia di Kutub Utara untuk mengetahui seberapa tinggi risiko ini, daftar itu mencakup kapal pemecah es, kapal selam nuklir, pembangkit listrik tenaga nuklir terapung, dan banyak lagi.
Sebagai contoh, Semenanjung Kola, sebidang tanah Rusia seukuran Kentucky yang berdekatan dengan Finlandia, adalah tempat yang paling banyak terkena nuklir di Bumi.
Semenanjung Kola adalah markas Armada Utara Rusia, yang menyumbang dua pertiga dari serangan Rusia terhadap kekuatan nuklir maritim, dan menandai pintu masuk ke Rusia melalui Kutub Utara dengan tiga buah pangkalan militer nuklir.
Sepertiga dari kekuatan nuklir maritim Rusia lainnya terletak di ujung timur Kutub Utara, dan Armada Pasifik Rusia bermarkas di Vladivostok, beberapa di antaranya dikerahkan di Kamchatka, tepat di seberang Alaska. Fasilitas tersebut dapat menimbulkan masalah bagi Amerika Serikat. Jika Rusia memutuskan untuk memperdebatkan akses AS ke Kutub Utara, maka akan muncul hotspot baru di sana.
Ian Williams, wakil direktur program pertahanan rudal di Pusat Studi Strategis Internasional, Washington mengatakan, Rusia telah memasang sistem radar pencarian udara baru di Pulau Wrangel, yang berjarak hanya 300 mil dari Alaska, dan mungkin sedang merenovasi sebuah lapangan terbang. Jika Rusia ingin mengancam Alaska, mereka memiliki banyak lokasi untuk menempati senjata penyerang mereka.
Rusia sedang mencari rute laut utara baru untuk melintasi Lingkaran Kutub Utara. Keinginan Rusia, mencairnya es akibat perubahan iklim menjadi mungkin. Ini telah mendorong Amerika Serikat untuk memikirkan kembali strategi Kutub Utara mereka.
Pada 16 Maret 2021, Angkatan Darat AS mengumumkan strategi pertama militer AS untuk ujung utara yang disebut “Memulihkan Dominasi Arktik”. Selain itu, Angkatan Darat AS juga mulai sering berlatih di Alaska untuk beradaptasi dengan pertempuran di iklim kutub yang dingin.
Angkatan Laut AS sedang melakukan latihan di Kutub Utara. Pada saat yang sama, Angkatan Udara AS juga mengerahkan sejumlah besar jet tempur F-35 ke Alaska.
Kini Alaska yang terpencil telah menjadi wilayah yang paling banyak ditempati oleh jet tempur paling canggih di dunia. Kongres AS juga menyetujui pendanaan bagi 6 unit kapal pemecah es baru untuk melintasi perairan Arktik yang beku. Satelit baru yang dirancang untuk meningkatkan komunikasi dan pengawasan kutub, serta sistem radar baru dari Alaska hingga Denmark sedang dalam penyelesaian.
Barat tidak dapat menuai hasil perdamaian dari Perang Dingin dengan menenangkan Putin. Setelah runtuhnya Uni Soviet, banyak negara Nordik, termasuk Swedia, memotong anggaran militer dan pengeluaran mereka, dan negara-negara seperti Denmark malahan menutup radar pertahanan misil mereka. Tetapi Rusia tidak ambil peduli, terutama setelah Finlandia dan Swedia mengajukan permintaan untuk bergabung dengan NATO, langkah ini dipahami oleh Rusia sebagai provokasi terhadapnya.
Pada 14 Februari 2018 Angkatan Udara Rusia melakukan serangan simulasi terhadap sistem radar jarak jauh (Globus) di Norwegia utara. Di awal tahun ini, pesawat mata-mata Rusia juga melanggar wilayah udara Swedia dan Denmark. Selain sengketa teritorialnya dengan Rusia, kepulauan Svalbard di Norwegia, yang berada di tengah antara Rusia dengan Greenland, memiliki sistem radar dan satelit yang mampu melacak rudal balistik, yang dianggap sebagai fasilitas utama NATO. Rusia pernah mengancam akan merebut kepulauan itu, seperti yang mereka lakukan dengan Krimea.
Timo Koivurova, seorang profesor Universitas Lapland di Finlandia berpendapat bahwa meskipun hubungan antara Rusia dengan Barat telah memburuk, mentalitas Perang Dingin mulai berlaku. Namun Rusia tidak serta merta memiliki keinginan subjektif yang kuat untuk mengganggu keseimbangan dengan NATO di kawasan itu.
Rusia mungkin adalah negara yang paling tidak membutuhkan perang panas di Kutub Utara, karena ia memiliki kepentingan ekonomi yang besar di kawasan ekonomi yang baru berkembang ini dibandingkan dengan negara lainnya. Jika terjadi konflik, lingkungan ekonomi Kutub Utara yang masih rapuh akan mudah runtuh, tidak ada investasi yang dilakukan, dan visi besar Rute Laut Utara dapat lenyap kapan saja.
Jika Moskow belum sepenuhnya kehilangan akal, ia seharusnya tidak mengambil inisiatif untuk mengangkat kawasan Kutub Utara sebagai hotspot militer baru. Tidak peduli seberapa keras Anda membicarakannya, tetapi perlu dibedakan dengan jika benar-benar terjadi konflik senjata. Jika benar-benar terjadi adu kekuatan, Rusia akan kehilangan lebih dari sekedar kesempatan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang besar. (sin)