Li Lan dan koresponden khusus Luo Ya mewawancarai dan melaporkan
pada KTT BRICS, yaitu Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, Xi Jinping kembali secara terbuka menyatakan posisinya bersekutu dengan Rusia untuk melawan Amerika Serikat dan tujuan dari “komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia”.
Ketika menghadapi ambisi hegemonik partai Komunis Tiongkok yang semakin terwujud, bagaimana respon Amerika Serikat dan sekutunya, dan ke mana arah persaingan kekuatan besar?
Lima negara BRICS yakni Tiongkok, Rusia, India, Brasil, dan Afrika Selatan, aliansi negara-negara pasar berkembang, mengadakan forum bisnis di Beijing. Tiongkok adalah presiden BRICS tahun ini, dan Xi Jinping mengundang Putin untuk hadir dalam konferensi tersebut. Keduanya sangat kompak. Xi Jinping menyebut sanksi sebagai “pedang bermata dua” pada 22 Juni serta mengkritik Barat karena menyalahgunakannya.
Analis percaya bahwa pidato BRICS Xi Jinping dimaksudkan untuk mengungkapkan pendapatnya tentang tatanan global, menunjukkan apa yang disebut sikap kekuatan besar dan sekali lagi secara terbuka menekankan sikap menyatukan Rusia dan melawan Amerika Serikat.
Li Linyi, seorang komentator urusan terkini mengatakan “Kongres PKT ke-20 akan segera tiba, dan ketangguhan partai Komunis Tiongkok lebih merupakan deklarasi internal.”
Professor Feng Chongyi, University of Technology Sydney, Australia mengatakan Xi Jinping melakukan banyak hal, dia memiliki logika politik internal, dia belum tentu diplomasi murni, dia ingin mengekspor untuk penjualan domestik. Salah satunya adalah urusan internal, yaitu, bagi para nasionalis di Tiongkok, selama mereka tangguh di luar, mereka akan menambah poin. Tetapi jika anda pergi ke dunia luar, anda akan menciptakan musuh, jika semakin banyak orang di dunia tidak puas, maka akan kehilangan poin dan gagal.”
Bahkan, sikap tegas Xi Jinping membentuk sekutu dengan Rusia telah menyadarkan Eropa yang semula tidak peduli dengan urusan Indo-Pasifik.
Pekan depan, KTT NATO dan KTT G7 akan digelar secara bersamaan. Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan pada 22 Juni, bahwa negara-negara anggota NATO akan membahas tantangan Tiongkok untuk pertama kalinya. Gedung Putih juga mengungkapkan bahwa G7 akan meluncurkan inisiatif infrastruktur baru.
Sementara itu, tetangga dekat Tiongkok lebih waspada dari sebelumnya. Menteri Pertahanan Australia Richard Marles, yang mengunjungi India, mengatakan pada 22 Juni, bahwa dunia harus waspada terhadap ambisi ekspansi militer Tiongkok. Pemerintah Jepang juga terus memprotes atas seringnya tindakan ofensif kapal-kapal Tiongkok di perairan yang disengketakan antara kedua negara.
Analisis percaya bahwa partai Komunis Tiongkok menuduh Barat memegang mentalitas Perang Dingin, tetapi dirinya sendiri justru bertindak sesuai dengan model Perang Dingin.
Beberapa hari lalu, kapal induk ketiga partai Komunis Tiongkok “Fujian” secara resmi diluncurkan dan diberi nama, yang diyakini ditujukan kepada Taiwan dan Amerika Serikat. Selain itu, Kementerian Pertahanan Nasional Tiongkok mengklaim bahwa mereka berhasil menguji teknologi intersepsi anti-rudal . Pada saat yang sama, Komunis Tiongkok terus memperkuat kerjasamanya dengan negara-negara “semenanjung Afrika” dan negara-negara kepulauan Pasifik serta memperluas pangkalan militernya di luar negeri.
Professor Feng Chongyi mengatakan, “Tiongkok tidak pernah menyerah dalam memerangi Perang Dingin. Jika rezim ingin bertahan, maka harus mempertahankan ideologinya dan mempertahankan cara pemerintahan totaliter. Ini adalah DNA-nya.
Di Amerika Serikat, Biden secara pribadi telah mengkonfirmasi bahwa dia berencana untuk bertemu dengan Xi Jinping, tetapi waktunya belum ditentukan. Mungkin melibatkan masalah tarif, situasi di Selat Taiwan, dan menghindari kecelakaan timbal balik antara kedua belah pihak.
Saat ini, pemerintahan Biden menghadapi kesulitan memerintah sebelum digelarnya pemilu paruh waktu.
Jajak pendapat Gallup menunjukkan bahwa 87 persen orang Amerika percaya negara itu menuju ke arah yang salah. 57% tidak puas dengan pemerintahan Biden. Pemerintahan Biden sangat ingin menurunkan harga barang yang meroket saat ini. Biden juga ingin membuat keputusan akhir untuk memotong tarif hukuman terhadap Tiongkok.
Komentator urusan saat ini Li Linyi mengatakan “begitu AS memotong tarif, Xi Jinping dapat segera menyatakan kemenangannya dalam perjuangan diplomatik melawan AS di dalam partai, sehingga tekanan pada kesalahan diplomatiknya jauh lebih sedikit.”
Adapun perebutan kekuasaan intra-partai yang sengit sebelum Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis Tiongkok, analisisnya percaya bahwa tidak peduli siapa yang berkuasa, ambisi dan garis partai Komunis Tiongkok untuk mendominasi dunia tidak akan berubah.
Professor Feng Chongyi mengatakan “Li Keqiang yang legendaris dan kelompoknya, belum memutuskan untuk mengubah negara, mengubah warna, dan mengubah rezim totaliter komunis ini. Akan tetapi, utopia komunisme telah runtuh, jadi dia mengandalkan Ideologi yang membuat Tiongkok kuat yaitu nasionalisme. (hui)