Antonio Graceffo
Para pemimpin dari berbagai negara mengirimkan pesan belasungkawa dengan meninggalnya mantan pemimpin Uni Soviet (1985-1991) Mikhail Gorbachev, yang meninggal pada usia 91 pada 30 Agustus.
Gorbachev, yang bekerja erat dengan Presiden AS Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, dipandang sebagai orang yang mereformasi dan membuka Uni Soviet.
Tindakan ini justru membuat runtuhnya Uni Soviet, kemerdekaan bagi banyak negara bekas Soviet, dan kontrol komunis yang tidak stabil. Terlepas dari pandangan yang menguntungkan dalam sejarah banyak negara, Partai Komunis Tiongkok (PKT) selalu memiliki hubungan yang bermasalah dengan Gorbachev.
“Uni Soviet dihancurkan olehnya dan generasi setelahnya,” tulis seorang pengguna Weibo mengomentari kematian Gorbachev.
Gorbachev mewakili kegagalan ideologis di mata PKT. PKT mendukung pembukaan ekonomi Tiongkok dalam batas-batas yang dikontrol ketat oleh rezim. Akan tetapi, Partai tidak ingin melepaskan cengkeramannya kepada masyarakat. Pembantaian Lapangan Tiananmen selalu menjadi contoh di mana rezim menarik garis. Deng Xiaoping dipuji sebagai arsitek di balik pembukaan ekonomi Tiongkok setelah kematian Mao Zedong. Tetapi di bawah kepemimpinan Deng, tentara diperintahkan untuk membersihkan alun-alun dengan kekuatan militer serta membunuh demonstran mahasiswa pro-demokrasi yang tidak bersenjata.
Pada tahun 1989, para mahasiswa terinspirasi oleh Gorbachev, melihatnya sebagai “Duta Besar Demokrasi.” Sebaliknya, PKT, dengan tank dan peluru, menyampaikan pesannya dengan jelas: liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik adalah dua konsep yang berbeda, yang satu tidak pasti mengarah kepada yang lain.
Kini, lebih dari 30 tahun kemudian, ekonomi Tiongkok lebih terbuka daripada saat para mahasiswa dibunuh di Lapangan Tiananmen. Namun demikian, masyarakat sosial masih dikontrol secara ketat oleh PKT dan masyarakat politik belum terbuka sama sekali.
Perasaan PKT tentang kegagalan Gorbachev semakin diperkuat dalam sebuah artikel tentang warisannya, yang muncul di media pemerintah Global Times.
Laporan tersebut mengkritik Uni Soviet karena mencari persetujuan dari Barat dan menjauhkan PKT dari gagasan bahwa “pembukaan Tiongkok didasarkan pada kepatuhan pada empat prinsip utama, termasuk menjunjung tinggi jalan sosialis dan menjunjung tinggi kepemimpinan [PKT].”
Sejak runtuhnya komunisme dan kekacauan berikutnya serta ketidakstabilan ekonomi di Rusia pada awal 1990-an, Rusia menjadi kisah peringatan bagi rezim partai komunis Tiongkok. Propaganda PKT secara efektif membaca: Kami akan membiarkan Anda menjadi kaya tetapi dalam batas-batas “konstruksi sosialis.”
Warga didorong menjadi kaya karena menjadi kaya akan membantu negara menjadi kuat. PKT juga akan membebaskan warga dari beban kekhawatiran tentang politik dan jalannya suatu bangsa. PKT berpropaganda akan membawa “Peremajaan Besar” bangsa Tiongkok atas nama rakyat. Demi mencapai tujuan ini, sensor dan kontrol sosial dibenarkan. Dunia Usaha dan perorangan bebas berinteraksi dan memanfaatkan teknologi serta modal Barat, tetapi tidak bebas terlibat dalam debat politik atau mengakses laporan berita asing yang mempertanyakan rezim.
Dalam pidato tahun 2013, Xi Jinping mengaitkan runtuhnya Uni Soviet dengan liberalisasi yang memaksa organ-organ utama kekuasaan dan kontrol keluar dari tangan Partai. “Organisasi partai di semua tingkatan hampir tidak berpengaruh, tentara tidak ada di sana,” katanya.
Pejabat PKT mengklaim bahwa kesalahan Rusia adalah membuka masyarakat sebelum mereformasi ekonomi.
The Global Times mengaitkan “demokratisasi parsial” dengan keruntuhan Uni Soviet. Kelompok garis keras dalam rezim Tiongkok mengkritik Gorbachev karena meninggalkan Revolusi. Sebagai reaksi atas kematian Gorbachev, mantan pemimpin redaksi Global Times Hu Xijin, memposting di Twitter bahwa Gorbachev telah membuat dirinya populer di Barat “dengan menjual kepentingan tanah airnya.”
Bagi PKT, pengambilan dari warisan Gorbachev paling baik diungkapkan di Global Times, “Sebagai pelajaran bagi pemerintahan Tiongkok sendiri, Partai Komunis Tiongkok menjunjung tinggi jalur sosialisnya sendiri dengan karakteristik Tiongkok yang menggarisbawahi kedewasaan dan ketenangan politik.” Dengan kata lain, jalan terbaik ke depan bagi Tiongkok adalah agar rakyatnya memanfaatkan kebebasan mereka untuk menghasilkan uang dan membiarkan PKT melanjutkan kekuasaannya atas masyarakat agar negara tidak tenggelam ke gaya anarki pasca-Soviet. (asr)
Antonio Graceffo, Ph.D., telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Dia adalah lulusan Universitas Olahraga Shanghai dan meraih gelar MBA dari Universitas Jiaotong Shanghai. Graceffo bekerja sebagai profesor ekonomi dan analis ekonomi Tiongkok, menulis untuk berbagai media internasional. Beberapa bukunya tentang Tiongkok termasuk “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” dan “A Short Course on the Chinese Economy.”